Cara Nahdlatul Ulama (NU) Melawan Isu PKI
Dikutip dari dakwahnu.id, Belakangan isu PKI bangkit, terus dihidupkan untuk kemudian menjadi opini umum bahwa PKI masih hidup. Tak kurang orang-orang pandai pun turut meramaikan isu itu, dan bagi politisi di luar pemerintahan (oposisi banci) dengan merebaknya isu tersebut seperti menghadapi ” nasi yang mau digoreng “. Terserah mereka mau digoreng cepat atau lama, sebab resonansi politiknya berakhir ke siapa itu tidak penting, yang terpenting ” gaduh “.
Tinjauan Sejarah
Pasca demokrasi parlementer, konstitusi negara beralih ke demokrasi terpimpin degan cirinya kekuasaan absolut dan klimaksnya berkuasa seumur hidup. Bung Karno saat 5 Juli 1959 di depan Istana Merdeka telah umumkan berlakunya dekrit presiden dengan maksud memberlakukan demokrasi terpimpin, dari kondisi itulah muncul Naskom ( nasionalisme dan komunisme ). Penggabungan 2 paham ideologi dan 2 partai politik PNI dan PKI telah memicu sentimen negatif dari banyak pihak, terutama klompok Islam dari Masyumi.
Era 60-an disebut era emasnya PKI dibawah naungan Presiden Soekarno, Pangti, Pemimpin Besar Revolusi. Kondisi nyaman itu dimanfaatkan betul oleh D.N Aidit (sebelum aktif di PKI namanya Achmad Aidit) selaku Ketua C.C PKI. PKI telah merangseg ke pusat kekuasaan sebagai patner politik yang cenderung ” pasang badan ” bagi Bung Karno dalam upayanya konfrontasi atas Malaysia, bagi Bung besar, PKI adalah kawan setia.
Adalah KH. Wahab Chasbullah, Rois Am PBNU kala itu dengan cerdiknya melakukan strategi masuk Naskom dengan memberi gelar terhadap Bung Karno sebagai Waliyu al-Amri bi al-Dloruri wa al-Syaukah. Gelar itu baru disematkan saat Bung Karno meresmikan Masjid Bait al-Rahman di Istana Merdeka atas keinginan Kiai-kiai NU. Itu dimaksud melegitimasi kekaffahan Islamnya Bung Karno. Strategi Kiai Wahab dengan bergabungnya NU di Naskom itu artinya ingin mengontrol dan melawan PKI dari dalam kekuasaan, biarpun kemudian dampak dari bergabungnya NU tersebut kiai-kiai NU dicecar, dihina, disumpah serapah oleh klompok Islam sebagai penghianat, sebagai kaum oportunis, sebagai penjilat dan antek PKI. Apakah Kiai Wahab bergeser, jawabnya tidak.
Ada politik langit yang tidak dimiliki oleh siapapun, hanya Kiai NU yang khos memiliki kemampuan tersebut. Itu dimaksud ” petunjuk ” Gusti Allah dalam menuntun hambanya. Maka pilihan bergabung dengan Naskom hingga menjadi Nasakom (Nasionalisme Agama dan Komunisme) tidak luput dari ” istikharoh politik “. Pada perjalananya PKI sedikit terganggu dengan aktifnya kiai-kiai NU di ring istana, tampak ada kedekatan Bung Karno dengan kalangan NU.
Di luar sistem, NU membuat banyak tandingan dalam upaya melawan PKI. Untuk menandingi Genjer-Genjer, NU menggubah Sholawat Badar menjadi hymne partai selain Syubbanul Wathon. Menandingi kegiatan seni sastra PKI dengan Lekra-nya, maka NU membuat Lesbumi. Ketika PKI membentuk PR (pemuda rakyat), NU pun membentuk Banser (Barisan Ansor Serba Guna) yang brasal dari bekas Laskar Hizbulloh yang tidak berdinas di TNI, para veteran perang kemerdekaan ini, ambil bagian dalam upayanya melawan PKI. Bahkan untuk menandingi Gerwani, NU pun membentuk Fatayat.
Sikap perlawanan NU atas PKI tersebut diramu dengan cara diplomatis, dialektis, dan konfrontatif. Puncaknya peran NU di tahun 1965-1967 dalam upayanya melawan PKI adalah keterlibatan aktif Banser dan Pagar Nusa yang mendampingi TNI dibawah komando RPKAD yang diterjunkan di medan pertempuran hingga ke peloksok kampung.
Tinjauan Kekinian
Merebaknya isu PKI di musim pandemi Covid 19, sepertinya termasuk konspirasi busuk mereka para petualang politik. Kondisi kepanikan akan wabah ini rupanya dimanfaatkan untuk kemudian bertujuan kekuasaan. Isu PKI adalah target antara, tujuannya jelas ingin menghantam NU dengan menuduh NU seoalah membela PKI dengan begitu NU dicap sekongkol dengan PKI. Menjadi ” fokus tuduhan ” atau isu tunggal bahwa NU pro komunis. Yang diharap reaksi umat Islam seluruhnya untuk memusuhi NU dan kiai-kiainya. Ini sungguh bejat, jahat, sadis, brengsek dan begitu bedebah.
Ekspektasi kita agar KH. Maruf Amin, mau bersikap ” gereget ” dalam pola komunikasi politiknya baik di level sangat rahasia, setengah rahasia dan di forum kabinet. Tampak tenggelamnya peran strategis Kiai Ma’ruf Amin, menjadi disesalkan oleh kalangan muda NU yang cenderung kaku dan tak berkutik. Jikapun disebut saham, maka saham terbanyak atas berdirinya NKRI hingga sekarang adalah kontribusi NU, baik ketika perjungan maupun kini dalam kesetiaan menjaganya. Ini harusnya negara mempertimbangankan figur Kiai Ma’ruf Amin sebagai representasi NU agar diberikan kekuasaan yang hasilnya menguntungkan kehidupan setiap umat beragama, agar pula diberi kewenangan khusus memajukan pemikiran dan kehidupan peribadatan semua agama. Sebab karakter NU sudah pasti mengayomi semua umat.
Prinsip ikhtiyath (kehati-hatian) menjadi kensicayaan bagi kalangan muda NU untuk tidak terprovokasi atas isu kebangkitan PKI. Unsur politis begitu kuatnya dalam dagangan isu tersebut.
Sikap menegara, ini adalah sikap yang mengutamakan ketertiban, keamanan dan kondusifitas negeri adalah mutlak diperlukan. Kalangan NU tidak lagi berfikir pragmatika politik, namun sikap yang jauh lebih muia, apa itu ? Tegak dan tegas dengan tangan terkepal menyelamatkan negara dari rongrongan para penghianat negara. Dengan cara apa ? berfikir, berbuat dan bertindak sesuai garis instruksional.
Sikap dialektis, adalah juga penting ketika benturannya dengan ideologi, paham, dan pemikiran. Jika serangan hujjah kita lawan dengan hujjah, jika serangan media kita lawan dengan meda, jika serangan hoax kita tampilkan nalar rasional dan fakta. Kalaupun kontak fisik terjadi maka gunakan beladiri.
Sikap transformatif, itu diharapkan bahwa NU tidak harus terjebak dalam permainan isu, namun harus banyak memberi perubahan cara pandang bangsa dengan prinsip keindonesiaan kita, Pancasila kita, kebhinekaan kita, dan kebangsaan kita. Maka ada tindakan kongkrit agar isu PKI itu diselesaikan dengan cara tegaknya hukum. Yang membuat isu tanpa dasar yang kuat itu hukum yang menyikapinya.
Ingat, Karl Marx bilang ” komunisme sebagai penggantian positif dari hak milik pribadi sebgai pengasingan diri manusia dan karenanya penguasaan atas esensi manusia yang sebenarnya melalui dan bagi manusia, ia adalah pemecah teka teki sejarah dan mengetahui dirinya sendiri sebagai pemecahan itu (lihat Economic and Philosophical Manuscripts).
Pentup
Sadar akan permainan isu, bahwa ideologi akan mati dengan sendirinya jika sudah menemukan eksistensi baru yang jauh lebih mudah, bahagia dan nyaman.
Oleh: KHM. Hamdan Suhaemi
Penulis adalah Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten