Imam Besar Yang Bernyali Kecil - HWMI.or.id

Saturday 26 September 2020

Imam Besar Yang Bernyali Kecil


Imam besar adalah jabatan yang agung dan mulia bagi umat Islam. Jabatan ini tidak terdapat dalam struktur politik kekuasaan formal. Artinya dia bukan jabatan yang terkait dengan kekuasaan politik, tetapi lebih pada posisi sosial religius yang terkait dengan kapasitas moral dan kealiman seorang. 

Tak ada  institusi formal politik yang berhak memberikan gelar imam besar kepada seseorang. 

Imam besar bisa disematkan secara kultural kepada siapa saja yang dianggap menguasai ilmu agama yang luas dan mendalam serta tidak memiliki cacat moral, sehingga bisa menjadi rujukan umat dalam menghadapi persoalan hidup. 

Sikap seperti ini dicontohkan oleh para ulama besar khususnya para imam mazhab dan beberapa ulama Nusantara yang layak menyandang gelar sebagai imam besar.    

 Meski menempati posisi yang prestisius karena otoritas moral dan pemikirannya yang menjadi rujukan umat Islam sedunia, namun jalan hidup para imam mazhab tidak semulus dan seindah prestasinya. 

Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafiyah) misalnya, pernah dipenjara dan menerima hukuman cambuk dari penguasa ketika beliau menolak tawaran khalifah untuk menjadi pejabat negara, yaitu menjadi qadhi (hakim) dan pengurus baitul mal (Ahmad Baihaqi; 2016: 1-2), .

Imam Anas bin Malik, pendiri mazhab Maliki, meski dikenal dekat dengan penguasa dan pernah menerima penghargaan (hadiah) dari khalifah, namun beliau juga tidak lepas dari siksaan karena sikap kritisnya pada penguasa. 

Hal ini dibuktikan dengan beberapa fatwa beliau yang sering berlawanan dengan kepentingan penguasa, sebagai wujud komitmennya pada nilai-nilai kebenaran yang diyakini. 

Karena sikapnya tersebut, Imam Malik difitnah oleh Ja’far bin Sulaiman –sepupu Abu Ja’far Al-Mansur-. Ja’far menghembuskan isu bahwa bahwa Imam Malik tidak mengakui kepemimpinan Khalifah Ja’far Al-Mansur. 

Atas tudingan tersebut, Imam Malik mendapat hukuman cambuk tujuh puluh kali hingga menyebabkan tulang pundak beliau lepas. Kisah penyiksaan Imam Malik ini disebutkan dalam kitab “Ulama’ wa Umara’” karya Wahid Abdussalam Ba’ali (1410 : 181)

Imam Abu Abdillah Muhamad bin Idris (150 H / 767 M) atau imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i mengalami perlakuan yang sama. Beliau difitnah dengan tuduhan berkomplot dengan kelompok yang dianggap makar terhadap Khalifah dan dianggap sebagai pendukung kelompok Syi’ah. Fitnah ini dihembuskan oleh Mutharrif bin Mazin. 

Atas tuduhan ini Khalifah Harun al-Rasyid kemudian mengutus Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi’i dan orang-orang Alawiyin. 

Beliau dirantai dengan besi bersama orang-orang Aliwiyin dari Yaman hingga istana Khalifah di Raqqah (Adz-Dzahabi, 1405, juz 10; 86). 

Sesampai di Istana Imam Syafi’i dimasukkan penjara dan nyaris dieksekusi dengan hukuman mati oleh Khalifah Harun al-Rasyid.

Imam Ahmad ibn Hambal, pendiri mazhab Hambali, murid Imam Syafi’i, juga mengalami nasib serupa. Beliau dicambuk dan dipenjara 30 bulan oleh Khalifah Al-Ma’mun karena tidak mau menerima pemikiran mu’tazilah yang dipaksakan oleh pemerintah (Ibn Atsir, 1417, juz 5; 576). 

Tercatat dalam sejarah, saat pemerintahan Daulat Abbasiyah dipegang Khalifah Al-Ma’mun terjadi peristiwa berdarah al-Mihnah, yaitu persekusi terhadap umat Islam yang tidak mau mengikuti fatwa hakim Ibnu Abi Dawud yang berfaham Mu’tazilah yang menyatakan Al-qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. 

Imam Ahmad menolak fatwa tersebut, sehingga dipenjara dan dicambuk.  

Nasib seperti ini juga dialami oleh beberapa ulama Nusantara. Mereka dipenjara hingga disiksa secara fisik. Seperti yang dialami oleh Mbah Hasyim Asy’ari. 

Beliau difitnah telah melakukan pembunuhan, hanya karena santrinya membunuh seorang pencuri yang dikirim oleh intel Belanda untuk berbuat keonaran di Pesantren Tebuireng. 

Atas fitnahan tersebut Mbah Hasyim diintrograsi Belanda dan pesantrennya dihancurkan hingga bangunannya porak poranda dan  kitab-kitab terbakar. 

Pada saat Jepang berkuasa, Mbah Hasyim pernah dipenjara dan disiksa hingga satu jari tangannya patah,  karena menolak seikerei, menghormat pada Dewa Matahari.

Hal yang sama juga dialami oleh Buya Hamka, tokoh besar umat Islam yang layak menjadi teladan dan pemimpin Umat. Beliau dipenjara  karena dituduh terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dan Menteri Agama saat itu, KH. Suaefudin Zuhri. 

Sebagaimana dituturkan Rahmad Sahid, beliau dijemput dari rumahnya pada tanggal 27 Januari 1964, bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1383H, sekitar jam 11 siang, kemudian dibawa ke Sukabumi. 

Dikisahkan Yusran Ruydi dalam Buya Hamka; Pribadi dan Martabat, saat penangkapan terjadi, Istri Buya sedang sakit dan tidak sadarkan diri saat melihat Buya Hamka dibawa ke Markas Besar Kepolisian.

Inililah jalan hidup para pemimpin umat Islam yang sebenarnya  layak menyandang predikat Imam Besar. Mereka itu pernah disiksa dan dihukum oleh para penguasa pada zamannya. 

Namun mereka menghadapi semua fitnah, hukuman dan siksaan itu sendiri. 

Mereka tidak pernah melibatkan umat apalagi memprovokasi rakyat untuk membela dirinya. Mereka juga tidak pernah berteriak kriminalisasi ulama atas semua fitnah, hukuman dan siksaan yang dideritanya.

Para imam mazhab yang menerima fitnah dan siksaan keji dari para khalifah tidak pernah berbicara kotor pada para penguasa di depan publik apalagi memberikan fatwa menggulingkan kekuasaan yang sah atau menggalang kekuatan rakyat untuk bertindak makar. 

Sebagai seorang yang alim, menguasai ilmu agama secara mendalam, mereka bisa saja menggunakan otoritas keilmuannya untuk melegitimasi tindakannya melawan pemerintah. 

Namun hal itu tidak dilakukan. 

Mereka lebih ikhlas menerima semua itu sebagai bentuk pertanggungjawaban moral secara pribadi atas tindakan dan pemikirannya, tanpa melibatkan sentimen umat untuk membelanya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Mbah Hayim, Buya Hamka, Gus Dur dan beberapa ulama Nusantara lainnya. 

Saat Mbah Hasyim di penjara terjadi gejolak sosial, karena banyak santri dan masyarakat yang melakukan protes membela Mbah Hasyim. Namun oleh Mbah Hasyim hal itu segera dilarang, beliau mengutus putranya, Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Chabullah untuk melakukan negosiasi dengan pihak Jepang. 

Keduanya berhasil meyakinkan Jepang bahwa mBah Hasyim tidak bersalah. 

Ketika dilepaskan dari penjara dan pemerintah Jepang meminta maaf kepada mBah Hasyim, beliau justru memaafkan.

Demikian juga yang dilakukan oleh Buya Hamka, beliau tidak memerintahkan umat Islam demo atau protes berjilid-jilid dengan isu membela ulama, kriminalisasi ulama dan sebagainya. 

Beliau tidak melakukan provokasi pada umat bahwa penangkapan dirinya adalah pecehan ulama. 

Beliau menerima semua itu secara ikhlas sebagai konsekuensi suatu perjuangan. 

Bahkan ketika Bung Karno meninggal, Buya Hamka justru memenuhi permintaan untuk menshalatkan jenazahnya. 

Contoh yang sama juga ditunjukkan oleh Gus Dur. Jutaan umat sudah siap membela beliau saat menerima fitnah Brunei Gate dan Bulog Gate, yang menjadi pemicu dilengeserkannya dari kursi kekuasan, justru disuruh pulang oleh Gus Dur. Beliau menghadapi kasus itu sendirian. 

Bahkan saat diperiksa kepolisian beliau hanya datang dengan pengacaranya dan beberapa orang sahabat serta keluarga. Beliau menolak pengerahan massa yang ingin datang membelanya.   

Apa yang terjadi menunjukkan, Selain karena kealiman dan ketinggian moralnya, sosok Imam Besar juga dikenal sebagai pribadi pemberani dan ksatria. 

Mereka tidak mudah melibatkan umat dalam perkara pribadi. 

Mereka bisa memisahkan antara persoalan pribadi yang harus dihadapi sendiri dengan perjuangan yang harus melibatkan umat. 

Meski ucapan, tindakan dan pemikiran yang disampaikan terkait dengan persoalan umat, bangsa dan agama, namun persoalan hukum yang menimpa dirinya adalah persoalan pribadi.

Oleh karena itu mereka menghadapinya secara pribadi.

Imam besar bukanlah pribadi yang cengeng dan pengecut yang selalu membakar dan mengobarkan emosi umat untuk menghadapi kasus atau perkara hukum yang dituduhkan pada dirinya. 

Mereka memiliki nyali besar untuk menghadapi semua persoalan secara pribadi, tidak mudah melibatkan umat atau berlindung di balik sombol agama untuk membela dirinya. 

Karena tugas seorang Imam Besar bukanlah semata-mata menggerakkan dan memprovokasi umat secara membabi buta, tetapi juga mendidik umat agar benar-benar bisa berjuang secara cerdas dan kritis. 

Jika ada imam besar yang selalu memprovokasi umat untuk terlibat dalam kasus pribadi, kemudian memunculkan berbagai isu dan jargon politik serta membuat berbagai tuduhan pada pihak lain serta melakukan berbagai tekanan terhadap hukum demi menyelamatkan dirinya dari jerat hukum, maka orang tersebut sebenarnya adalah imam besar yang bernyali kecil.

Sumber: al Zastrow Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta.

(RijalulAswajaNU)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda