Memutus Rantai Radikalisme, Jauhkan Anak dari Ceramah Provokatif - HWMI.or.id

Sunday 12 July 2020

Memutus Rantai Radikalisme, Jauhkan Anak dari Ceramah Provokatif


Pandemi Covid 19 memberikan dampak perubahan dalam banyak hal, baik ekonome, politik, bahkan sistem pendidikan. Diberlakukannya sistem belajar dirumah dengan menerapkan belajar online atau daring dianggap menjadi langkah efektif selama pandemi sehingga kegiatan belajar anak didik sebagai generasi bangsa tetap berjalan.
Pembelajaran sistem online atau daring, selain menjaga anak didik tetap belajar juga menjadikan mereka melek teknologi. Tidak sedikit dari mereka yang awalnya bersikap acuh pada teknologi atau mendapat batasan-batasan dari orang tua untuk penggunaan teknologi, akhirnya harus belajar online atau daring dengan fasilitas teknologi.

Dalam masalah pendidikan, Imam al-Ghazali cenderung pada paham empirisme yang menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya anak dilahirkan tanpa dipengaruhi oleh hereditas kecuali sedikit sekali, karena faktor pendidikan, lingkungan, dan masyarakat sangat erat sekali dalam mempengaruhi sifat anak.

Teknologi internet menyuguhkan berbagai macam konten. Apa saja bisa diakses, dari tugas-tugas sekolah, motivasi hidup, dakwah agama yang wasathiyah maupun dakwah agama yang bersifat radikalisme, ektremisme, dan terorisme yang marak tersebar. Seperti halnya video ceramah yang bersifat provokatif dan ceramah-ceramah yang membangkitkan kebencian dan perpecahan ditengah umat. Tentu hal ini dapat berpengaruh pada anak sebagaimana disampaikan imam al-ghazali diatas.

Anak merupakan aset masa depan bangsa. maka perhatian terhadap pendidikan anak menjadi kunci untuk masa depan anak. Kelak menjadi umat yang wasathiyah atau yang radikal itu tergantung pada orang tua dan pihak yang bertanggung jawab dalam mendidiknya. 

Hal ini sejalan dengan teori Tabula Rasa yang dicetuskan oleh John Lock yang menyatakan bahwa semua pengetahuan, tanggapan, dan perasaan jiwa manusia diperoleh karena pengalaman melalui alat alat indranya. Pada waktu manusia dilahirkan ia seperti kertas putih yang kosong. Kertas putih itu akan tertulis oleh pengalaman pengalaman sedari kecil melalui alat panca indra.

Dalam mendidik anak, sudah banyak sekali contoh yang disampaikan di dalam al-Qur’an maupun hadist, seperti di dalam QS. Luqman ayat 18-19 dijelaskan:
Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang sombong lagi membanggakan diri (18). Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai (19).

Melalui ayat ini, Luqman menasehati kepada anaknya:
Pertama, jangan berpaling dari orang lain yang didorong oleh penghinaan dan kesombongan, Karena kesombongan bisa melahirkan rasisme. Akan tetapi berinteraksilah dengan orang lain dengan wajah berseri dan rendah hati. Ini merupakan pembelajaran untuk menjadikan anak punya rasa empati dan menjadi pribadi yang sholeh secara sosial.

Kedua, sederhanalah dalam melangkah, jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh, karena sesungguhnya Allah tidak suka pada orang yang angkuh lagi membanggakan diri.

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa asal kejadian manusia dari tanah, sehingga dia hendaknya jangan menyombongkan diri dan melangkah angkuh di tempat itu. 

Demikian kesan Al-Biqa’i sedang Ibn Asyur memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, pengusaha dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan yang sama, menyombongkan diri dan merasa melebihi orang lain.

Ketiga, lunakkan suaramu sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai. Berkata katalah dengan cara yang baik yakni tidak berupa ujaran kebencian dan menimbulkan provokatif yang berakibat orang lain berbuat kerusakan.

Nabi jelas melarang dengan tegas perilaku ujaran dan tindakan yang mengarah kepada timbulnya ketersinggungan dan kemarahan pihak lain. Beliau saw ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Beliau menjawab, “ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang mulia‟. Beliau ditanya tentang amal yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Maka beliau menjawab, “yaitu dua lubang; mulut dan kemaluan‟ (HR. Abu Hurairah).

Peran orang tua untuk selalu mengarahkan anak pada hal-hal positif menjadi sesuatu yang urgen dalam menjaga pendidikan anak, termasuk menjaga anak untuk tidak menonton ceramah ustadz yang berisi provokasi, ujaran kebencian, dan yang menimbulkan perpecahan ditengah umat. Hal ini agar anak tidak terpengaruh untuk menjadi penerus umat yang radikal.

Memberikan nasehat dengan mengenalkan anak pada ustadz, ulama’ yang berpaham wasathiyah, seperti Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Dr. Nasarudin Umar, Gus Baha’ dll. yang isi ceramahnya menyejukkan dengan menekankan islam yang ramah sangatlah efektif bagi anak sehingga terpengaruh untuk selalu menebar kebaikan dan mempunyai akhlak yang baik kepada orang lain (sholeh social), serta memahami agama islam sebagai rahmatan lil’alamin.

Oleh: Abdul Mumin A.ES, S.Pd.I. Lahir 1992 di Sumenep Madura. Menjalani Pendidikan MI, MTs, dan MA di Lembaga Pendidikan Nurul Jali Desa Pakamban Daya Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep (1996-2011). Melanjutkan ke Padepokan Tahfidzul Quran Ibnu Rusydi Jombang (2012-2015), STIT — UW Jombang (2012-2015), Mengikuti beasiswa Pasca Tahfidz di Bayt al-Quran Pusat Studi al-Quran (PSQ) Jakarta angkatan 2016

(Harakatuna)
www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda