Kembali ke Al-Quran dan Sunnah? - HWMI.or.id

Sunday 18 September 2022

Kembali ke Al-Quran dan Sunnah?

Kita mungkin sering mendengar kata² seperti judul di atas, di nasehati untuk kembali ke Al-Qur’an dan sunnah . 

Sekilas nasehat tersebut baik, tentu saja baik karena kita dianjurkan untuk menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup, tapi kalau direnung lebih dalam kita juga wajib bertanya, apakah semua orang diberi kebebasan untuk menafsirkan al-Qur’an? Kalau anda ada persoalan kemudian buka al-Qur’an dan Hadist kemudian memahami sendiri sesuai terjemahan apakah ini yang dikatakan kembali ke Al quran dan sunnah .

Lalu dimana anda mau letakkan pendapat para ulama yang telah menyusun tafsir dan penjelasan lengkap selama 1400 tahun?

Sejak kapan nabi dan para sahabat memberikan contoh Al quran ada terjemahannya, 

Al quran diterjemahkan sejak pertengahan abad ke-17 M. Syeikh Abdul Ra'uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh)

Hanya di Indonesia, Wahabisme menjadi berkembang biak, bukan berkembang baik. 

Paham itu menginginkan Islam sebagai agama yang dipraktikkan harus sama dan sesuai di zaman Nabi, bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW adalah perbuatan bid’ah. 

Bid’ah yang dilontarkan mereka adalah sesat, pengamal bid’ah divonis masuk neraka tanpa proses. 

Risalah Islam yang suci, itu kini tengah dikotori oleh ajaran² dan fatwa² keblinger dari mereka² yang belajar agama melalui hafalan dan terjemahan, satu ayat yang dihafal dianggap senjata untuk menghukumi muslim lainnya yang sudah paham agama. 

Satu hadis yang dihafal, mereka menganggap paling sunnah dari muslim lainnya yang sudah rajin ibadah.

Ketika kami beramal, kalian sebut kami bid’ah..

Ketika kami tunjukan dalil, kalian anggap dalil itu palsu.

Ketika kami buktikan itu shahih, kalian teriak kami sesat. 

Ketika kami menasehatimu, kalian pikir kami mengajak debat. 

Ketika kami ajak membuktikan kebenaran kalian lari, tak berani bersuara.

dan Ketika kami meyakini apa yang kami lakukan sesuai dalil yang ada ehh kalian malah berkata kami bermain bukan dengan dalil tapi dengan perasaan seperti kaum musyrikin jahiliyah. 

Dalam beribadah memang kita dituntut dan diharuskan untuk mengikuti apa yang sudah digariskan oleh Allah swt dalam Al-Quran dan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw melalui riwayat²nya .

Ya benar, tidak ada selain itu.

Akan tetapi akan terjadi ketimpangan dan kebingungan kalau hanya langsung kembali ke Al-Quran dan Sunnah Nabi. 

Kapasitas kemampuan orang itu berbeda-beda antara satu dan yang lainnya, tidak bisa disamaratakan. 

Kalau dengan kemampuan pemahaman yang segitu-segitu saja, kemudian ia dipaksa untuk beribadah sesuai Al-Quran dan Sunnah versi pemahamannya, tentu akan terjadi kekacauan syariah.

Ahlussunnah memahami bahwa rujukan muslim adalah:

1. Al Quran

2. Hadits

3. Ijma

4. Qiyas

Maka jika hanya bermodal merujuk langsung Al Quran dan hadits tanpa Ijma ulama yg kapasitas ilmunya mumpuni akan sulit dan rancu.

Contoh: Sholat Boleh Menghadap Kemana Saja

Orang yang melaksanakan sholat dan menghadap bukan ke kiblat, akan tetapi menghadap kearah selain kiblat, sholatnya tetap sah jika diukur dari slogan “Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” itu. Toh memang di Al-Quran disebutkan begitu,

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui” (Al-Baqarah 115).

Padahal sejatinya sholat punya aturan dan tuntunan yang memang sudah baku, sesuai apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.

Contoh 2: Orang Non-Muslim Najis, Maka Jauhi

Kalau dengan slogan itu juga, maka menjadi benar jika ada seorang muslim yang tidak mau bergaul dan berbaur dengan saudara-saudaranya yang non-muslim, karena memang orang non-muslim itu najis. Sebagaimana firman Allah swt.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini” (At-Taubah 28).

Padahal sama sekali tidak ada satu pun pendapat dari 4 madzhab Fiqih yang mengatakan bahwa orang non-muslim itu najis.

Semua bersepakat bahawa najis yang dimaksud diayat ialah najis secara makna bukan secara zahir.

Dan juga tidak ada dari para Imam tersebut yang mengharamkan kita untuk berbaur, bersalaman, atau bahkan memeluk saudara kita yang non-muslim. 

Dan juga kita dibolehkan berkongsi makan dan minum dengan mereka dalam satu wadah selama itu bukan makanan atau minuman yang diharamkan dalam syariah.

Contoh 3: Buang Air Menghadap Kiblat

Dan pasti seseorang akan kebingungan jika dia langsung kembali kepada Hadits, lalu menemukan hadits yang melarangnya untuk membuang air dengan menghadap atau membelakangi kiblat. Seperti yang dijelaskan oleh Nabi saw dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshori:

إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلَا

 تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

Jika kalian masuk toilet, janganlah kalian menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, dan jangan juga membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat”(HR Tirmidzi)

Loh bagaimana ini? Dilarang menghadap kiblat dan juga dilarang membelakanginya, akan tetapi menghadap barat atau ke timur. 

Bagaimana bisa? Toh di Indonesia kalau kita menghadap timur, itu berarti membelakangi kiblat, kalau ke barat justru kita menghadap kiblat. Lalu menghadapmana mestinya kita jika buang air?

Kalau hanya semangat “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, itu tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. 

kita akan mentok dan akhirnya bingung sendiri.

Contoh 4: Pojokkan Mereka Ke Jalan Yang Sempit

Saya akan lebih takut jikalau ada seorang yang dengan semangat “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah”, kemudian tanpa guru ia membuka kitab hadits, lalu menemukan hadits ini:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍفَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ

janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang yahudi dan Nashrani. Dan jika kalian bertemu mereka di jalan, pojokkan mereka ke jalan yang sempit (jangan beri jalan)” (HR Muslim). 

Haditsnya shahih, riwayat Imam Muslim pula, siapa yang berani mengatakan kalau ini hadits dhoif? Redaksinya jelas, tidak ada bias bahwa kalau bertemu dengan orang Yahudi dan Nashrani di jalan, jangan beri mereka jalan. Pojokkan mereka sampai tidak ada jalan bagi mereka untuk meneruskan jalannya.

Bayangkan bagaimana jika ada orang yang dengan semangat “kembali ke Al-Quran dan Sunnah” yang menggebu-gebu mendapati hadits ini tanpa bimbingan seorang guru? Apa yang sekiranya ia lakukan setelah mendapatkan hadits tersebut? Yang terjadi pasti kekacauan sosial diantara masyarakat.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda