Melestarikan Tradisi Salafus Shaleh - HWMI.or.id

Tuesday 28 July 2020

Melestarikan Tradisi Salafus Shaleh




MELESTARIKAN TRADISI SALAFUS SHALEH

Salah satu peninggalan ulama salafus shaleh adalah tradisi mengaji. Sebuah transfer keilmuan yang diselenggarakan dengan cara sorogan, bandongan, atau wetonan dengan menggunakan standar kitab turast. Dengan mengaji, maka seseorang telah mewarisi sesuatu yang ditinggalkan oleh salafus shaleh yang kian hari semakin surut dan kurang diminati. Meskipun jumlah orang yang menganut agama islam semakin bertambah, namun banyak dari mereka yang meninggalkan budaya salaf tersebut. Kebanyakan dari mereka lebih mengutamakan pendidikan akademisi daripaada melestarikan tradisi mengaji, sehingga hal ini membuat tradisi itu menjadi gharib atau asing.

Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda :

إن الدين بدأ غريبا ، وسيعود كما بدأ ، فطوبى للغرباء وهم الذين يصلحون ما أفسد الناس من بعدي من سنتي (أخرجه الترمذي)

“Sesungguhnya Islam muncul dengan penuh keasingan (minoritas) dan kelak dia akan kembali asing (Kualitas) sebagaimana dia datang . Maka berbahagialah orang-orang yang dalam kondisi asing. Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnahku yang telah dirusak oleh orang-orang setelahku “
(H.R Atturmudzi)

Selain tradisi mengaji, ulama salaf juga mewariskan kitab turast, yaitu sebuah buku karya ulama yang bertuliskan Bahasa Arab, baik kertasnya berwarna putih ataupun kuning. Syaikhuna Maimoen sangat tidak suka dengan orang yang menyubutkan kitab kuning dengan tujuannya mengejek. Menurut beliau, di dalam makna kitab kuning yang disematkan para ulama terdahulu itu memiliki sebuah makna yang sangat mendalam. Kuning menurut Syaikhuna Maimoen, kalau diterjemahkan ke bahasa Arab berarti  صفرة  yang mempunyai arti kosong seperti kata صفر اليدين yang artinya tangan kosong .

Dari kata kuning ini memiliki sebuah arti, jika ingin menjadi orang ‘alim maka dia harus bisa membaca kitab arab yang tanpa makna (baik pegon maupun gandul) dan tanpa harokat. Jadi, untuk mencapai derajat seperti ini (bisa membaca dan memahami kitab yang bertuliskan arab ) maka harus bisa menguasai Gramatika Arab, yaitu nahwu dan shorof sebagaimana yang diajarkan di pesantren-pesantren salaf.

Menjaga tradisi salafus shaleh dengan memahami agama islam melalui  kitab kuning atau kitab arab sangat ditekankan sekali oleh Syaikhuna Maimoen. Beliau tidak suka jika ada muridnya yang memahami agama islam melalui terjemahan. Hal ini sering kali beliau sindir saat mengaji di waktu sore. Namun, beliau juga berpesan kepada muridnya agar tidak menghina orang yang mempelajari agama Islam dengan kitab terjemahan. Biarkan mereka menempuh jalannya sendiri.

Mengenai masalah mempertahankan tradisi salaf dalam mempelajari Islam dengan menggunakan teks Arab, Syaikhuna Maimoen mempunyai sebuah pengalaman. Suatu ketika beliau dengan temannya berziarah ke maqam seorang ulama yang terkenal dengan karomahnya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada seorang laki-laki (rijalul ghaib) yang  menghampirinya. Entah dari mana datangnya laki-laki itu beliau tidak tahu. Bahkan  temannya pingsan saat melihat lelaki itu hingga ingatannya menjadi bermasalah. Sedangkan Syaikhuna Maimoen tidak apa-apa. Orang tersebut mengucapkan salam dan berkata “Kelak akan ada zaman dimana orang-orang akan mempelajari Islam melalui terjemahan. maka dari itu, pertahankan tradisi alif ba’ ta’( istilah untuk mempelajari Islam melalui kitab-kitab berliteratur Arab)”. Usai memberikan pesan ini tiba-tiba laki-laki itu hilang entah kemana. Syaikhuna Maimoen selalu mengingat pesan ini dan dipegangnya selama hidup sebagai bekal untuk meneruskan jejak-jejak salafus shaleh dalam memahami Islam melaui kitab yang bertuliskan bahasa Arab.

Meskipun Syaikhuna Maimoen adalah sosok kiai yang selalu mengedepankan kajian kitab yang berbahasa Arab untuk mendalami agama, namun beliau tidak pernah menghina atau mengejek orang islam yang mempelajari agama dengan menggunakan terjemahan. Kitab yang berliteratur Arab merupakan peninggalan salaf yang selalu beliau jaga. 

Syaikhuna Maimoen sering berpesan kepada para santrinya agar tekun dalam belajar sehingga bisa membaca dan memahami kitab-kitab yang bertuliskan Arab yang nantinya mereka akan dapat memahami pokok sumber Islam yang berbahasa Arab. Sebab, meskipun Al-Qur’an itu turunnya di Arab akan tetapi ia bukan hanya milik orang Arab. Al-Qur’an adalah milik semua umat Islam yang ada di dunia ini. Terbukti orang-orang yang ahli dalam disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab kebanyakan bukan orang Arab. Contohnya seperti Imam Syibawaih yang merupakan ulama pakar Gramatika Arab yang paling terkemuka bukanlah orang Arab. Ia orang Persia. Begitu juga Imam al-Jurjani yang menemukan ilmu Balaghah, juga bukan orang Arab tetapi orang Maroko. Imam Abu Hanifah merupakan ulama yang menjadi mujtahid pertama dalam madzahibul arba’ah yang mana juga bukan orang Arab, melainkan orang Persia.
Sekian, semoga bermanfaat..

.
Credit: Muhadloroh PP Al Anwar Sarang

#HubbulWathonMinalIman

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda