Sentil Fadli Zon, Mantan Napi Teroris: Tanpa Densus 88, Kami Bisa Kembali Radikal
Penyintas terorisme Hendi Suhartono (Foto/SINDOnews)
Dikutip dari suaraislam.co, Hendi Suhartono, Penyintas terorisme, ikut buka suara terkait pernyataan anggota DPR RI Fadli Zon yang meminta Densus 88 Antiteror Polri dibubarkan.
”Jika tak ada Densus 88, tidak ada satuan khusus yang memberikan pendampingan dan mencarikan solusi pada mantan napi terorisme. Kalau Densus tak ada, orang-orang seperti saya siapa yang mau pegang,” ujar Hendi dalam diskusi yang digelar Jakarta Journalist Center bertajuk “Kenapa Densus 88 Penting”, Jumat (15/10/2021)
Menurut Hendi, saat keluar dari lapas, para napi terorisme bisa saja kembali bergabung menjadi radikal jika tak ada pendampingan dan pemberian solusi yang diberikan Densus 88. Di dalam lapas, para napiter terorisme mendapatkan ilmu agar bisa hidup lebih baik dan tak lagi terjerumus ke terorisme.
Lebih lanjut, Hendi mengungkapkan bahwa Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Irjen Pol Martinus Hukom pernah membantunya di awal-awal menjalani kehidupannya seusai bebas. Martinus mau membantu dari mulai pembangunan TK hingga pendirian Yayasan Hubul Wathon Indonesia.
“Setelah TK diresmikan, ketika itu Pak Martinus memberikan tantangan pada saya, bisa nggak membuat wadah orang-orang seperti kamu bisa sejahtera? setelah tantangan beliau tadi, saya kumpulkan teman-teman, kita buat Yayasan Hubul Wathon, cinta tanah air,” tuturnya.
Dia bersyukur lantaran Martinus bukan hanya mensupport pendirian yayasan itu, tapi juga memantaunya. Alhasil, dia pun selalu ingat dengan pernyataan Martinus yang ingin menyejahterakan para mantan napiter tersebut selama tidak kembali melawan hukum.
Maka itu, tambahnya, bantuan Densus 88 yang tak setengah hati tersebut pada para mantan napiter, tak terkecuali dia, bisa membuatnya kembali diterima oleh masyarakat dengan baik. Dia pun menilai cara yang dilakukan Kadensus dalam menangani para mantan napiter terorisme itu bukanlah menyentuh fisik, melainkan menggunakan hati.
“Saya mengalami sendiri saat kembali ke masyarakat mereka acuh, karena itu di hati ada dendam. Kalau cuma dipantau lembaga negara nggak akan bisa. Sakit hati kita, saat berbuat baik, diomongin sakit hati. Inilah faktor makanya ada yang kembali ke garis keras,” katanya.