Oleh: Farida Asy’ari in Suara Kita
Belajar Kembali Konsep Bernegara Rasulullah
Sekte-sekte Islam radikal seperti NII (Negara Islam Indonesia), al-Qaeda, ISIS, atau pun Salafi-Wahabi beserta variannya, dan kelompok-kelompok Islam radikal yang lain, getol, bahkan sangat berambisi memberlakukan hukum Islam secara formalistik dalam sebuah negara. Mereka beranggapan itu bagian dari ajaran Islam untuk mendirikan negara. Walaupun, seperti diyakini oleh banyak kalangan, gerakan tersebut bukan murni gerakan agama melainkan strategi untuk meraih kekuasaan dan mendulang pendukung dari kalangan mayoritas. Artinya, syahwat untuk berkuasa lebih dominan daripada gerakan keagamaannya.
Kesimpulan ini mendekati kebenaran apabila melihat potret bernegara ala Nabi sewaktu menjadi Kepala Negara Madinah. Konstitusi Madinah sebagai landas pijak aturan negara mencerminkan kebalikan dari keinginan sebagian umat Islam saat ini yang berhasrat melakukan formalisasi hukum Islam dalam suatu negara. Seperti keinginan NII di Indonesia, misalnya.
Telah maklum diketahui, sebelum Sahifah Madinah (Piagam Madinah) diberlakukan secara resmi sebagai Undang-undang negara, rumusannya terlebih dahulu dimusyawarahkan bersama. Muslim, Nasrani dan Yahudi, bahkan mungkin kelompok-kelompok kecil yang tidak muncul dalam sejarah, duduk bersama untuk menyepakati Piagam Madinah sebagai konstitusi resmi negara Madinah.
Ketika beberapa orang yang mewakili kelompoknya masing-masing tidak setuju dengan rumusan ‘Muhammad Rasulullah’, karena dalam agama Yahudi dan Nasrani Muhammad bukanlah Rasul yang harus diimani, Rasulullah dengan senang hati merubahnya. Diganti ‘Muhammad Ibnu Abdillah’. Hal ini tidak berarti Nabi meminggirkan syariat Islam. Sebagai nabi dan rasul beliau memahami betul bahwa tugasnya adalah mengajak manusia mengimani dirinya dan mengikuti ajaran-ajarannya. Namun, sebagai seorang kepala negara, Nabi wajib bersikap adil kepada semua masyarakat, termasuk kebebasan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Jika demikian, apakah Nabi tidak tegas dan mengorbankan agama Islam hanya untuk negara? Jelas tidak. Sebab, walaupun seperti itu nilai-nilai yang dicita-citakan oleh agama Islam telah dicapai. Yang diinginkan oleh Nabi sebagai kepala negara adalah keadilan, kedamaian, persamaan, dan keharmonisan walaupun dalam perbedaan. Apabila semua itu tercapai, sempurnalah nilai-nilai Islam dalam negara tersebut. Itulah esensi negara Islam yang dibangun Rasulullah.
Rasulullah tidak mementingkan formalisasi formalisasi dengan menjadikan al Qur’an dan hadist sebagai Undang-undang negara secara langsung, namun cukup Konstitusi Madinah yang dibuat bersama namun mencerminkan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Konsep bernegara yang menekankan pada nilai-nilai luhur seperti diajarkan oleh Baginda Nabi ini yang kemudian diterjemahkan oleh para ulama dengan lebih kongkrit. Menyebut di antaranya adalah Sayyid Muhammad dalam kitabnya Tahliyah wa al Targhib yang menegaskan bahwa konsep bernegara semestinya berupa konsep yang universal, memuat segala hal yang berhubungan dengan konteks kebangsaan itu sendiri. Sikap maupun tindakan harus sesuai dengan nilai-nilai universal tersebut. Dengan demikian, tidak perlu formalisasi ajaran agama selama nilai-nilai ajaran tersebut termaktub dalam sebuah Undang-undang negara. Tegasnya, Islam dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan adalah mencintai suatu negara yang memberikan kontribusi nyata mewujudkan kedamaian dan keadilan.
Titah Allah dalam al Qur’an jelas-jelas melarang (haram) segala bentuk tindakan yang merusak, melukai, membinasakan dan membunuh tanpa ada alasan yang diijinkan oleh syariat. Tidak ada pemberontakan, kekerasan, dan membunuh orang yang tidak bersalah sekalipun atas nama agama.
Dan, tentang format negara ideal, al Qur’an hanya menjelaskan konsep dasar tentang pemerintahan atau negara. Yaitu, al ‘Adalah (keadilan), al Musawa (kesetaraan) dan Syura (musyawarah). Artinya, al Qur’an hanya memberitahukan nilai-nilai yang harus dipatuhi dan tercermin dalam undang-undang sebuah negara. Masalah bentuk atau format negara serta bentuk konstitusinya bebas memakai nama apa saja yang penting merealisasikan nilai-nilai ‘adalah, musawa dan syura.
Maka, sangat wajar kalau Nabi kemudian mengatur negara Madinah dengan Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah yang diantara poin-poinnya memuat tiga prinsip dasar dalam al Qur’an tersebut. Tidak secara langsung menjadikan al Qur’an sebagai hukum negara. Karena, untuk mengakomodir seluruh masyarakat Madinah yang multi agama dan ras, harus dibuat aturan yang dirumuskan bersama-sama yang mewadahi kepentingan semua agama dan kelompok tersebut. Tidak dengan cara formalisasi hukum Islam dalam negara