Apa dan Siapa Pengarang Shalawat Nariyah? - HWMI.or.id

Thursday 28 September 2023

Apa dan Siapa Pengarang Shalawat Nariyah?

Sebagian kalangan mempertanyakan dan bahkan menuding tak berdasarnya Shalawat Nariyah. Pokok persolannya, menurut mereka adalah tidak diketahui pengarangnya. Dewan Pakar Aswaja NU Center Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, mengatakan, "Jika beralasan karena ketidakjelasan siapa pengarangnya, maka Mufti Mesir, Syaikh Ali Jumah yang digelari Allamah Ad-Dunya, mendapat sanad yang sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar. 

Syaikh Abdullah al-Ghummar, adalah seorang ahli hadits dari Maroko, yang (sanadnya) sampai kepada muallif (pengarang) Shalawat Nariyah Syaikh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko). 

KH. Ma'ruf Khozin mengatakan, “Kesemuanya secara musyafahah, menyampaikan bacaan shalawat tersebut dari guru kepada muridnya secara langsung.” 

Sementara nama Shalawat Nariyah, ada kalangan yang alergi dengan ‘nar’ yang memang populer dengan sebutan Nariyah. Sebagian orang menganggap bahwa makna ‘nar’ adalah neraka, ‘iyah’ adalah pengikut, yang disimpulkan ‘pengamal nariyah’ adalah pengikut ahli neraka. Maka, hal itu sangat tidak tepat. Perhatikan dalam Al-Qur’an berikut ini:

 إِذْ رَأَىٰ نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى

 “Ketika ia (Musa) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (Thaha: 10) 

Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi yang merupakan seorang wali agung di kota Taza, Maroko. 

Namun, masih ada perbedaan pendapat mengenai namanya di kalangan ulama. Ada yang menyebut Ahmad At-Tazi, Ibrahim At-Tazi, dan Abdul Wahab At-Tazi.

Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi diperkirakan lahir pada abad ke-8 Hijriyah atau abad ke-14 Masehi. Beliau wafat pada tanggal 9 Sya’ban 866 Hijriah atau 9 Mei 1462. Dimakamkan di Wahran, Aljazair di dekat kuburan gurunya, Al-Hawwari selama 50 tahun. 

Lalu dipindahkan secara sembunyi-sembunyi oleh muridnya ke Benteng Bani Rasyid. 

Dipindahkannya makam Beliau dikarenakan Aljazair dijajah oleh Spanyol dan kuburan dijadikan sebagai tempat duduk.

Semasa hidup Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi dihabiskan dengan mesantren di Maroko atas kehendak ayahnya. Setelah diri sudah yakin berguru di sana, Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi lanjut ke Hijaz dengan niat ibadah haji. 

Setibanya di Mekkah, Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi belajar ke Syekh Sayyid Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Ali Al-Hasani Al-Fasi. 

Di Madinah, Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi berguru kepada beberapa ulama. Di antaranya, Syekh Abul Fath Muhammad bin Ali Bakr Al-Qurasyi Asy-Syafi’i.

Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi adalah orang yang ahli ilmu hadis, mantiq, ushuluddin, tajwid, hingga linguistik arab. 

Suaranya begitu merdu. Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ali At-Tazi pernah mengajar kitab Mukhtashar Khalil tanpa melihat syarahnya. Akhlaknya seperti Nabi. Sabar ketika fitnah, santun, ramah dan sebagainya. 

Menurut Syaikh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah karena terjadi tashrif atau perubahan dari kata yang sebenarnya taziyah. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam tulisan Arab, yaitu النارية dan التازية yang berbeda pada titik huruf. 

Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya. 

Sementara dalam kitab Khazinatul Asrar, sebuah kitab yang banyak memuat ilmu tasawuf dan tarekat karya Syaikh Muhammad Haqqi Afandi An-Nazili, disebutkan bahwa Syaikh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan nama Shalawat Tafrijiyah, yang diambil dari teks yang terdapat di dalamnya yaitu (تنفرج). 

Demikian halnya Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal ash-Shalawat ala Sayidi as-Sadat pada urutan ke 63. 

“Semua syubhat (propaganda) dalam shalawat Nariyah telah kita ketahui dalilnya sehingga boleh kita amalkan. Akan tetapi, jika penolakannya, keengganannya dan keberatannya karena kebencian kepada kami para santri, maka tak cukup 1000 dalil untuk memuaskan dahaga kebenciannya,” pungkas KH. Ma'ruf Khozin.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda