Residu Terorisme dan Bagaimana Kaum Milenial Bangkit Melawan Ideologi Kekerasan - HWMI.or.id

Thursday 28 October 2021

Residu Terorisme dan Bagaimana Kaum Milenial Bangkit Melawan Ideologi Kekerasan

Oleh: Sivana Khamdi Syukria in Suara Kita

Residu Terorisme dan Bagaimana Kaum Milenial Bangkit Melawan Ideologi Kekerasan

Sumpah Pemuda ialah anak kandung dari gerakan anti-kolonialisme yang berkobar di kalangan bangsa-bangsa jajahan, termasuk Indonesia. Euforia anti-kolonialisme melahirkan gerakan perlawanan yang kebanyakan dimotori oleh kaum muda. Dalam konteks Indonesia, kaum muda merupakan elemen yang dominan dalam menentukan narasi kebangsaan.

Kini, era kolonialisme telah usai. Gerakan pemuda terbukti berhasil mengobarkan semangat nasionalisme dan keberanian merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sekarang kita hidup di era pasca-kolonialisme yang diwarnai oleh problem dan tantangan baru. Salah satu problem zaman pasca-kolonialisme ialah fenomena radikalisme dan terorisme berbaju agama yang marak terjadi di sejumlah negara berpenduduk mayoritas muslim.

Dalam konteks Indonesia, problem radikalisme dan terorisme berbaju agama telah mengemuka sejak dua dekade belakangan. Peristiwa Bom Bali 1, Oktober 2002 ialah momen pertama kali kita menyadari bahwa radikalisme agama itu benar ada dan terorisme telah membentuk jejaringnya di Indonesia. Dua dekade sejak tragedi Bom Bali 1 kita masih menghadapi residu gerakan radikalisme-terorisme.

Radikalisme dan terorisme jelas bukan hanya sekadar ideologi kebencian dan kekerasan yang menargetkan kerusakan atau jatuhnya korban jiwa. Lebih dari itu, radikalisme-terorisme ialah gerakan politik yang menjadikan agama sebagai premis pembenarannya. Agenda radikalisme-terorisme lebih luas dari sekadar menebar kerusakan dan ketakutan kepada publik. Radikalisme-terorisme menyimpan agenda tersembunyi (hidden agenda), yakni menghancurkan negara dari dalam, menguasainya, dan mengganti bentuk serta ideologinya.

Maka, residu persoalan yang disisakan oleh radikalisme dan terorisme tidak sekadar hilangnya nyawa atau rusaknya bangunan fisik. Lebih dari itu, radikalisme dan terorisme telah merusak pola pikir masyarakat dari rasional ke irasional, dari saling percaya menjadi saling curiga, dan dari saling menjaga menuju saling membenci. Radikalisme-terorisme juga telah merusak tatanan sosial, politik dan agama serta merusak hubungan antara masyarakat dengan pemerintahnya.

Meneruskan Estafet Kebangsaan

Di tengah kondisi bangsa yang demikian ini, kaum muda milenial harus tampil sebagai lokomotif perubahan. Kaum muda milenial yang hidup hari ini memiliki kewajiban moral untuk melanjutkan tongkat estafet kebangsaan yang telah diwariskan generasi terdahulu. Maka, penting kiranya kaum muda milenial menggagas sebuah ikrar kebangsaan untuk bangkit dan bersatu melawan radikalisme, terorisme dan segala paham yang mengusung sentimen kebencian dan kekerasan.

Ikrar kebangsaan itu tentu harus dielaborasi ke dalam langkah nyata. Antara lain, pertama membangun kultur literasi digital yang kuat di kalangan anak muda dan milenial pada umumnya. Literasi digital merupakan hal yang penting mengingat di era sekarang, radikalisme dan terorisme lebih banyak disebarluaskan melalui media baru, yakni internet dan media sosial. Di titik ini, kaum milenial harus menjadi agen sekaligus aktor gerakan penguatan kultur literasi digital di kalangan masyarakat.

Kedua, tidak hanya mumpuni dalam literasi digital, kaum milenial idealnya juga secara aktif memperkuat literasi agama. Jika literasi digital dimaknai sebagai kemampuan mencari, memahami dan mengkritisi informasi yang tersaji di ranah digital. Maka, literasi agama ialah kemampuan untuk memahami keterkaitan antara ajaran agama dengan kehidupan sosial, politik, dan budaya melalui berbagai perspektif. Literasi agama diperlukan agar umat beragama tidak menjalani laku keagamaannya secara eksklusif, intoleran, dan radikal.

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah kaum milenial harus menjadi agen moderasi agama dan wawasan kebangsaan di tengah masyarakat. Kaum milenial harus menjadi contoh ideal bagi masyarakat ihwal bagaimana menjalani laku keagamaan yang moderat sekaligus nasionalis. Yakni laku keagamaan yang tidak hanya ramah pada perbedaan, namun setia pada komitmen kebangsaan dan kenegaraan.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda