Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari PBNU; Terlibat politik praktis dan keberadaan kelompok oposisi kritis.
1. Terlibat politik praktis. NU berdiri 1926. 11 tahun kemudian terjun ke politik praktis. Waktu zaman Rais Akbar Mbah Hasyim Asy'ari, PBNU terlibat politik praktis berkoalisi dengan ormas Islam yang lain di MIAI 1937 dan Masyumi 1943.
Kemudian terlibat total dalam politik praktis jaman Rais Am pertama Mbah Wahhab dengan mentranformasi jam'iyah NU menjadi Hizbu NU 1952-1971.
Lalu berkoalisi lagi dengan kelompok Islam yang lain dalam wadah PPP 1973-sekarang. Tahun 1998 mendirikan PKB.
Jadi, sebenarnya selama 98 tahun perjalanan NUmenurut kalender masehi, PBNU tidak pernah rehat dari politik praktis kecuali 11 tahun dari kelahirannya.
Selama 87 tahun PBNU terlibat politik praktis dengan metode dan strategi yang berubah-ubah menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang berkembang.
2. Keberadaan kelompok oposisi kritis.
Kelompok oposisi kritis terhadap PBNU pertama kali muncul ketika NU keluar dari Masyumi lalu mendirikan partai sendiri 1952.
Tokoh-tokoh NU yang tergabung di Masyumi di wilayah Jabodetabek memilih tetap di Masyumi. Mereka tidak ikut partai NU. Kelompok oposisi ini bersifat individual.
Ketika Ketua Umum PBNU dijabat Kiai Idham Khalid yang tinggal di Cipete, muncul kelompok oposisi yang dipimpin Gus Dur yang tinggal di Ciganjur.
Puncak dari kegiatan kelompok oposisi ini melahirkan deklarasi kembali ke Khittah 1926 waktu Muktamar NU di Situbondo 1984.
Kelompok oposisi terhadap PBNU muncul lagi pasca Muktamar NU 2015 di Jombang. Kelompok ini bernama NU Garis Lurus.
Selama PBNU dipimpin oleh Kiai SAS 2015-2021 kelompok oposisi ini cukup aktif.
Individu dan kelompok oposisi terhadap PBNU bermunculan sejak ada isu keberpihakan PBNU kepada salah satu pasangan Capres.
Penulis : Ayik Heriansyah