Santri Khurasan dan Santri Jawi
Oleh: M. Ishom el Saha
Sebagai santri Jawi (Indonesia) pasti tak asing dengan sebutan nama wilayah dalam khazanah Islam, yakni Khurasan. Banyak ulama besar yang lahir dari daerah khurasan dan kitabnya banyak dikaji santri-santri Indonesia.
Khurasan yang lebih akrab di telinga santri Indonesia sekarang adalah menjadi bagian Afghanistan. Dus, daerah ini sekarang dikuasai Taliban.
Istilah Taliban di Afganistan sama dengan santri di Indonesia. Tapi, karakter Taliban jelas berbeda dengan santri. Taliban ke mana-mana membawa bendera dan senjata serta mengenakan gamis dan sorban, sementata santri ke mana-mana identik dengan kitab kuning, sarungan dan mengenakan peci.
Perbedaan karakter Taliban dengan santri pada dasarnya ditentukan budaya literasinya. Sama-sama menjujung tinggi dan belajar kepada guru (kiai) mereka akan tetapi santri di Indonesia selalu dibiasakan belajar dengan memegang kitab (sorogan maupun bandongan). Sementara Taliban belajar dan berguru hanya mendengarkan apa yang dipetuahkan gurunya.
Tradisi literasi santri Indonesia dalam bentuk membaca, menyalin, mencatat dan menulis, terutama dengan bahasa lokal sangat berpengaruh pada pembangunan paradigma pembumian Islam. Bagaimanapun bahasa sangat dipengaruhi entitas budaya dan corak lokalitasnya. Hal ini yang menjadikan santri Indonesia, sekalipun tak belajar materi civic education, namun bersentuhan langsung dengan nilai-nilai kebangsaan dan kebinekaan.
Hal ini sangat berbeda ketika santri Taliban belajar kepada gurunya hanya dengan menyimak dan mendengar, sehingga apa yang dikata gurunya adalah satu-satunya penafsiran agama yang mereka anggap benar. Taliban merupakan penganut mazhab Hanafi yang semestinya lebih rasional, tapi kenapa dari potret gerakan mereka lebih tampak tradisional-radikal?
Penganut Hanafi pada dasarnya berpikir rasional-progresif tatkala mempertahankan tradisi literasi keislamannya. Sekedar dipahami bahwa karya-karya intelektual mazhab Hanafi adalah banyak banyak dibandingkan mazhab lainnya. Tapi ketika rasionalitas tak ditunjang dengan merawat tradisi literasinya, sangat membahayakan dibandingkan mereka yang mempertahankan ketradisionalannya akan tetapi merawat baik tradisi leterasinya.
Buktinya ialah Taliban yang menganut mazhab Hanafi tapi tak merawat tradisi literasinya. Mereka berlogika di antara logika seperti meloncat ke atas sesuai arahan gurunya tanpa perantara anak tangga. Hal ini berbeda dengan santri Jawi yang menganut mazhab syafii tapi pandai merawat tradisi literasinya. Mereka melintas atau naik ke atas dengan bertumpu pada pijakan anak tangga yang disebut literasi pesantren.
Oleh sebab itu belajar dari pengalaman Taliban yang notabanenya santri Khurasan, kita dengan sebaik-baiknya harus tetap melestarikan tradisi literasi santri Jawi. Metode ngaji kitab kuning, bandongan, sorogan, dan sebagainya jangan sampai ditinggalkan. Belajar agama kepada guru hanya dengan mendengarkan apa yang dikatanya: tanpa kitab kuning dan seluk beluknya dapat merubah karakter santri Jawi menjadi seperti santri Taliban.
*M.Ishom El Saha, Dosen di UNUSIA, Jakarta