Para kiai sepuh Nahdlatul Ulama melakukan pertemuan khusus menyikapi pesantren dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19.
Pertemuan dilakukan mengingat saat ini adalah masa penerimaan santri baru, di mana beberapa pesantren sudah mulai membuka kembali aktivitasnya.
Pertemuan yang dimoderatori Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf itu berlangsung di Aula Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Kamis (25/6/2020).
Hadir di antaranya dari Jawa Timur adalah Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, KH Anwar Mansur, KH Kafabihi Mahrus, KH Hasan Mutawakil Alallah, KH Idris Hamid, KH Agus Ali Masyhuri, KH Anwar Iskandar, KH Ubaidilah Faqih dan KHR Azzaim Ibrahimy. Sedangkan dari Jawa Tengah adalah KH Ubaidilah Shodaqoh dan KH Muadz Thohir.
Dalam pertemuan itu mengemuka banyak hal mengenai kesiapan pesantren dalam memulai aktivitas belajar mengajar, terutama dalam menjalankan protokol Covid-19.
Namun ada juga disebutkan masih adanya larangan beberapa pemerintah daerah agar pesantren menunda dulu aktivitasnya.
KH Anwar Iskandar mengatakan, dunia memberi pelajaran bahwa krisis kesehatan Covid-19 saat ini ternyata juga merembet pada aspek ekonomi dan ancaman resesi.
“Ketika manajemen kesehatan dan ekonomi tidak teratasi maka ancamannya adalah kerusuhan (chaos).
Di lapangan, pesantren juga mengalami ancaman ekonomi. Maka perlu disuarakan dengan bijak dan arif agar kebijakan anggaran pemerintah berpihak pada pesantren," tegasnya.
Lebih lanjut Kiai Anwar menyampaikan harapannya agar pondok pesantren segera membuka aktivitasnya dengan menggunakan protokol kesehatan.
"Lebih penting lagi harus ada keberpihakan pemerintah kepada pesantren yang memang sangat terdampak.
Saya merasa itu hal yang wajar dan hak kita (pesantren) untuk menerima fasilitas dari pemerintah," ujar.
Kegamangan apakah pesantren harus semuanya membuka kembali aktivitasnya mendapatkan respons dari KH Hasan Mutawakil Alallah.
Kiai pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong tersebut menyampaikan hendaknya pesantren diberikan kebijakan independen apakah pesantren tersebut membuka atau masih menutup aktivitasnya.
"PWNU Jawa Timur telah memberikan wewenang otonom kepada masing-masing pesantren apakah membuka atau masih menutup aktivitas pesantrennya," katanya.
Sementara, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Miftachul Akhyar mengatakan, bagi pesantren yang akan kembali membuka kegiatan belajarnya harus mendapat dukungan semua pihak.
“Maka relasi hubungan dengan pemerintah harus saling percaya, saling memberi dan mendukung," tutur pemimpin tertinggi NU tersebut.
Yang tak kalah penting, lanjutnya, adalah memaksimalkan potensi internal NU, seperti LAZISNU yang selama pandemi sudah bergerak baik tinggal memunculkan muharrik baru.
Merespons forum, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf memberikan beberapa kesimpulan pada pertemuan tersebut.
Menurut Gus Yahya, sapaan akrabnya, ada tiga hal penting yang disepakati para kiai sepuh yang hadir.
Pertama, memberikan dukungan penuh kepada pesantren yang membuka kembali aktivitas pesantrennya dengan petunjuk protokol kesehatan yang ketat.
Kedua, lanjutnya, meminta kepada LAZISNU yang selama ini sudah bergerak dengan gerakan filantropinya yang luar biasa untuk menciptakan skema bantuan yang fokus membantu pesantren dalam menerapkan protokol kesehatan.
“Ketiga, mendorong pemerintah untuk lebih menekankan pada kebijakan kuratif dalam program penanganan Covid-19, seperti membangun sarana fasilitas kesehatan yang lebih baik,” ujar Gus Yahya.
Ketika ditanya awak media setelah acara apakah keputusan beberapa pondok pesantren yang membuka aktivitasnya tidak berisiko menciptakan klaster baru, Gus Yahya menjelaskan bahwa pesantren telah secara ketat menerapkan protokol kesehatan.
"Pesantren telah menerapkan protokoler kesehatan dengan ketat. Dimulai isolasi mandiri santri sebelum ke pondoknya, juga rapid test yang banyak dilakukan ponpes secara mandiri.
Kita jangan hanya bicara klaster tapi bicara tentang dukungan fasilitas kepada pesantren. Itu yang kita upayakan," pungkasnya. (zah)
www.hwmi.or.id