“Saya warga NU. Tapi tidak setuju dengan Ketua NU yang sekarang. NU sekarang sudah tidak sama dengan NU Hadlrotussyaikh Hasyim Asy’arie”.
Awalnya kita hanya tersenyum saja mendengar pernyataan “lugu” ini. Paling cuma membatin, bagaimana bisa-bisanya membandingkan demikian. Jamannya saja beda. Tentu cara membawakan dan cara merawatnya juga berbeda.
Lagi pula kapan mereka ketemu dengan Hadlrotussyaikh yang sudah berpulang pada tahun 1947 sehingga bisa percaya diri seperti itu. Dan bukankah terpilihnya Ketua NU juga atas restu dari seluruh Ulama Sepuh, para masyayyikh Pakubumi Nusantara?
Tidak mungkin kita sekarang ini menggelorakan anti produk Belanda, pakai sandal teklek, mukena harus jahitan tangan, membentuk laskar sabilillah bersenjata, mengeluarkan resolusi jihad, merebut, dan mempertahankan kemerdekaan.
Saat ini jamannya mengisi kemerdekaan dan merangkul semua golongan. NU bukan saja NU itu sendiri melainkan telah menjelma sebagai salah satu tiang penyangga utama tegaknya NKRI.
Namun, ketika gema ini semakin santer dibarengi dengan berbagai cacimaki, ghibah dan fitnah dalam framing penggiringan kebencian kepada setiap Ketua PBNU terpilih sejak jaman KH Abdurrahman Wahid, KH Hasyim Muzadi, KH Said Aqil Siroj hingga saat ini KH Yahya Cholil Staquf, maka perlulah kita menjelaskan duduk permasalahannya.
Mereka yang sibuk berisik itu apakah tidak tahu bahwa kedudukan Hadlrotussyaikh sebagai Rois Akbar itu tidak sepadan dengan Ketua PBNU masa kini. Jadi, bagaimana bisa membandingkannya?
Apakah mereka tidak tahu bahwa Hadlrotussyaikh sebagai Rois Akbar itu digantikan oleh KH Wahab Hasbullah (selanjutnya disebut Rois Aam), kemudian KH Bisri Syansuri, dilanjutkan KH Ali Maksum, lalu KH Ahmad Shiddiq. Setelah itu berturut-turut KH Ali Yafie, KH Ilyas Rukhyat, KH Sahal Mahfudz, KH Musthofa Bisri lalu kepada KH Makruf Amin. Dan saat ini posisi ini diamanahkan kepada KH Miftahul Ahyar.
Sementara KH Yahya Cholil Staquf (sekarang) adalah ketua Tanfidziyah penerus dari KH Said Aqil Siroj, meneruskan KH Hasyim Muzadi yang sebelumnya dijabat oleh KH Abdurrahman Wahid, KH Idham Cholid, KH Muhammad Dahlan, KH Wahid Hasyim, KH Nahrowi Thohir, KH Mahfudz Shiddiq, KH Ahmad Noor dan yang pertama oleh KH Hasan Gipo?
Nah, KH Hasan Gipo inilah yang diamanati Hadlrotussyaikh Hasyim Asy'arie untuk mengendalikan NU secara organisasi. Sebab awal pembentukan NU membutuhkan modal yang sangat besar untuk mensosialisasikan berdirinya Jam'iyyah Nahdlatul 'Ulama ke seantero Nusantara.
Atas jasa besar pendanaan dari KH Hasan Gipo dan dibantu oleh KH Wahab Hasbullah beserta beberapa Ulama inilah NU tersosialisasi dengan baik. Begitu mendapat kabar bahwa Hadlrotussyaikh Hasyim Asy'arie mendirikan sebuah Jam'iyyah maka seluruh Ulama di Jawa, Madura dan Sumatera segera bermakmum.
Setelah itu disusul oleh Ulama dari Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Bahkan dari Singapura juga menyambut hangat berita gembira ini.
Jika ibaratnya dalam NKRI, Rois Aam adalah lembaga tertinggi seperti MPR sedangkan tanfidziyah adalah lembaga pelaksana kebijakan semacam lembaga eksekutif, maka tentu Bung Karno bisa kita bandingkan dengan Pak Harto atau Pakdhe Jokowi. Bukan membandingkan Pakdhe Jokowi dengan Pak Harmoko atau Pak Bambang Susatyo.
So, kalau mau sejajar, maka bandingkanlah antara sesama Rois Aam dalam dinamika dari jaman ke jaman. Bukan membandingkan Hadlrotussyaikh Hasyim Asy'arie dengan KH Abdurrahman Wahid.
Nah, jika masalah sekecil ini saja sama sekali tidak faham, maka mohon maaf jika kita patut meragukan para pencaci itu sebagai warga NU tulen.
Dan anehnya, mereka selalu muncul dari jaman ke jaman. Sudah saatnya kita semakin mengenal sejarah NU tercinta supaya tidak mudah terhasut dalam bentuk apapun.
Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad...
Oleh: Shuniyya Ruhama
Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah Weleri Kendal