POLITIK IDENTITAS BERBUAH ISLAMOPHOBIA
Oleh Ayik Heriansyah
Perasaan takut, khawatir dan cemas kepada agama Islam yang muncul dalam situasi dan kondisi tertentu (Islamophobia), khususnya pada momen-momen politik seperti pemilu yang membuka peluang bagi terjadinya politisasi agama, yang populer disebut dengan politik identitas.
Memang benar, bahwa agama dalam hal ini agama Islam mengatur semua aspek kehidupan, termasuk urusan politik, pemerintahan dan kenegaraan, akan tetapi, ajaran Islam terkait tiga hal tersebut, berbeda dengan aspek ibadah mahdlah (ritual).
Dalam ibadah mahdlah, keabsahannya dinilai dari niat dan kaifiyat, bukan dari maqashid. Maqashid dari ibadah mahdlah adalah pahala yang akan diterima wujud fisiknya di akhirat nanti.
Apabila niatnya ikhlas, jujur dan tulus karena Allah swt, dan kaifiyatnya sesuai tuntunan Rasulullah saw, maka, ibadah tersebut diterima. Namun demikian, hanya Allah swt yang mengetahui niat seseorang, sehingga, kita tidak dapat memvonis ibadah seseorang, sah atau tidak.
Adapun dari sisi kaifiyat, ada sedikit ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan Imam Madzhab dalam memahami hadis Nabi saw, yang mengingatkan kita agar tidak gegabah menilai ibadah orang apabila sedikit berbeda dengan kaifiyat kita.
Baca juga:https://www.hwmi.or.id/2022/07/imam-besar-istiqlal-tepis-fenomena.html
Sedangkan dalam masalah politik, pemerintahan dan kenegaraan, yang menjadi nilai adalah maqashid yang berwujud materi (barang) dan non materi (jasa). Niat dan kaifiyat bukan faktor penentu, sebab, masalah niat dikembalikan kepada urusan individu politisi, pejabat dan negarawan dengan Allah swt. Masalah kaifiyat sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad politisi, pejabat dan negarawan; Yang penting maqashid tercapai.
Umumnya, para pengusung politik identitas menyamakan konsep ibadah mahdlah dengan urusan politik, pemerintahan dan negara. Mereka fokus kepada niat dan kaifiyat, sering mengabaikan maqashid. Fokus kepada niat, membuat mereka mudah membenci dan memvonis politisi, pejabat dan negarawan yang berbeda ijtihad dengan mereka dengan sebutan fasik, dzalim, kafir, pengkhianat dan antek Barat.
Fokus kepada kaifiyat, membuat mereka menjadi kaku, formalis, intoleran, ekstrim, radikal, sampai mengarah kepada aksi teror ketika menghadapi ijtihad politik yang berbeda dengan pendapat mereka.
Celakanya, ketidakmampuan mereka membedakan konsep ibadah mahdlah dengan politik, dijustifikasi dengan agama. Seolah-olah keinginan mereka me-mahdlah-kan urusan politik, bagian dari ajaran Islam. Padahal, mereka sendiri yang salah paham.
Baca juga:https://www.hwmi.or.id/2022/07/prof-noorhaidi-hasan-islamophobia-upaya.html
Politik identitas dilatarbelakangi oleh kesalapahaman tersebut. Politik identitas yang kaku, formalis, intoleran, ekstrem, radikal dan mengarah kepada teror, sungguh menakutkan, mengkhawatirkan dan mencemaskan. Inilah asal muasal munculnya islamophobia, yang sejatinya merusak citra Islam sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil 'alamin.