Semua ilmu pengetahuan ditopang oleh ilmu pengetahuan lain yang menjadi dasar yang harus dikuasai terlebih dahulu agar ilmu yang dituju tersebut dapat dikuasai dengan mendalam. Sebelum belajar fisika misalnya, mau tidak mau seseorang harus mempelajari matematika terlebih dahulu. Bagi Hujjatul Islam Imam Ghazali, dasar dari semua pengetahuan adalah ilmu logika sebab prinsip-prinsip yang dipelajari dalam ilmu logika berlaku untuk semua jenis ilmu pengetahuan. Ketika Dia hendak berbicara tentang Ushul Fikih, Hujjatul Islam terlebih dahulu menyinggung tentang pendahuluan ilmu logika sebagai pembuka. Dia kemudian berkata:
«المستصفى» (ص10):
وَلَيْسَتْ هَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ مِنْ جُمْلَةِ عِلْمِ الْأُصُولِ وَلَا مِنْ مُقَدِّمَاتِهِ الْخَاصَّةِ بِهِ، بَلْ هِيَ مُقَدِّمَةُ الْعُلُومِ كُلِّهَا،
“Muqaddimah ini (muqaddimah tentang pembahasan sumber ilmu yang berupa hadd dan burhan yang dibahas dalam ilmu manthiq/logika) bukanlah termasuk ilmu ushul dan tidak juga termasuk ilmu yang khusus bagi ushul, tapi ia adalah muqaddimah seluruh ilmu pengetahuan.
Apa yang dikatakannya benar, semua ilmu pengetahuan mutlak memerlukan hadd (definisi) dan burhan (argumentasi). Tanpa keduanya, maka pembahasan suatu pengetahuan akan absurd. Berdasarkan alasan tersebut, Dia kemudian memberi statemen yang terkenal dan cukup membuat orang-orang literalis meradang marah ketika membacanya, yaitu:
وَمَنْ لَا يُحِيطُ بِهَا فَلَا ثِقَةَ لَهُ بِعُلُومِهِ أَصْلًا
Orang yang tidak menguasainya, maka ilmu-ilmunya sama sekali tidak dapat dipercaya” (al-Ghazali, al-Mustashfa, 10)
Meskipun pedas dan terkesan berlebihan, apa yang dikatakan oleh Hujjatul Islam tersebut benar. Orang-orang literalis yang tidak pernah mau membahas tentang definisi akan selalu jatuh pada absurditas. Meskipun panjang dan lebar ulasannya namun hanya berputa-putar dan menabrak sana-sini seperti gasing sebab definisi dari apa yang dibicarakannya berikut basis argumennya tidak jelas dan selalu menolak untuk diperjelas.
- Gus AWA -