Jangan Stigma Negatif Pesantren
Dikutip dari dakwahnu.id, Pesantren sebagai lembaga pendidikan telah hadir jauh sebelum negara ini berdiri. Bukan hanya sudah ada, mereka bahkan menjadi bagian terdepan mengusir penjajah negeri ini. Banyak kisah kepahlawanan yang sebagian sudah diakui negara sebagai pahlawan nasional, maupun yang belum diakui. Pesantren adalah pusat pergerakan pribumi sekaligus tempat persemaian benih patriotisme kepada masyarakat lingkungannya.
Sudah menjadi gambaran umum kala itu, kecuali bagi orang yang ingin mengerdilkan peran pesantren, banyak patriot muda yang lahir disana dan terjun ke medan pertempuran. Bahkan tokoh pesantren seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim terlibat sejak awal pendirian negara Republik Indonesia.
Bicara alumninya, entah berapa juta alumni pesantren yang hadir di berbagai bidang. Secara statistik jumlah pesantren bisa diketahui, tapi berapa banyak alumninya sejak munculnya pesantren dua abad lalu pasti tidak ada datanya. Yang pasti banyak sekali tidak terhitung. Saat ini saja tercatat beberapa menteri adalah alumni pesantren, bahkan wakil presiden saat ini jebolan pesantren.
Bagaimana dinamika pesantren sendiri? Corak pesantren yang tidak tunggal pastinya banyak dinamika disana. Apalagi pesantren berdiri sesuai harapan pendirinya yang juga berlatar berbeda. Apalagi di era kini banyak muncul pesantren jenis baru yang sebagian dibawa oleh penganut aliran tertentu sebagai sarana pengkaderan mereka.
Nah dengan luas, banyak, dan beragam medan aktualisasi para alumni pesantren, peran kemasyarakatan dan keumatan mereka nyata dirasakan masyarakat. Alumni pesantren melahirkan ribuan pesantren baru, sebagaimana mereka juga menjadi da’i, tokoh politik, pejabat negara, pengusaha, guru, pegawai negeri dan banyak lagi.
Ketika beberapa hari ini merebak kasus asusila seorang yang katanya pimpinan pesantren kepada santri putrinya, tiba-tiba muncul suara yang mendiskreditkan pesantren sambil menanamkan ketidakpercayaan masyarakat memasukkan anaknya ke pesantren. Jenis orang yang sama yang menuntut pembubaran MUI lantaran kasus yang menimpa pengurusnya. Ternyata penyakit ini begitu akut, sejauh menyangkut umat Islam sangat vokal sekali menyudutkan. Padahal pelaku asusila tersebut disebut menganut paham yang berbeda dengan kebanyakan pesantren yang ada. Aneh juga santriwati segitu banyak yang menjadi korban, bahkan ada yang sampai melahirkan, tidak nampak ada perlawanan. Setertutup apapun sebuah pesantren pelaksanaan pendidikan dilakukan dengan melibatkan banyak orang. Kecuali memang ada paham yang mendukungnya, sangat sulit dibayangkan kasus sekian banyak santri tanpa terekspos ke permukaan sekian lama. Pastinya itu pesantren “khas” yang tidak mewakili pesantren lainnya.
Jadi bedakan:
“Pesantren dan Boarding School, Ustad dan Guru Ngaji, Kyai dan Pimpinan Yayasan, Pesantren Asli dan Pseudo-pesantren”
Pihak-pihak yang nampak anti pesantren harus membuktikan dengan data dan fakta atas tuduhannya kepada institusi pesantren. Tanpa bukti yang valid, patut kita bertanya siapa dia, jangan-jangan ada hubungannya dengan penjajah masa lalu atau masa kini yang kepentingannya terhambat oleh pesantren. (JFH)
Oleh: KH. Jamaluddin F. Hasyim
Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU dan Ketua KODI DKI Jakarta