Semakin Banyak Hadits Dihafal, Semakin Tawadhu' bukan Semakin Takabbur - HWMI.or.id

Saturday, 11 September 2021

Semakin Banyak Hadits Dihafal, Semakin Tawadhu' bukan Semakin Takabbur



SEMAKIN BANYAK HADITS DIHAFAL SEMAKIN TAWADHU' BUKAN SEMAKIN TAKABBUR

Oleh: Muhammad Arief El-Junaydi

Di zaman ini orang yang bisa betul-betul menguasai ilmu hadits itu sudah sangat jarang, tapi bukan berarti tidak ada, sejak puluhan hingga ratusan tahun lalu. Artinya sejak di abad 1200-1300an sudah jarang sekali, sosok ulama yang benar-benar mampu menguasai banyak fan keilmuan, kecuali hanya sebagian yang pakar di bidang ilmu tertentu.

Mengutip dawuh Mbah Moen dalam salah satu ceramah beliau yang mengulas silsilah keilmuan tokoh-tokoh NU hingga ke para imam mujtahid yang empat, beliau menuqil hadits tentang sabda Nabi SAW bahwasannya agama ini akan diperbarui setiap seratus tahun sekali oleh seseorang yang peduli agama dan mempunyai keahlian di berbagai cabang keilmuan dan secara khusus pasti tidak akan keluar dari salah satu keahlian ilmunya ialah pakar di bidang ilmu al-Qur'an dan al-Hadits.

Meski menurut beliau masih ada perbedaan diantara tokoh-tokoh yang lahir atau muncul sebagai pembaru Islam setiap seratus tahun sekali karena terkadang dalam seratus tahun sekali itu terlahir dua tokoh yang mempunyai keahlian yang sama dengan kata lain piawai dalam berbagai cabang ilmu. Sehingga tidak bisa ditentukan secara pasti siapa yang berhak menyandang gelar Mujaddidul Islam di masa itu. (Lebih jelasnya silahkan baca kitab karya beliau "Al-Ulama' Al-Mujaddidun").

Gelar-gelar dalam ilmu hadits bagi seseorang yang ahli didalam ilmu hadits itu bermacam-macam dan berurutan sesuai kwantitas atau jumlah hadits yang dia hafal, ada yang hanya sekedar hafal hadits matannya saja tanpa sanad dan ini kebanyakan hingga di era ini, mungkin UAH adalah salah satunya, mungkin sih tanpa perlu kita tanyakan kepastiannya berapa ribu yang dia hafal, pokoknya dia hafal ribuan hadits katanya 😁

Ada yang hafal lengkap berserta sanadnya yang begitu panjang mulai dari pembuka sanad pertama imam al-Bukhari dan Muslim misalnya, dan konon katanya, Maulana Al-Habib Umar bin Salim Bin Hafizh adalah orang jenis ini, yaitu beliau hafal ribuan hadits komplit beserta sanadnya, sehingga dari itulah beliau sering disebut gelarnya dengan Al-Musnid, dan alm. Hadrotussyaikh Hasyim Asy'ari juga jenis atau kategori penghafal hadits yang seperti ini.

Gelar Al-Hafizh ini banyak dimiliki ulama-ulama hadits diantara salah satunya adalah Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy rh, bahkan gelar lain beliau dalam ilmu ini adalah Amirul Mu'minin fil Hadits, sementara gelar Syaikhul Islam itu juga banyak namun ketika kita mendengar kata atau kalimat Syaikhul Islam biasanya yg terbesit dalam hati kita ialah nama Imam Zakariyya al-Anshari ini bagi kalangan kita pengikut Syafiiyah, sedangkan dalam Hanabilah khususnya di zaman akhir ini biasanya merujuk kepada Syaikh Ibnu Taimiyah al-Harrani namun gelar yang dia sandang ini masih diperseisihkan oleh ulama-ulama lainnya, baik sezaman maupun setelahnya.

Gelar Hujjatul Islam, menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam muqaddimah kitab beliau Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib lin Nawawi, beliau menyampaikan bahwa gelar ini satu-satunya yang pas dan pantas hanya dimiliki oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali rh, tentu gelar ini bukanlah sembarangan, selain keahlian al-Ghazali dalam ilmu al-Qur'an, al-Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, juga di fan ilmu lainnya seperti Tashawwuf dan Filsafat juga Manthiq dan ilmu Kalam, itulah sebabnya mayoritas ulama memberikan gelar Hujjatul Isam itu hanya kepada al-Ghazali, karena kepiawaian, kecerdikan dan kecerdasan beliau dalam mementahkan argument aliran sesat di luar Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus para filsuf di luar Aswaja dan non muslim.

Gelar Al-Muhaddits, Menurut muhaddisin-muhadditsin mutaqaddimin, al-hafidz dan al-muhaddits itu sama arti. Tetapi, menurut mutaakhkhirin, al-hafidz itu lebih khusus daripada al-muhaddits. Kata At-Tajus Subhi, "Al-muhaddits ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ali (tinggi), dan nazil (rendah)-nya suatu hadis, memahami kutubus sittah: Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, Majmu Thabarani, dan menghafal hadis sekurang-kurangnya 100 buah. Muhaddisin yang mendapat gelaran ini antara lain Atha bin Abi Ribah (seorang mufti masyarakat Mekah, wafat 115 H) dan Imam Az-Zabidi (salah seorang ulama yang mengikhtisharkan kitab Bukhari-Muslim)."

Nah, sekarang yang menjadi masalah ialah UAH ini secara mudah dan enteng sekali mengatakan "Jangankan dalam Hadits Shahih, dalam Hadits Palsu pun tidak akan ketemu" ini menurut saya adalah "Sombong" yang kebablasan, apa iya diantara 1235 kitab haditsnya yang dia miliki itu tidak ada satupun matan hadits tentang do'a iftitah ini, kan aneh rasanya. Yang menjadi titik fokus hal ini sebenarnya bukan hanya perbedaan antara lafazh:

"إني وجّهت وجهي" dan "وجّهت وجهي" saja,

melainkan rasa dan sikap Takabburnya itu yang menjadi titik fokus ketergelinciran dia.

Berikut ini akan saya coba kutip dawuh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab beliau Al-Hawiy lil Fatawiy juz 1 halaman 268:

وَالثَّانِي: مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ أَئِمَّةُ الْفَتْوَى فِي ذَلِكَ حُكْمًا، وَذَلِكَ أَمْرٌ فِي ذَلِكَ كَافٍ، وَجَوَابٌ فِي الْمَسْأَلَةِ شَافٍ. أَمَّا النَّوْعُ الْأَوَّلُ: فَمِنْ ذَلِكَ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ علي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ: " «وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا، وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ» " الْحَدِيثَ، هَذَا ظَاهِرٌ فِي الدَّلَالَةِ عَلَى ذَلِكَ ; لِأَنَّ التِّلَاوَةَ: {إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ} [الأنعام: ٧٩] {وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ} [الأنعام: ١٦٣] فَفِي ذَلِكَ أَوْضَحُ بَيَانٍ وَأَشْفَى جَوَابٍ لِمَا ذُكِرَ، وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْقَاضِي عِيَاضٌ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ عِنْدَ ذِكْرِهِ الْحَدِيثَ، وَقَالَ: وَجْهُ قَوْلِهِ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يُرِدْ تِلَاوَةَ الْآيَةِ بَلِ الْإِخْبَارُ بِالِاعْتِرَافِ بِحَالِهِ، فَنَبَّهَ بِذَلِكَ عَلَى قَوَاعِدَ جَلِيلَةٍ مِنْ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُرَادَ بِشَيْءٍ مِنْ كَلِمَاتِ الْقُرْآنِ غَيْرُ التِّلَاوَةِ.

وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْأَئِمَّةُ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَعُلِمَ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِمْ، وَأَنَّهُ إِذَا أُرِيدَ بِذَلِكَ غَيْرُ التِّلَاوَةِ جَازَ أَنْ يُحْذَفَ شَيْءٌ مِنْهُ وَيُزَادَ عَلَى سِيَاقِ قَوْلِ قَائِلِهِ.

Jadi kesimpulannya, oke silahkan saja mempertontonkan keahliannya di bidang ilmu apa saja terlebih dalam ilmu hadits, itu bagus akan tetapi jika terkesan dan seakan merasa merajai dan sudah menguasai segalanya, apalagi sampai berkata "Nggak ketemu dalam hadits shahih apalagi hadits palsu" ini keterlaluan namanya, iya kalau benar gak ada atau gak ditemukan kalau ada, gimana, mau apa, khan malu sama orang sejagat raya ini terlebih di jagat medsos yang jiwa bullyannya itu sangat bar-bar dan bisa bikin shok... 😁😏

Salam Ngaji dan Ngamalkan

Kalibata Utara, Jakarta Selatan 10/09/2021

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda