PERLUNYA MENGENAL SIAPA KAWAN DAN SIAPA “LAWAN”
Sebagai warga NU kita harus mengetahui masalah pergerakan Islam, terutama yang berasal dari Timur Tengah. Mulai dari sejarah pergerakan-pergerakan Islam (yang kalau diperhatikan, saat ini juga mulai marak gaungnya di kampus-kampus umum/non agama), idealisme dan gagasan dari masing-masing kelompok, juga perbedaan pandangan fiqh yang dianut NU dan ketiga wajihah tersebut (HTI, PKS dan Salafi), termasuk mengenai jenggot dan celana cingkrang.
Bahkan yang lebih mengejutkan, tokoh-tokoh Islam Liberal seperti Ulil Abshar Abdalla, Abdul Moqsith Ghozali cs, ternyata "hasil didikan" kelompok Salafy. Begitu juga dengan tokoh-tokoh NU seperti Gus Dur, Kiai Said Aqil, Gus Mus, Quraisy Syihab, Kiai Masdar Farid, Zuhairi Misrawi dan tokoh-tokoh NU lainnya, mereka itu “hasil didikan” kelompok Salafi/Wahabi, setidaknya pernah bergumul dengan kelompok Salafi/Wahabi atau kelompok radikal lainnya.
Sampai-sampai Gus Dur pernah mengungkapkan (kalau tidak salah redaksinya), “Seandainya Gus Said (Kiai Said Aqil) tidak dikenalkan ke NU, niscaya beliau akan menjadi orang radikal, radikal sak radikalnya orang radikal di Indonesia”, baca desertasi S3 Kiai Said. Begitu juga dengan Gus Dur, beliau pernah mengungkapkan (kalau tidak salah redaksinya), “Jikalau saya tidak menemukan kitab ini, maka bisa jadi saya menjadi seorang radikal”, karena Gus Dur dulu pernah “ikut” Ikhwanul Muslimin.
Termasuk juga Wirasaba Putra. Saya pernah “ikut” Salafi/Wahabi, Jamaah Tarbiyah (PKS/Ikhwanul Muslimin) dan juga HTI. Namun setelah menemukan Islam yang sebenarnya yaitu Ahlussunnah wal Jamaah/NU, serasa menemukan Islam yang asli, Islam Rasulullah, Islam rahmatan lil alamin.
Terdapat fenomena menarik jika diamati, justru orang-orang NU yang pernah "berada" di barisan kelompok radikal (Salafi Wahabi, HTI, Ikhwanul Muslimin, PKS, Tarbiyah), orang-orang NU tersebut paling kencang mengkritik kelompok radikal tersebut, dibandingkan orang NU yang tidak pernah bersentuhan dengan kelompok radikal. Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah karena orang NU yang pernah bersentuhan dengan kelompok radikal tersebut, tahu dengan pasti, apa, siapa, tujuannya apa, targetnya apa, siapa sasarannya dan idealisme kelompok radikal tersebut. Mereka (orang-orang NU tersebut) tahu “dapur” kelompok radikal, tahu rahasia kelompok radikal dan paham “invisible hand” dari kelompok radikal tersebut.
Contohnya saja Kiai Said Aqil Siraj, Ketum PBNU justru dibesarkan di sarang Wahabi, beliau menyelesaikan S1, S2 dan S3 nya di Ummul Qurra University, Saudi Arabia. Ulil Abshar alumni LIPIA cabang Universitas Wahabi yang di Indonesia dan tokoh-tokoh NU lainnya. Mereka dibesarkan Wahabi dan lucunya justru melawan Wahabi.
Orang-orang kelompok radikal tersebut sebenarnya "tahu" bahwa “rahasia gerakannya” telah diketahui orang-orang NU tersebut, bagi kelompok radikal, orang-orang NU yang tahu “rahasia” nya tersebut sangat berbahaya, maka targetnya, harus membunuh karakter (character assassination) orang-orang NU tersebut, dengan harapan seluruh umat Islam khususnya nahdliyin terikut menyingkirkannya. Cara jitu kelompok radikal tersebut yaitu dengan melabeli orang-orang NU tersebut dengan stempel Liberal, Syiah, Agen Yahudi, agen Kafir dan Munafik. Padahal itu hanya propaganda kelompok radikal saja untuk menyelamatkan organisasinya dengan cara membungkam orang-orang NU tersebut yang “kadung” sudah mengetahui rahasia gerakan mereka.
Sehingga tidak heran jika Gus Dur dituduh Liberal, Syiah, agen Yahudi, dsb. Begitu juga dengan Kiai Said, kemana-mana dituduh Syiah dan Liberal. Begitu juga dengan tokoh-tokoh NU progressif lainnya.
Sampai sampai kelompok radikal “mengompori” tokoh-tokoh NU yang tidak tahu apa-apa tentang peta politik dan peta gerakan Islam, dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyingkirkan Kiai Said dan yang sepaham dengan beliau dari kepengurusan PBNU. Tokoh-tokoh NU atau nahdliyin yang kadung “dicekokin” propaganda kelompok radikal seharusnya sadar bahwa mereka hanya diperalat saja. Kelompok radikal mau menyingkirkan Kiai Said, dll dengan “pinjam tangan” nahdliyin “yang buta politik dan buta peta gerakan Islam kontemporer”.
Justru orang-orang yang berpemahaman seperti Gus Dur, Kiai Said, Gus Mus, Habib Lutfi, Habib Quraisy Syihab, Kiai Masdar, Kiai Maman, Kiai Yusuf Muhammad, dan yang sepemahaman dengan beliau-beliau itulah tokoh-tokoh NU era millennium, tokoh-tokoh NU masa depan yang pikirannya menjangkau ke masa yang akan datang. Mereka itulah Sang Pencerah di tubuh NU khususnya dan umat Islam umumnya. Tapi karena mereka tersebut berbahaya bagi kelompok radikal maka supaya hancur distempellah sebagai Liberal, Syiah dan Munafik.
Sekali lagi, mereka itulah (Gus Dur, Kiai Said, Gus Mus, Habib Quraisy Syihab, Habib Lutfi, Kiai Maman, Gus Ulil, Moqsyid Ghozali dan masih banyak lagi) SANG PENCERAH sejati.
Jadi orang NU itu tidak cukup hanya ngerti ilmu tauhid, syariah, tasawuf saja, tapi juga harus tahu peta gerakan Islam dunia dan politik kontemporer Internasional, Regional dan Nasional, agar tidak “dipolitiki” oleh kelompok garis keras/radikal untuk dibenturkan dengan PBNU.
Ingat kata Albert Einstein:
“Kecerdasan itu ada batasnya, tapi bodoh itu tak berbatas”.
Bodoh boleh tapi jangan terlalu bodoh.
Bodoh jangan dipelihara.
(By: WP)