Meneladani Ijtihad Politik Rasulullah di Era Demokrasi 4.0 - HWMI.or.id

Thursday 6 October 2022

Meneladani Ijtihad Politik Rasulullah di Era Demokrasi 4.0

Oleh: Desi Ratriyanti in Narasi

Meneladani Ijtihad Politik Rasulullah di Era Demokrasi 4.0

Di kutip dari akun Damailah RI, ada dua momen penting dalam sejarah hidup Nabi Muhammad. Yakni momen kelahiran dan momen ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Yatsrib. Keduanya memiliki makna tersendiri di hati umat Islam. Hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid) menjadi penanda datangnya sosok pencerah yang membawa umat dari era jahiliyyah (primitif) menuju era tamaddun (berperadaban).

Dan, salah satu tahapan paling menentukan dalam mewujudkan masyarakat tamaddun itu adalah ketika Rasulullah membangun kota Madinah pasca ia hijrah dari Mekkah. Dalam sejarah politik Islam, kepemimpinan politik Rasulullah di Madinah telah menjadi semacam model ideal pemerintahan dalam Islam. Kala itu, Nabi Muhammad mengatur kehidupan bernegara melalui Konstitusi Madinah (Dustur Madinah/Qanun Madani).

Ada setidaknya dua tantangan nyata yang dihadapi Nabi Muhammad ketika mentransformasikan Yatsrib menjadi Madinah. Pertama, kondisi masyatakat Yatsrib yang pluralistis. Ada sejumlah golongan kala itu, antara lain muslim imigran dari Mekkah (muhajirin), muslim pribumi (anshar) yang terdiri atas suku Aus dan Khazraj, serta komunitas Yahudi yang terbagi ke dalam tiga klan. Yakni Bani Qunaiqa, Bani Nadzir, dan Bani Quraizah. Selain itu, ada sejumlah suku kecil yang bisa dikatakan sebagai golongan minoritas.

Kedua, kultur masyarakat Yatsrib yang fanatik pada identitas kesukuan (tribalisme). Sebagaimana masyarakat di kawasan Jazirah Arab, masyarakat Yastrib dikenal sangat menjunjung tinggi kebanggaan pada identitas kultural seperti kesukuan atau klan. Tidak jarang, konflik dan perang antar-suku atau bani terjadi hanya karena urusan sepele.

Reformasi Sosio-Kultural di Madinah

Nabi Muhammad memahami betul kondisi dan tantangan tersebut. Maka, ia melakukan sejumlah reformasi sosial-politik untuk membentuk tatanan baru. Langkah pertama, ia membangun masjid sebaai ruang publik dimana segala persoalan kemasyarakatan dibahas dan dicarikan solusi. Kedua, membangun koalisi antara kelompok anshar dan muhajirin. Ketiga, dan ini yang terpenting yakni menyusun Piagam Madinah (Mitsaq al Madinah/Madinah Charter).

Piagam Madinah adalah semacam memorandum of understanding (MoU) antara berbagai kelompok masyarakat yang ada di Yatsrib agar berkomitmen saling menjaga dan menghormati. Piagam Madinah inilah yang kelak menjadi semacam dasar konstitusi bernegara masyarakat Madinah. Langkah Nabi Muhammad dengan membangun masjid, mempererat persaudaraan Anshar dan Muhajirin, serta menyusun Piagam Madinah merupakan ijtihad politik yang brilian.

Dikatakan ijtihad politik karena Rasulullah sebenarnya bisa dengan mudah mendirikan negara Islam, yang memberikan privilege bagi komunitas muslim dan meminggirkan kelompok non-muslim. Alih-alih membentuk sebuah negara yang menomorsatukan umat Islam, Nabi memilih untuk mendirikan sebuah negara yang mengintegrasikan kepentingan seluruh kelompok masyarakat.

Piagam Madinah yang menjadi dasar konstitusi itu memiliki setidaknya lima prinsip. Yakni prinsip persaudaraan (al-akha’), kesetaraan (al-musawwah), toleransi (tasamuh), musyawarah (al-tasyawur), tolong-menolong (al-ta’awun), dan keadilan (al adalah). Oleh karena itu, di Madinah seluruh penduduk disebut sebagai ummah, yang merujuk pada seluruh golongan alias tidak hanya dari kelompok Islam saja.

Dari negara Madinah ini sebenarnya kita bisa belajar bahwa praktik bernegara tidak harus berdasar pada teks-teks keagamaan yang dimaknai secara harfiah (kaku). Nabi Muhammad mencontohkan bahwa negara yang Islami adalah negara yang demokratis dan egaliter.

Bernegara Ala Rasulullah di Era Demokrasi 4.0

Ijtihad politik Rasulullah itulah yang idealnya kita teladani dalam konteks bernegara di era demokrasi 4.0. Yakni era demokrasi yang ditandai dengan masifnya penggunaan media digital dan kecerdasan buatan serta teknologi jaringan untuk aktivitas-aktivitas politik. Di era demokrasi 4.0 kontestasi politik, termasuk isu kenegaraan lebih banyak terekspose di ranah digital.

Demokrasi 4.0 punya sejumlah tantangan. Antara lain, masifnya hoaks, ujaran kebencian, provokasi perpercahan dan sejumlah konten digital yang bersifat negatif lainnya. Kini, masyarakat begitu mudah diadu-domba oleh narasi-narasi di media digital yang bahkan belum jelas kebenarannya. Akumulasi dari residu demokrasi 4.0 itu adalah lunturnya komitmen anak bangsa terhadap NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.

Di era demokrasi 4.0 internet dan media sosial telah menjadi ruang publik baru yang ironisnya lebih menjurus pada watak destruktif ketimbang konstruktif. Media sosial menjadi ruang dimana narasi kebencian, permusuhan, dan perpecahan diinkubasi. Hasilnya adalah menguatnya segregasi sosial dan polarisasi politik. Di saat yang sama, virus radikalisme dan ekstremisme agama pun tumbuh subur.

Meneladani konsep bernegara ala Rasulullah di era demokrasi 4.0 ini adalah dengan jalan membangun masyarakat sipil (madani) yang rasional, independen, dan kritis. Rasional dalam artian mampu memahami semua isu sosial-politik dengan akal sehat. Independen dalam artian memiliki kemandirian untuk menentukan sikap. Sedangkan kritis maknanya bisa memilah mana yang baik dan buruk bagi demokrasi.

Dengan masyarakat madani yang kuat itulah, kita patut optimistik bisa mewujudkan kehidupan bernegara yang berbasis pada kasih sayang (ta’ayus al qaum bil ulfah wal mawaddah) serta hidup rukun-damai (al ta’ayus al silmi). Dengan begitu, Indonesia akan menjadi negara yang baldatun thayyibun warabbun ghafur sebagaiman diidealkan oleh Islam. Semoga!

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda