HWMI.or.id: Salaf
Showing posts with label Salaf. Show all posts
Showing posts with label Salaf. Show all posts

Saturday, 15 July 2023

Habib Umar bin Hafidz

 Istiqamah membaca shalawat Nabi Muhammad akan memperkuat hubunganmu dengan Allah dan Rasul-Nya, karena dalam melakukannya engkau akan mengingat keduanya, Allah dan Rasul-Nya.

اللهم صل وسلم وبا رك علی سيدنا محمد عبدك وحبيبك ونبيك ورسو لك النبي الامي وعلی اله وصحبه وسلم ﷺ


Wednesday, 12 July 2023

Hakikat Keselarasan Ikhtiar dan Tawakkal. Habib Luthfi bin Yahya

Tawakkal atau pasrah, dalam kitab Jami’ul Ushul al-Auliya’ terbagi menjadi tiga, yaitu tawakkalnya orang awam, tawakkalnya orang khawash dan tawakkalnya orang yang khawashil khawash. Tentu ketiganya memiliki perbedaan.


Pertama, tingkatan tawakkalnya orang awam itu mengharapkan pertolongan Allah Swt. Berbeda dengan tawakkalnya orang khawash yang senantiasa pasrah kepada Allah Swt. bukan hanya ketika ada keperluan saja. Karena pada hakikatnya penggunaan kalimat tawakkal jika kita tidak paham tauhid serta keyakinan kita sendiri tidak tertata, maka khawatir mendekati kesyirikan.


Contohnya jika kita mengatakan kalimat, “kalau tidak ikhtiar ya mati” atau “kalau tidak ikhtiar ya tidak makan.”


Lalu apakah yang memberi makan dan memberi kesembuhan itu karena ikhtiar kita?


Sejatinya, ikhtiar adalah mentaati perintahnya Allah. Demikian pula, ikhtiar bukanlah Tuhan. Ikhtiar hanyalah untuk menunjukkan kelemahan kita. Bahwa apa yang kita miliki dan yang tidak kita miliki adalah milik Allah Swt.


Friday, 24 December 2021

Rincian Hukum Mengucapkan ‘Selamat Natal’

Rincian Hukum Mengucapkan ‘Selamat Natal’

Ini yang menjadi langganan pembicaraan publik adalah terkait hukum mengucapkan selamat Natal. Meskipun hal ini selalu disampaikan, namun masyarakat muslim di Tanah Air masih terus berpolemik. Apakah mengucapkan selamat Natal  haram, boleh atau bagaimana?

Masyarakat Indonesia kerap kali berdebat mengenai boleh dan tidaknya mengucapkan selamat atas hari besar agama lain, seperti hari Natal, Nyepi, dan seterusnya. Ada kelompok masyarakat yang membolehkan, namun tidak sedikit yang melarang. Perdebatan ini kerap membesar, baik di dalam kehidupan sehari-hari dan di jagad media digital.   

Sebelum lebih jauh, ada baiknya kita melihat ragam pandangan ulama dalam melihat hal ini. Para ulama sendiri juga terbagi menjadi dua kelompok dalam melihat fenomena ini; ada kelompok ulama yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Masing-masing memiliki argumentasi dan dalil untuk mengukuhkan pendapatnya.   

Artikel diambil dari: Hukum Mengucapkan “Selamat Natal”

Perbedaan ini dikarenakan tidak adanya ayat Al-Qur’an atau hadits yang secara jelas menerangkan hukumnya. Oleh para ulama, hal seperti ini dimasukkan dalam kategori persoalan ijtihadi.   

Boleh 

Sebagian kelompok ulama yang membolehkan ucapan selamat atas hari besar umat beragama lain berpedoman pada Al-Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 8: 'Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil’.   

Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan mengusirnya. Nah, mengucapkan selamat hari raya non-muslim dinilai sebagai salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim. Dengan demikian, adalah boleh hukumnya melakukan hal demikian.   

Ulama yang memperbolehkan juga menjadikan hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan Anas bin Malik sebagai dalil atas pendapat mereka. Bunyi hadits tersebut adalah: Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi Muhammad, kemudian ia sakit. Maka, Nabi mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata: ‘Taatilah Abul Qasim (Nabi Muhammad).’ Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi keluar seraya bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka’.   

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad memberikan teladan kepada umatnya agar berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi mereka. Begitu pun dengan mengucapkan selamat hari raya atas agama lain kepada mereka yang memperingatinya. Ulama yang membolehkankan menilai hal itu sebagai bentuk berbuat baik kepada non-muslim. Maka memberi selamat hari raya kepada mereka hukumnya boleh.   

Kelompok ulama ini juga berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim bukan berarti mengakui apa yang dipercayai mereka, namun lebih pada penghormatan dalam bermasyarakat dan menjaga kerukunan bersama. 

Di antara ulama yang membolehkan adalah Syekh Ali Jum’ah, Syekh Muhammad Rasyid Ridla, Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh al-Syurbashi, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Ishom Talimah, Syekh Musthafa al-Zarqa', Prof Dr Abdussattar Fathullah Sa'id, Prof Dr Muhammad al-Sayyid Dusuqi, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan lainnya.

Tidak Boleh   

Sementara itu, di sini yang lain, terdapat ulama yang mengharamkan. Para ulama berpedoman pada beberapa sejumlah dalil, salah satunya adalah Al-Qur’an surat al-Furqon ayat 72: ‘Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya’.   

Kelompok ulama ini menafsirkan ayat di atas bahwa ciri orang yang akan mendapatkan martabat tinggi di surga adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sementara seorang muslim yang memberikan ucapan selamat atas hari raya agama lainnya dianggap sama dengan memberikan persaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat non-muslim tentang hari rayanya. Sebagai konsekuensinya, dia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Atas dasar itulah, mereka mengharamkan ucapan selamat atas hari raya non-muslim.   

Dalil lain yang mereka gunakan untuk menguatkan argumentasinya adalah hadits riwayat Ibnu Umar, yaitu: ‘Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut’. Hadits ini sangat terkenal dan sering dipakai oleh sekelompok umat Islam untuk mengafirkan umat Islam lainnya, hanya karena mereka dianggap ‘menyerupai’ non-muslim.

Hadits di atas juga dipakai dalam menghukumi ucapan selamat atas hari besar agama lain. Bagi ulama yang mengharamkan, seorang muslim yang memberi ucapan selamat atas hari raya agama lain berarti dia menyerupai tradisi umat tersebut. Karena menyerupai, maka dia termasuk dari kaum tersebut. Oleh karena itu, memberi selamat haram non-muslim menjadi haram hukumnya.   

Di samping itu, mereka juga berpendapat bahwa seseorang muslim yang mengucapkan selamat hari raya non-muslim dianggap ikut serta dalam mensyiarkan ajaran orang-orang kafir. Padahal, Allah tidak meridhai para hamba yang kafir.   

Di antara ulama yang mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat atas hari raya agama lain adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil, Syekh Ibrahim bin Ja’far, Syekh Ja’far At-Thalhawi, dan lainnya.

Saling Menghormati   

Karena sifatnya yang ijtihadi, maka hukum memberi selamat hari raya non-Muslim tidak lantas mutlak haram dan juga tidak multak boleh. Perbedaan situasi dan keadaan membuat setiap muslim tidak bisa diseragamkan hukumnya dalam hal mengucapkan selamat atas hari raya agama lain bagi setiap muslim tidak bisa diseragamkan.   

Misalnya, seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada seseorang yang memiliki kedekatan dengannya—seperti hubungan saudara atau partner bisnis- sebagai bentuk penghormatan karena mereka juga menghormati Islam. Juga diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari sisi akhlak. Maka hal itu boleh saja, sepanjang tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan aqidah islamiyah seperti mengikuti rangkaian kegiatan pada hari Natal atau hari raya agama lainnya. Namun dalam situasi dan keadaan sebaliknya, hukum mengucapkan selamat hari raya non-muslim bisa haram.   

Yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai perbedaan pendapat tersebut menjadi penyulut konflik di dalam tubuh umat Islam. Sekali lagi, karena hal ini bersifat ijtihadi, maka jangan sampai ada satu pihak yang mengklaim bahwa pendapatnya lah yang paling benar dan yang lainnya salah. Alangkah baiknya kalau kita saling menghormati dengan pilihan masing-masing, tanpa harus memaksakan pendapat kita kepada orang lain. Apalagi mengafirkan mereka yang tidak sependapat dengan kita. Wallahu ‘alam.

Sumber: NU Online Jatim

(Hwmi Online)


Sunday, 31 October 2021

Azmatkhan, Marga Keturunan Nabi tapi Bukan Bergelar Habib

Azmatkhan, Marga Keturunan Nabi tapi Bukan Bergelar Habib

Dikutip dari dakwahnu.id, Selama ini kita mungkin hanya tahu kalau gelar keturunan nabi atau dzuriah nabi adalah habib. Tapi ternyata ada lagi marga yang jarang diketahui khalayak .

Kalau mendengar Syech pasti orang sudah tahu kalau itu adalah gelar untuk ulama besar yang sangat dihormati.Tapi yang perlu dicatat bahwa habib itu bukan marga, tapi gelar kehormatan. Para habib belum tentu azmatkhan, tapi para azmatkhan pasti habib. Karena arti habib sendiri adalah yang dicintai atau dikasihi, sebagaimana nabi Muhammad diberi gelar kekasih Allah.

Mari kita pelajari bersama di artikel kali ini. Kita akan kupas siapa marga keturunan nabi yang dimaksud dan siapa saja orang Indonesia yang punya gelar itu.

Adalah Azmatkhan marga yang dimaksud, (bahasa Arab: عظمات خان; Transliterasi: Aẓamāt Khān) al-Husaini, juga dieja Azmat Khan, al-Azhamatkhan atau al-Azhamat Chan (bahasa Urdu: عظمت خان) adalah salah satu marga komunitas Hadramaut yang banyak tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Nama Azmatkhan berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Urdu, Azmat yang berarti mulia atau terhormat; dan Khan yang memiliki arti komandan, pemimpin, atau penguasa. Mereka merupakan keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Alawi Ammul Faqih, keturunan Husain bin Ali. Sayyid Abdul Malik berimigrasi dari Hadhramaut ke India pada abad ke-14 Masehi, lebih awal dari para imigran lain dari Hadhramaut (baca: habib ).

Sayyid Abdul Malik kemudian menikahi putri bangsawan Nasirabad dan mendapatkan gelar “Azmat Khan”. Gelar “Khan” diberikan oleh bangsawan Nasirabad agar ia dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain.

Selain itu, mereka menyematkan gelar “Azmat” yang berarti “mulia” karena Abdul Malik berasal dari garis keturunan sayyid. Keturunannya tetap mempertahankan nama ini sebagai patronimik sampai hari ini.

Sayyid Abdul Malik lahir di kota Qasam, Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Ia juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena dia hijrah dari Hadhramaut ke Gujarat untuk berdakwah sebagaimana kakeknya, Sayyid Ahmad al-Muhajir yang hijrah dari Irak ke Hadhramaut untuk berdakwah.

Menurut Sayyid Salim bin Abdullah Asy-Syathiri Al-Husaini, guru besar dari Tarim, Yaman, keluarga Azmatkhan (yang merupakan leluhur Walisongo) adalah dari Qabilah Ba’Alawi asal Hadramaut dari gelombang pertama yang masuk di nusantara dalam rangka penyebaran Islam.

Karena sejarah panjang perkawinan silang yang ekstensif, terutama dengan bangsawan lokal, kebanyakan dari keturunan Azmatkhan secara fisik dan budaya tidak dapat dibedakan dari penduduk setempat. Tentu ini agak berbeda dengan marga habib yang umumnya menikah dengan keturunan nabi juga ( baca: syarifah ).

Di Indonesia, tidak jarang anggota keluarga Azmatkhan memiliki gelar kerajaan turun temurun seperti Raden, Tubagus, Masagus, Masayu, Kemas, atau Nyimas. Mereka mempertahankan identitas Indonesia dan keturunan Azmatkhan pada saat bersamaan, bahkan beberapa dari mereka tidak dapat melacak nenek moyang mereka lagi.

Dalam sejarah Asia Tenggara, keluarga Azmatkhan tercatat telah mendirikan beberapa kerajaan di Indonesia, serta menjadi raja di beberapa kerajaan di Asia Tenggara.

Di antara kerajaan-kerajaan yang didirikan oleh keluarga besar Azmatkhan adalah Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang, Kesultanan Pajang, dan Kerajaan Sumedang Larang. Sedangkan di Kerajaan ada Champa, Kerajaan Pattani, Kesultanan Kelantan, Kesultanan Cirebon, dan Kesultanan Demak, para keturunan Azmatkhan berhasil menduduki kursi pemerintahan sebagai raja atau sultan.

Untuk mencatat dan mempertahankan silsilah keluarga Azmatkhan, para habaib Azmatkhan sedunia mendirikan Lembaga Asyraf Azmatkhan Ahlulbait Internasional, sebuah organisasi nasab internasional yang bertujuan untuk mencatat silsilah setiap keturunan Muhammad datuk dari seluruh sayyid.

Berikut adalah para habib dari marga azmatkhan yang ada di Indonesia:

1. Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini – tokoh agama, leluhur Walisongo.

2. Syekh Datuk Kahfi – tokoh agama

3. Syekh Qurotul Ain (Syekh Quro) – tokoh agama

4. Maulana Malik Ibrahim Azmatkhan – Sunan Gresik, tokoh agama

5. Raden Rahmat Azmatkhan – Sunan Ampel, tokoh agama

6. Raden Maulana Makdum Ibrahim Azmatkhan – Sunan Bonang, tokoh agama

7. Raden Qasim Azmatkhan – Sunan Drajat, tokoh agama

8. Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan – Sunan Kudus, tokoh agama

9. Maulana Ishaq Azmatkhan – Sunan Giri, tokoh agama, pendiri Giri Kedaton

10. Raden Said Azmatkhan – Sunan Kalijaga, tokoh agama

11. Raden Umar Said Azmatkhan – Sunan Muria, tokoh agama

12. Syarif Hidayatullah Azmatkhan – Sunan Gunung Jati, tokoh agama

13. Syekh Nawawi al-Bantani – ulama, imam Masjidil Haram

14. Syekh Raden Asnawi, Kudus – ulama

15. Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri (Mama Sempur) – ulama

16. K.H. Hasan Asy’ari – ulama

17. K.H. Hasan Asy’ari – ulama

18. K.H. Hasan Genggong – ulama, pimpinan Pesantren Zainul Hasan Genggong

19. K.H. Tubagus Muhammad Falak Abbas (Mama Falak) – ulama

20. Abuya Dimyathi al-Bantani – ulama

21. Abuya Muhtadi Dimyathi – ulama

22. K.H. Ma’ruf Amin – ulama, Ketua MUI, Rais Aam Syuriah PBNU – wakil presiden

23. K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur ) – ulama , presiden RI ke 4

24. K.H. Said Aqil Siradj[16][17] – ulama, Ketua Umum PBNU

25. Shohibul Faroji – ulama, mursyid,syekh, mufti.

Silsilah Gus Dur, Tokoh kerajaan dari marga Azmatkhan:

1. Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan – raja Champa

2. Maulana Hasanuddin dari Banten – raja Banten pertama

3. ri Susuhunan Abdurrahman – raja Palembang pertama

4. Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angkawijaya) – raja Sumedang Larang Islam pertama

5. Pati Unus – raja Demak kedua

6. Fatahillah – Pangeran Jayakarta, pendiri Jakarta

7. Pangeran Tubagus Angke – Pangeran Jayakarta II

8. Syarif Muhammad ash-Shafiuddin dari Banten – Sultan Banten sekarang

Pejuang dan pahlawan nasional dari marga Azmatkhan:

1. Ageng Tirtayasa dari Banten – sultan Banten, Pahlawan Nasional Indonesia

2. Sultan Mahmud Badaruddin II – sultan Palembang, pahlawan nasional

3. Radin Inten II – pahlawan nasional

4. Hasyim Asy’ari- pahlawan nasional, tokoh agama, pendiri Nahdlatul Ulama

5. Ahmad Dahlan – pahlawan nasional, tokoh agama, pendiri Muhammadiyah

6. As’ad Samsul Arifin – pahlawan nasional, tokoh Nahdlatul ‘Ulama

7. Wahid Hasyim – pahlawan nasional, Menteri Agama Indonesia pertama

8. Tubagus Ahmad Chatib al-Bantani – pejuang, residen Banten

Kini, gelar Azmatkhan sudah tidak banyak diketahui orang karena para tokohnya memang tidak menyematkan marga di namanya dan karena mereka sudah menikah dengan pribumi dan mendapat gelar seperti kiai haji, raden atau tubagus . Sangat susah kita mendapatkan orang yang masih menggunakan gelar terhormat syech ini.

Tapi meskipun begitu , tetap ada wadah atau organisasi yang mencatat atau mendata para dzuriah nabi ini seperti halnya Rabithah Alawiah yang mewadahi para habib dinegri ini.

Wallahu’alam.

Semoga bermanfaat,

Wassallamu’allaikum.

Sumber :

Library: Habib Luthfi bin Yahya (Wikipedia)

(Hwmi Online)

Tuesday, 24 August 2021

Rasulallah pun Mengajarkan Cinta Tanah Air

Rasulullah pun Mengajarkan Cinta Tanah Air 

Oleh: Aru Lego Triono 

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Umahatil Mukminin Habib Hamid bin Ja’far Al-Qadri menuturkan bahwa Rasulullah telah mengajarkan umat Islam untuk mencintai tanah air atau memiliki rasa nasionalisme. Hal itu dilakukan Nabi Muhammad ketika harus hijrah dari Makkah ke Madinah.   

"Diriwayatkan Imam At-Tirmizi, beliau (Rasulullah) pernah mengatakan betapa indahnya engkau wahai negeriku (Mekkah). Betapa saya sangat cinta kepadamu. Seandainya kaumku tidak mengeluarkanku darimu, tentu saya tidak akan bertempat tinggal selain dirimu," jelas Habib Hamid memaknai hadits tersebut, dalam Pesantren Digital Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), pada Kamis (19/8/2021).   

 Ucapan itu dilontarkan Nabi Muhammad saat keluar dari Makkah seraya berlinangan air mata. Rasulullah sangat terpaksa meninggalkan negeri tempat tumpah darahnya. Hal ini menggambarkan betapa kekasih Allah itu sangat dalam mencintai tanah air.   

Habib Hamid menuturkan bahwa dalam hadits shahih yang diriwayatkan Siti Aisyah, Nabi Muhammad pernah membaca doa atau merukyah orang yang sedang sakit dengan mengatasnamakan debu dari negerinya.  

 "Dengan nama Allah, debu dari tanah kami dan liur dari bagian kami, ya Allah sembuhkanlah orang yang sakit dengan izin-Mu. Artinya, Nabi Muhammad menyebut atas nama tanah air, bahwa ini bukan hal sepele," jelas Habib Hamid.  

Ia menjelaskan kebiasaan orang Arab yang ketika ingin melakukan perjalanan untuk berperang, mereka kerap mengambil secuil tanah sebagai bekal. Kemudian tanah itu diciuminya saat sedang merasakan kerinduan kepada negerinya.   "Itulah Makkah, negeri beliau dilahirkan. Beliau tumbuh besar di situ, menjadi seorang nabi di situ, kawin di situ, tentu ada kenangan-kenangan indah Nabi yang menjadikan beliau sangat cinta kepada Makkah," ungkap Habib Hamid.   

Sebenarnya, Nabi Muhammad tidak akan meninggalkan Makkah kecuali dalam keadaan sangat terpaksa karena selalu mendapat intimidasi dari kaumnya sendiri. Meski begitu, Rasulullah tetap bersabar.    

"Kadang beliau keluar, tapi beliau balik lagi. Kadang beliau berdagang, kadang balik lagi. Namun, Allah menghendaki hal lain. Beliau harus keluar dari Makkah dan hijrah ke Madinah," terangnya.   

Ketika akhirnya hijrah dan memilih tanah air yang kedua yakni Madinah, Nabi Muhammad berdoa kepada Allah agar cinta terhadap tanah air yang baru ini melebihi dari cintanya kepada Mekkah. Rasulullah tidak ingin Madinah dijadikan hanya sebatas tempat berlindung sesaat, tetapi dijadikan pula sebagai pelindung dan tempat perjuangannya.  

 "Allahumma habbib ilainalmadinata, kahubbina makkata aw asyaddan. Ya Allah jadikanlah kami cinta terhadap Madinah sebagaimana kami cinta kepada Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori," ujar Habib Hamid.  

 Sebab menurutnya, cinta tanah air merupakan fitrah, naluri, dan menjadi ukuran normal atau tidaknya manusia. Ketika orang rela menggadaikan tanah air, tidak cinta, bahkan akan menghancurkan tanah airnya, maka sebenarnya keluar dari nilai-nilai fitrah, sedangkan Islam adalah agama fitrah.   

 "Jadi kalau dia mengatasnamakan Islam padahal tidak cinta tanah air, berarti kontradiksi antara Islam dan nilai-nilai fitrah yang ada. Artinya orang yang tidak normal adalah mereka yang tidak cinta terhadap tanah air. Cinta tanah air itu dilakukan oleh Nabi Muhammad," kata Habib Hamid.  

 "Cinta Nabi Muhamamad terhadap tanah airnya, Makkah, merupakan fitrah atau naluri manusia karena itu adalah tempat tinggalnya. Adapun kecintaan terhadap Madinah merupakan anugerah dari Allah," pungkasnya. Pewarta. (Kendi Setiawan/NU Online)

(Hwmi Online)

Sunday, 15 August 2021

Ketika Umar bin Abdul Aziz "Work From Home" di Tengah Pandemi

Ketika Umar bin Abdul Aziz 'Work from Home' di Tengah Pandemi

Oleh: Yuhansyah Nurfauzi

Sejarah mencatat bahwa kejayaan Islam pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sehingga masyarakat Muslim pada waktu itu hidup tenteram dan sejahtera padahal bersamaan dengan situasi pandemi.

Jarang orang yang tahu bahwa pada zaman Umar bin Abdul Aziz itu juga merupakan masa pandemi tha'un yang terjadi pada sekitar tahun 100 Hijriah. Bagaimana khalifah yang terkenal merakyat itu mematuhi upaya kesehatan di tengah pandemi? Apakah keluwesan sikapnya sebagai pelayan umat menjadikannya berbaur secara leluasa untuk membalas kecintaan dari rakyatnya tanpa mempedulikan protokol kesehatan?

Pengalaman kaum muslimin dalam menghadapi wabah tidak lepas dari upaya karantina dan pencegahan penularan. Tidak terkecuali, bagi pemimpin kaum muslimin saat itu yang merupakan tokoh sentral dalam mengendalikan masyarakatnya. Kepemimpinan Bani Umayyah terjadi pada masa-masa pandemi thaun yang datang silih berganti. Mereka sudah biasa memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pinggiran yang lebih aman dari wabah thaun.

Khalifahnya memiliki tradisi membangun istana khusus untuk tinggal dan bekerja di tempat yang jauh dari rakyatnya sebagai bentuk karantina agar terhindar dari thaun yang mewabah. Mereka sangat memperhatikan makanan dan berbagai upaya kesehatan lainnya agar tidak tertular penyakit. Apakah hal ini juga terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang juga merupakan khalifah dari Bani Umayyah?   

Sejarah telah mencatat bahwa Umar bin Abdul Aziz merupakan sosok yang sederhana. Sejak menjadi khalifah, ia meninggalkan kehidupan yang berkecukupan dan justru menjadi seperti rakyat biasa. Sosok ulama sekaligus pemimpin umat yang lebih suka dipanggil amirul mukminin itu meninggalkan istana khalifah dan menempati rumah dinas sederhana untuk bekerja.   Ketika penasihatnya menyampaikan untuk mengikuti protokol kesehatan dengan standar kerajaan berupa karantina di istana agar tidak terpapar wabah, Umar bin Abdul Aziz dengan kreatif memberikan solusi lain yang jitu. Meskipun tidak berkenan untuk tinggal di istana, Beliau tetap menjaga protokol kesehatan di rumah kerjanya yang kecil dengan makanan sehat ala kadarnya dan lebih banyak bekerja mandiri sehingga tidak melibatkan staf yang banyak.  

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menceritakan dalam kitabnya tentang kisah thaun pada masa Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Artha’ah bin al-Mundir, dia berkata, “Ada beberapa orang yang mendampingi Umar bin Abdul Aziz memintanya untuk menjaga makanannya serta menyarankannya untuk melakukan isolasi atau karantina mandiri dari tha'un. Mereka mengabarkan bahwa para khalifah sebelumnya telah melakukan protokol kesehatan itu. Lalu Umar pun bertanya, ‘Lalu di mana mereka sekarang?’ Ketika mereka mengatakan banyak hal, dia berdoa, ‘Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku lebih takut pada suatu hari selain hari Kiamat, maka janganlah Engkau memberiku keamanan dari ketakutanku itu.” Kisah ini tercantum dalam Kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Tha’un karya Imam Suyuthi (Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 188)  

Makna dari riwayat tersebut bukan berarti Umar bin Abdul Aziz mengabaikan protokol kesehatan. Beliau tetap berusaha menghindari kerumunan dengan tinggal di rumah kerja khusus yang sederhana. Kondisi ini sekarang dikenal dengan istilah work from home (WFH) atau bekerja dari rumah. Karena Beliau seorang pejabat, maka WFH dilakukannya dari rumah dinas. Rumah dinasnya berbeda dengan rumah pribadi. Tidak ada banyak pelayan yang mengurus Beliau dan tidak ada seorang penyair pun yang mengerumuni sambil menghiburnya sebagaimana umumnya raja di istana. Bahkan, untuk kunjungan kerja saat turun ke bawah melihat rakyatnya, Beliau lebih suka menyamar sehingga tidak ada konvoi pengawalan dari pasukan maupun sambutan dari rakyat ramai.

Meski menolak tinggal di istana megah dan menolak makan makanan kerajaan, Umar bin Abdul Aziz berupaya menerapkan protokol kesehatan dan diet dengan caranya sendiri. Khalid Muhammad Khalid dalam kitabnya menuliskan bahwa menu makan malam Amirul Mukminin itu hanya roti kering, sepiring kacang adas, dan garam. Menu itu juga tidak jauh beda dengan yang dimakan istri dan anak-anaknya yang terbiasa makan malam dengan kacang adas di rumah pribadinya. Kisah ini disebutkan dalam kitab Khulafaur Rasul karya Khalid Muhammad Khalid (Kairo: Darul Muqattam, 2003: 369).

Ternyata menu berupa kacang adas, atau yang disebut lentils dalam bahasa Inggris, yang dimakan oleh Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya merupakan makanan bergizi yang murah dan sangat bermanfaat untuk kesehatan lahir maupun batin. Pada masa wabah, semua orang butuh makanan sehat dengan harga yang terjangkau. Umar bin Abdul Aziz dan istrinya juga mengerti betul bahwa selain untuk kesehatan badan, makanan yang dikonsumsi dirinya dan keluarganya juga perlu diupayakan agar memberikan kekuatan batiniah, yaitu terhindar dari sikap sombong dan tetap berempati kepada rakyatnya. Kedua hal tersebut sangat penting bagi kehidupan seorang pemimpin dan keluarganya agar selamat dari berbagai fitnah dunia dan akhirat.

Secara khusus, Al-Hafidz Adz-Dzahabi menyebutkan keistimewaan kacang adas dalam kitabnya. Beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang mengungkapkan bahwa memakan adas akan mengisi hati dengan rasa simpati, mengisi mata dengan air mata, dan menghilangkan kesombongan. (Thibb An-Nabawi Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Dar Ihyaul Ulum, Beirut, 1990: hal.149)

Di sisi lain, kacang adas memang diakui secara ilmiah sebagai sumber makanan berprotein tinggi dan dapat mencegah berbagai virus penyebab penyakit. Meskipun tidak lazim dikonsumsi masyarakat Indonesia, banyak kacang-kacangan lain, misalnya kacang tanah yang manfaatnya serupa. Baik kacang adas maupun kacang tanah, keduanya memiliki kandungan berkhasiat yang mampu mencegah penyakit infeksi karena mikroorganisme, terutama untuk menghambat virus (Francis U. Umeoguaju, dkk, 2021).

Apabila cara hidup Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya di tengah wabah tha'un diterapkan saat pandemi Covid-19 seperti saat ini, tentu masih sangat relevan. Menjauhkan kerumunan dalam berbagai acara kemasyarakatan dapat ditiru oleh semua orang, baik pimpinan maupun rakyat biasa. Teknis pelaksanaannya tentu tetap beretika dan tidak menyinggung orang lain. Apabila Umar bin Abdul Aziz memiliki keperluan di wilayah yang jauh, Beliau terbiasa menulis surat ke pemimpin daerah setempat. Beliau memang terkenal sebagai khalifah yang rajin berdakwah dengan berkirim surat, bahkan hingga ke raja-raja di India.

Mengenai soal makan, tentu kita tidak harus meniru secara persis apa yang dimakan oleh Beliau dan keluarganya. Bila ingin meniru, maka kita menyesuaikan dengan makanan yang tersedia dan menjadi kebiasaan di negeri kita masing-masing. Meskipun demikian, nilai gizi atau nutrisi pada makanan yang dikonsumsi saat pandemi perlu diutamakan. Melalui contoh sederhana, yaitu kacang adas yang dikonsumsi Umar bin Abdul Aziz, maka apa yang Beliau dan keluarganya konsumsi itu tidak lepas dari aspek ilmiah. Ternyata nutrisi kacang adas sangat bermanfaat untuk kesehatan di masa pandemi karena mengandung protein tinggi.

Yang tidak kalah penting, saling memiliki empati dan menjauhi kesombongan sangat layak untuk diterapkan hari ini. Di berbagai tempat, masih banyak tokoh pimpinan yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Masih banyak pula orang kaya yang memamerkan hartanya di tengah rakyat yang sedang sengsara karena pandemi. Di sisi yang lain, masyarakat umum banyak yang mengabaikan protokol kesehatan dan marah bila diingatkan oleh petugas.  

Kita semua berharap bahwa berbagai aspek kehidupan akan membaik, meskipun pandemi belum usai. Situasi seperti ini sudah pernah terjadi sewaktu Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Maka, prinsip-prinsip mulia yang telah diajarkan oleh Umar bin Abdul Aziz layak kita terapkan di situasi yang sedang melanda kita seperti saat ini.   Lebih dari seorang khalifah, Beliau adalah seorang waliyullah yang dengan karomahnya mampu menjadi cahaya panutan umat sehingga menebarkan manfaat dan berkah dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga bisa diteladani hingga hari ini. Bahkan, ketika India dilanda tsunami Covid-19 beberapa waktu lalu, kacang adas/lentils menjadi makanan yang dibagikan secara gratis oleh pemerintah India untuk rakyatnya.(NU Online)

(Hwmi Online)

Tuesday, 10 August 2021

Hijrah: Menyelamatkan Jiwa, Menghidupkan Dunia

HIJRAH: MENYELAMATKAN JIWA, MENGHIDUPKAN DUNIA

Oleh: KH. Husein Muhammad

( maaf, tulisan cukup panjang)

Dari sebuah gua yang sepi, senyap dan pengap, Nabi tampil dengan senyum dan percaya diri. Tuhan melalui Jibril telah membisikinya pesan-pesan profetik yang harus disampaikan kepada dunia yang tengah sekarat dan dalam kegelapan yang pekat. Tuhan memproklamirkannya sebagai kekasih, Nabi dan utusan-Nya. Muhammad bin Abdillah sendirian, melangkah setapak demi setapak tetapi pasti dan tanpa gentar, meski pedang Umar yang tajam bakal menebas lehernya. Ia menghadapi “Jagoan” Makkah paling ditakuti itu dengan senyum dan keramahan yang tulus. Senyum manis dan keramahan penuh itu meluluhkan hati yang keras sang jagoan. Tak lama kemudian, ia bertekuklutut, bersimpuh di hadapan Nabi sambil bersumpah untuk siap, kapan dan di manapun, membelanya meski  dengan mempertaruhkan nyawanya sekalipun.  

Tiga belas tahun lamanya Nabi Muhammad saw menawarkan gagasan profetik-humanistik. Ia menyerukan kaumnya di Makkah untuk beriman kepada Allah. “hai manusia, hanya Tuhan saja yang seharusnya kalian sembah, yang kalian agungkan, bukan yang lain”, ujarnya setiap saat. Sejumlah orang mengikuti seruannya, tetapi masih lebih banyak lagi yang menentangnya. Kehadiran Nabi dengan gagasan monoteistik itu telah mengganggu ketenangan tradisi, mengancam kekuasaan status quo. Maka penindasan demi penindasan terhadap Nabi dan pengikutnya terus berlangsung, setiap hari, setiap saat dan dengan segala cara; merayu, mengancam, teror, kekerasan fisik, sampai politik isolasi.

Menjelang tahun ketiga belas misi profetiknya, para penentang Nabi sudah kehabisan akal dan kehilangan cara untuk menghentikan gerakan dakwah Nabi. Di Dâr al-Nadwah, semacam balai sidang/musyawarah, mereka berembuk. Suara hingar-bingar, meledak-ledak penuh emosi memenuhi ruang itu. Berbagai usulan muncul. Keputusan akhir kemudian diambil: Muhammad harus dibunuh malam hari secara ramai-ramai. Jika klan Muhammad menuntut darahnya, mereka akan patungan untuk memberinya tebusan.

Jibril segera hadir di kamar Nabi dan membisikinya soal rencana pembunuhan itu. Syeikh Yusuf al Nabhani mengenai ini mengungkapkan peristiwa ini dalam puisi Na’tiyahnya begini :

وَاَتاهُ بِمَكْرِهِم جِبْريلُ     فَبَدَا كَيْدُهُم وَخَابَ الدَّهَاءُ

“Dan karena makar mereka, Jibril datang

Mereka gagal 

dan politisi cerdas mereka hilang akal”

(Al-Majmu’ah al Nabhaniyyah fi Al-Madaih Al-Nabawiyyah)

Tuhan segera mengizinkan beliau hijrah ke Yatsrîb (kini bernama Madinah). Nabi sendiri merasa begitu berat meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tetapi nyawa manusia begitu berharga. Ia selalu menyaksikan betapa banyak nyawa dan derita manusia, sahabat-sahabatnya, yang terancam, gara-gara mengikutinya. Ia ingin agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia dan agar mereka tak lagi menderita. Perjuangan masih panjang. Ia harus meninggalkan kota itu demi keselamatan jiwa-jiwa itu. Tetapi lebih dari itu adalah menyelamatkan kebebasan, keimanan dan menyebarkan risalah Tuhan yang universal dan maha penting. 

Sebelum meninggalkan rumahnya, Nabi menatap Ka’bah dan bukit-bukit di sekeliling Makkah dengan hati mengharubiru. Ia begitu mencintai tempat kelahirannya, tempat bermain dan menggembala domba ketika kanak dan remaja. Ia mengingat dengan penuh, sahabat-sahabat yang mengalamai penyiksaan, penderitaan dan kelaparan yang tak tertahankan,sambil mendoakan mereka kedamaian dan kebahagiaan di akhirat, di sisi Tuhan. Tuhan memang sudah menjanjikan hal ini. Kata-Nya : “Maka orang-orang yang berhijrah,  yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada Jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pasti akan Aku maafkan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala dari Allah. Dan pada sisi Allah pahala yang baik”.(Q.S.3:195). Ia juga mendoakan keselamatan bagi sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Makkah (hijrah). Ia mengetahui, kini, hanya bersama sahabat setianya: Abu Bakar dan sepunya Ali bin Abi Thalib serta beberapa orang saja yang diminta menemaninya. Dengan mata basah, beliau menyampaikan kata pamit: 

“O, Makkah yang indah, 

Aku mencintaimu seluruh 

Jika saja tidak karena pendudukmu terus mengganggu, 

Aku tidak akan meninggalkanmu. Pasti.

O, Ka’bah yang anggun, 

Betapa mulianya engkau. 

Jika saja tidak karena darah yang terus mengalir

Aku tidak akan ingin berpisah dengamu, 

Selamanya, selamanya.

Tetapi aku kini harus pergi, harus pergi 

Aku harus menyelamatkan nyawa manusia”.

Langit merah saga beringsut menjadi temaram. Ia berkerudung gulita. Makkah sunyi-senyap, bagai kota mati. Para pengikut Nabi telah meninggalkan Makkah beberapa hari sebelumnya, menuju Habasyah, Etiopia. Yang tersisa hanyalah Nabi, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Penduduk kota itu tidur lebih awal agar tengah malam bisa bangun dan tak mengantuk. Abu Bakar, teman setianya, menunggu dalam cemas di balik batu-batu di seberang rumah Nabi. Ali, anak pamannya, sudah sampai di rumah, lalu masuk ke kamar Nabi dan segera mengambil selimut yang biasa dipakai sepupunya itu. Ia diminta Nabi tidur di atas tikar-tidurnya. Dan Nabi Saw, seperti biasanya, mengambil air wudhu, shalat dan berdo’a dengan seluruh jiwa. Sementara itu, para pembunuh berpencar di semak-semak di sekeliling rumah itu. Mata mereka tak berkedip mengawasi rumah Nabi. Pedang sudah diasah berjam-jam sejak siang, hingga rambut licin bisa ditebasnya, begitu tajam. Dengan satu kali “pluit” komando mereka secara serentak bangkit, bergerak cepat lalu mendobrak rumah itu dan menghunuskan pedang itu untuk ditebaskan ke tubuh nabi secara bersama-sama.

Usai shalat dan berdo’a Nabi yang mulia itu membuka pintu dan melangkah keluar. Di luar rumah, nabi tak melihat siapa-siapa, tak ada orang, sepi. Nabi menemui Abu Bakar yang seperti tak sabar, untuk selanjutnya bersama-sama menuju gunung Tsaur (Banteng). Para pembunuh begitu kecewa; “Muhammad lolos”, kata mereka. 

Tiga hari kedua orang yang saling mengasihi itu berada di dalamnya. Abu Bakar sempat gemetar ketika berpuluh kaki musuh mendekatinya. Ia mendengar dengan jelas teriakan-teriakan dan hentakan kaki-kaki kuda yang mendekat ke arah gua. “Jika saja musuh-musuh itu melihat kakinya atau kaki Nabi, pastilah tamat sudah riwayat mereka berdua”, katanya dalam hati. Sementara Nabi tetap tenang. Beliau melihat dengan jelas kecemasan sahabatnya itu, lalu berusaha menenangkannya. Katanya: “Sahabat, jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita”. Mereka lepas dari pengejaran para pembunuh. Esoknya mereka keluar dari gua itu dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah untuk bertemu dengan rakyat di sana yang sudah lama merindukan kehadirannya. 

Ketika Nabi memasuki pintu Madinah, perempuan-perempuan kota itu berbaris untuk menyambutnya dengan suka cita sambil bernyanyi dan menari riang :

طَلَعَ البَدْرُ عَلَيْنَا

مِنْ ثَنِيَّةِ الوَدَاعِ

وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا

مَا دَعَا لِلِّه دَاع

“O, Purnama dari lembah Wada’ di Makkah 

telah terbit di tengah kami

Ayo kita berterima kasih pada Tuhan

Seorang laki-laki berteriak : “Hai Bani Qailah, inilah orang yang kalian tunggu-tunggu. Dia telah datang, telah datang”. Wajah mereka sumringah. Bibir-bibir yang mengembang manis tampak di mana-mana. Nabi dan Abu Bakar, sahabat setianya, tetap di atas untanya. Para penyambut bingung, mana di antara dua orang penunggang unta itu yang namanya Muhammad. Abu Bakar membaca pikiran mereka. Dia segera memayungkan jubahnya di atas kepala Nabi. Kini mereka tahu yang mana utusan Tuhan yang lama dirindukan siang dan malam itu. 

Hampir sepuluh tahun Nabi di kota yang berpendar cahaya ini. Ia rindu kembali ke kampungnya di Makkah untuk mengunjungi rumah tempat ibu yang melahirkannya sekaligus ke Bait Allah, rumah Tuhan. Ia pun pergi bersama beribu sahabatnya. Abu Sufyan, salah seorang arsitek pembunuhan Nabi bersama para pengikutnya, gentar. Tubuh mereka bergetar. Nabi mengerti. Dengan suara tenang penuh wibawa Nabi mengatakan : “Kalian bebas. Kalian boleh pergi ke mana saja dengan aman dan damai”. 

Cirebon, 05-12-10

Repost, 11.08.2021

HM

(Hwmi Online)