Metamorfosa Khilafahisme Dan Urgensi Jihad Media - HWMI.or.id

Tuesday 28 July 2020

Metamorfosa Khilafahisme Dan Urgensi Jihad Media

Metamorfosa Khilafahisme dan Urgensi Jihad Media


“Saya adalah seorang da’i,” menjadi prinsip utama yang ditanamkan dalam sistem kaderisasi tarbiyah. Setiap kader dan mutarabbi harus menahbiskan dirinya sebagai da’i, yang memiliki tugas mengekspansi pemikiran mereka ke luar.”

Salah satu tantangan Nahdlatul Ulama di era digital ini adalah menghadapi serangan ideologi kelompok transnasional lewat medsos. Khususnya saat ini. Kader-kader NU masih menanam, sementara mereka sudah memanen. Hal ini tak lepas dari agenda kerja tarbiyah (kaderisasi khas mereka) yang dikendalikan secara organized,serta memiliki sel-sel kuat di tiap daerah, sekolah, kampus, instansi dan lembaga. Dalam tradisi mereka, fase ini disebut mihwar tandzim (orbit penataan).

“Saya adalah seorang da’i,” menjadi prinsip utama yang ditanamkan dalam sistem kaderisasi tarbiyah. Setiap kader dan mutarabbi harus menahbiskan dirinya sebagai da’i, yang memiliki tugas mengekspansi pemikiran mereka ke luar. Semua hal dimanfaatkan sebagai instrumen, tak terkecuali medsos. Karena sejak beberapa tahun sebelumnya, agenda utama mereka adalah memasuki mihwar dauli (orbit kekuasaan). Semua isu, perangkat dan tren akan diorientasikan untuk tercapainya target tersebut.

Untuk mencapai itu, pola rekrutmen pun tak lagi tunggal. Tajnid ikhwani mereka tak lagi terbatas pada jalur tarbiyah melalui liqa’, sebab ranah ini sudah selesai. Rohis (kerohanian Islam) dan LDK (Lembaga Dakwah Kampus) juga sudah dapat dipanen. Mereka sedang bermetamorfosa dengan membangun narasi kebangsaan. Sebab mereka sadar, gerakan mereka di luar negeri diberangus karena mengambil jarak dari pemerintah. Sehingga di Indonesia, mau tak mau mereka harus mengikuti tradisi atau bernasib sama seperti di luar negeri.

Dalam prakteknya, kelompok ini tak selalu mulus, karena beberapa rencana strategis dapat digagalkan oleh Nahdlatul Ulama. Termasuk ketika memanfaatkan momentum pemilu dan isu-isu sensitif lain. Kendati demikian, kelompok ini masih menguasai jagad media sosial.

Harus diakui, kader nahdliyah masih sangat lemah di bidang ini. Bukan kurang orang, tapi karena kader kita masih kerja sendiri-sendiri. Sementara mereka, pembagian segmentasi dan konten dikelola dengan rapi dan sistemik. Sehingga konten-konten produksi kelompok ini sangat komplit. 

Semua lini tergarap. Dari produksi quote, meme, catatan-catatan renungan, kultum, hingga kajian ustadz. ‘Pemunculan tokoh’ dan seni mengorbitkan figur telah mereka kuasai. Mereka juga menggerakkan setiap kader dengan baik. ‘Share’ menjadi jihad media yang mesti ditaati setiap kader.

Hari-hari ini kita telah melihat hasil kerja mereka. Warga nahdliyin menjadi objek besar yang telah tertipu, bahkan menjadi follower suka rela. Jika kita mengamati lalu lintas beberapa platform medsos, wall akun pribadi dan fanpage seperti hanya dipenuhi da’i-da’i besutan mereka. Nahdlatul Ulama yang besar, seperti tak memiliki da’i sehandal mereka.

Yang muncul hanyalah Buya Said, Gus Mus, Gus Muwafiq, Gus Miftah, Gus Baha, Gus Kautsar dan beberapa saja. Dari sini kita mestinya paham, jihad media ini sedemikian penting, selain injury time.

Apa yang harus kita lakukan? Ketua Umum PBNU telah mengamanahkan kepada kita, bahwa wajib hukumnya menguasai dakwah medsos. Dengan mempedomani arahan ini, maka yang mesti dilakukan adalah bergerak, membangun tim, mengonsolidasikan dengan kader lain, memproduksi konten dan giat membagikan, juga memberikan penyadaran holistik, agar warga nahdliyin berhenti membagikan konten-konten mereka.

Di grup kader NU, pernah ada seseorang yang membagikan link berisi konten punya kelompok khilafahis. Saya mengingatkan, lalu disergah dengan alasan, “kalau isinya baik, kenapa tidak?” Akhirnya saya respon, “Iblis juga menggunakan narasi baik, saat menggoda Nabi Adam as.”

Benar apa yang pernah disampaikan oleh Abi KH. Abdul Mannan Abdul Ghani, saat pembekalan Standardisasi Dai NU, bahwa “narasi yang mereka bangun adalah kalimatu haq urida biha al-batil, kalimat yang baik dan digunakan untuk menyokong kebatilan.”
Jadi, stop share konten mereka. Saatnya kader NU meramaikan dan menguasai jagad medsos! (YZP)

Penulis:
Luthfi Khoiron
Alumni Standardisasi Dai Lembaga Dakwah PBNU

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda