Komite Hijaz, NU, Wahabi, Dan Khilafah - HWMI.or.id

Sunday 12 July 2020

Komite Hijaz, NU, Wahabi, Dan Khilafah


Mengenai Khilafah ala HTI, pendekatan pak Mahfud MD itu keliru. Mengarahkan pendidikan umat kepada definisi khilafah, mementahkan urgensi khilafah, itu ndak penting. Sebab perdebatan tidak bakal habis. Wong yang diajak debat tidak punya itikad mencari kebenaran. Itikadnya kan dagang. Kalah debat pun ndak ngaruh; tinggal ganti strategi. 
Lihat saja itu dek Felix pakar Turki Asmuni. Setelah dikasih ngaji gratis oleh Cak Nun soal hakikat khilafah sebagai pemerdekaan diri pribadi dari itikad selain lillahita'aala, bukannya bertaubat malah dia plintir petuah itu buat makin melariskan dagangannya. 
Apalagi kalau model beginian disuruh baca kitab kuning supaya tau bedanya khilafah dengan imamah. Lebih masuk akal ngajari kebo menggonggong.

Jadi ndak penting ngurusi definisi. Toh ini cuma melayani kelas menengah tercerahkan doang, rakyat sisanya malah tambah bingung.

Ada yang penting dan sekaligus gampang, ndak ribet. Yaitu  mengingatkan kembali adanya Fatwa menolak khilafah dari Nahdhlotul Ulama pada tahun 1954, yang sudah diikuti bukan saja oleh warga NU namun juga umat muslim seluruh Indonesia.  

Sikap para kyai pesantren menolak format khilafah sudah terlihat sedjak pendirian NU tahun 1926. Waktu itu ada dibentuk Central Comite Chilafah (CCC) oleh gabungan organisasi seperti Syarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lain-lain. Tapi para Kyai pesantren ndak ikut ngurusi komite itu; melainkan bikin komite sendiri yaitu Komite Hijaz. Komite inilah yang menjadi cikal-bakal Nahdlotul Ulama.
Tujuan utamanya cuma buat mengirim utusan ke Hijaz alias wilayah Mekah dan Madinah, untuk menego kebijakan Bani Saud dalam Muktamar Khilafah di Mekah. Total ada 5 usulan yang disampaikan; dua diantaranya adalah usulan penggiliran imam dan khotib Masjidil Haram kepada mazhab 4, bukan monopoli mazhab Wahhabi saja, dan permohonan kepada raja Hijaz untuk membatalkan rencana membulldozer makam Rasulullah SAW. 
Komite Hijaz kemudian ditolak oleh para ulama Wahhabi di sana; alasannya karena tidak punya payung organisasi, sehingga dianggap tidak punya umat. Maka didirikanlah Nahdlotul Ulama oleh Hadhrotussyeikh Hasyim Asy'ari beserta para kyai pesantren, sebagai legitimasi untuk KH. Wahab Chasbullah sebagai utusan seluruh umat muslim negeri Jawa.

Sikap NU terhadap ideolohi khilafah baru dituangkan secara eksplisit oleh Yai Wahab Chasbullah pada tahun 1954, lewat fatwanya saat berpidato di hadapan DPR, yang berjudul "Waliyyul Amri Bissyaukah". 
Fatwa Mbah Wahab menyatakan bahwa opsi imamah tidak bisa  diambil di zaman akhir ini, berhubung tidak terpenuhinya syarat-syarat imamah. Syarat paling utama, seorang Imam A'zhom atau Imam Besar haruslah seorang dengan pengetahuan agama yang mencapai level Mujtahid Mutlak. Orang seperti itu tidak ada di tahun 1954. Apalagi sekarang, lebih blangsak lagi. Atas ketiadaan calon Khalifah dengan kriteria mujtahid mutlak itu, maka wajib atas umat mengangkat imam-imam darurat, alias Imam Dhoruri; yaitu para pemimpin negara yang dipilih berdasarkan kesepakatan seluruh warga negara. 
Maka saat itu NU memberi gelar "Waliyyul Amri adh-Dhoruri bis-Syaukah" kepada Bung Karno; "pemimpin darurat yang harus dipatuhi". 

Jadi bukan sistemnya dulu yang dibikin, melainkan orangnya dulu yang dicari. Siapa orangnya, si calon Khalifah itu? Datangkan dia, uji pengetahuan agamanya, sudah sampai level mana, kalau semua ulama sekujur bumi sudah puas terhadapnya, barulah orang itu didaulat menjadi Imam Besar umat muslim sedunia. Di situ khilafah otomatis tegak; karena segenap umat ikhlas kepada orang itu. 
Apa persisnya ukuran mujtahid mutlak? Contoh konkritnya para imam mazhab dan ulama salafush-sholihin. Mereka ini berjilid-jilid kitab yang ditulisnya, bukan berjilid-jilid demonya. Bukan cuma nulis tesis sebiji itupun salah semua isinya. 
Ukuran mujtahid juga bukan cuma tingkat pengetahuan, tapi juga pengamalan. Seorang mujtahid adalah wujud rahmatan lil 'alamin, seorang pewaris sejati akhlak Rasulullah SAW. Mirip kriteria habib : seorang yang dikasihi umat. 
Pendeknya, kalau masih ada diantara kaum muslimin yang mencerca orang itu, maka dia belum mujtahid. Karena seorang mujtahid mutlak berada di dalam lindungan Allah. Tidaklah seorang bani Adam mampu menggerakkan lidahnya mencerca orang itu, karena Allahu Muqollibul Quluub niscaya membolak-balik hatinya, mengurungkan niatnya.  

Dilemanya begini : kalau memang ada di zaman akhir ini seorang mujtahid mutlak, maka sikap tawadhu'nya akan lebih mendominasi daripada keinginannya memimpin umat. Maka orang itu insyaAllah bakal menolak ditunjuk menjadi khalifah. Kalau ndak ada yang nunjuk lalu ngaku-ngaku sendiri sebagai khalifah, macam Abubakar al-Baghdadi itu, ya preketek. Penggantinya yang sekarang, malah lebih syubhat lagi.

Lebih-lebih kalau khilafahnya mau dipusatkan di Indonesia, dengan calon khalifah orang Indonesia. Ya mbelgedes. Apalagi syarat khalifah itu bukan cuma harus mujtahid mutlak saja, dia harus keturunan dari nasab / suku Quraish, suku Rasulullah Muhammad SAW. Bukan habib jadi-jadian hasil perkosaan TKW oleh majikan sembarang orang Arab yang ndak jelas sanadnya. 

Jadi gampang saja kita menolak khilafahnya HTI itu. Nyatakan saja bahwa kita taqlid kepada fatwa 1954 dari Mbah Yai Wahab Chasbullah seperti diuraikan di atas. Kalau mau mementahkan fatwa itu, silahkan bawa ke sini calon khalifahnya, supaya kita uji dulu jalur nasabnya, sanad keilmuannya. Beres. 
Ndak perlu ribut mbahas definisi lah, bendera lah, Turki Asmuni lah, yang malah ikut membantu promosi merek dagang 212. Kok enak betul.

Fritz Haryadi ( PCNU Jayapura)

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda