Oleh: Farhah Sholihah in Suara Kita
Menabrakkan Diri untuk Masuk Surga : Deteksi Doktrin yang Menyesatkan
Seorang wanita berhijab melakukan aksi nekat menabrakkan diri dengan sepeda motornya ke ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), Mapolres Pematang Siantar, Sumatera Utara (21/3/2022). Wanita dengan inisial FAM itu secara lugas mengatakan perbuatan itu dilakukan karena ingin masuk surga. Apakah dia sadar? Sangat sadar karena semata ingin masuk surga.
Persoalan terorisme bukan dilihat hanya sekedar aksi kekerasan. Yang lebih berbahaya justru adalah paham yang mendorong seseorang untuk secara sukarela atau bahkan dengan yakin menganggap perbuatan itu sebagai tindakan kebenaran. Aksi yang dilakukan tidak dianggap sebagai kejahatan, tetapi kebanggaan untuk mendapatkan cita dan mimpi tentang kebahagiaan pasca kematian.
Tentu proses mendapatkan keyakinan seperti itu bukan proses instan. Artinya, seseorang tidak secara tiba-tiba secara sukarela melakukan aksi nekat meledakkan diri atau menabrakkan diri pada sasaran yang dituju. Butuh tidak sekedar nyali atau keberanian, tetapi ada keyakinan yang mendasari harapan tentang balasan aksi yang mereka lakukan.
Sangat luar biasa paham ini. Bayangkan seorang remaja bisa nekat masuk ke kantor kepolisian melakukan penembakan. Atau satu keluarga berbagi rencana dengan rapi menyerang ke beberapa titik lokasi. Menyedihkan pula, ada kasus anak yang dengan polos mengungkapkan nikmatnya melakukan bom bunuh diri sebagai Tindakan mulia.
Pertanyaannya bukan seberapa berani mereka, tetapi seberapa kuat keyakinan itu ditanamkan dan seberapa jahat doktrin itu memanfaatkan korban untuk melakukan aksi demi kepentingan mereka. Doktrin mati sebagai suatu perjuangan tidak serta merta lahir dari ruang hampa. Ada kerentanan seseorang yang dengan mudah menerima doktrin kematian itu.
Di sinilah, penting memahami bahwa aksi terorisme bukan juga persoalan ekonomi. Terlalu banyak contoh untuk disebutkan jika pelaku teror yang terdiri dari kalangan mereka yang mampu, bahkan mapan. Bukan pula sesederhana persoalan Pendidikan. Terlalu banyak contoh mereka yang melakukan aksi teror dari kalangan terdidik, bahkan perguruan tinggi.
Luput dari persoalan kita karena sering menyamakan terorisme dengan kejahatan biasa. Seolah Tindakan teror didorong motif ekonomi dan Pendidikan yang dilakukan oleh orang yang terpaksa dan tidak berpendidikan. Bukan! Sekali lagi ini persoalan keyakinan yang teramat kuat dari pelaku untuk melakukan tindakan brutal yang dianggap sebagai kebenaran.
Kenapa mereka begitu nekat melakukan aksi? Persoalan balas dendam, kekecewaan politik, dan faktor lain adalah pemicu yang mendorong. Namun, faktor keyakinan, cara pandang, dan ideologi menjadi sumbu utama. Artinya, seseorang yang kecewa secara politik dan memiliki dendam pun tidak akan melakukan aksi yang sama jika tidak ada keyakinan yang memperdaya dirinya tentang harapan surga dan pahala atas aksinya. Teramat banyak mereka yang kecewa secara politik, memiliki dendam atas kebijakan, atau memiliki tingkat kesejahteraan yang kurang, namun mereka tidak melakukan aksi.
Persoalan ini akhirnya membawa kita ke ranah pemahaman yang mendorong seseorang berani untuk melakukan aksi brutal. Keyakinan ini ditanam sejak lama dan hanya menunggu momentum pemicu dan pendorong untuk melakukan aksi. Tidak perlu persiapan yang memadai, atau Latihan fisik, yang penting niat dan keyakinan ada, motor, pisau, atau senjata pun bisa digunakan tanpa komando untuk melakukan aksi secara mandiri.
Pemahaman menyesatkan ini harus dideteksi sejak dini. Tidak mudah hanya dengan persoalan penampilan. Keyakinan ini akan terungkap melalui perilaku dan pernyataan. Seseorang yang memiliki pandangan ini tidak akan kuat menahan diri untuk tidak menyungkapkan kepada publik baik secara langsung maupun postingan di media sosial.
Memang terlihat seperti orang pada umumnya. Bisa jadi sangat tertutup dan bisa jadi seperti biasanya bergaul. Namun, dalam dirinya mempunyai keyakinan bahwa yang berbeda adalah musuh, aparat adalah musuh, bahkan negara adalah alat untuk melakukan kedzaliman.
Secara psikologis orang seperti ini akan merasa sendiri dan terasing (ghuraba) dengan keyakinannya. Tentu keluarga yang akan menjadi sasaran untuk dipengaruhi. Jika tidak, mereka akan dimusuhi. Mereka akan nyaman dengan komunitas dan individu yang memiliki pandangan yang sama. Pada akhirnya, jika momentum ada, mereka akan melakukan aksi.
Deteksi ini doktrin menyesatkan ini butuh keterlibatan seluruh pihak terutama keluarga. Pola perilaku menyimpang dari kebiasaan umum menjadi deteksi awal yang bisa diamati. Keluarga untuk tidak segan memberikan nasehat atau melaporkan kepada otoritas yang lebih kuat untuk memberikan nasehat kepada mereka. Jika tidak dan selalu dibiarkan, aksi nekat pun hanya menunggu waktu dan momentum.