Kasus #BoikotJNE, Revolusi Mental Atau Mental Dari Bisnis - HWMI.or.id

Monday 14 December 2020

Kasus #BoikotJNE, Revolusi Mental Atau Mental Dari Bisnis

Kasus #BoikotJNE, Revolusi Mental atau Mental dari Bisnis*



Oleh : Andre Vincent Wenas


Adalah fakta sosial bahwa tekanan dari euphoria masyarakat (bagi JNE artinya konsumen, atau sumber pendapatannya) yang saat ini sedang  merayakan ‘kemenangan’ gerakan sosial anti-radikalisme dan anti pemecah-belah bangsa sangatlah kencang.


Tagar yang berbunyi ‘#BoikotJNE’ bertebaran di ruang publik, khususnya di media sosial. Pekat mewarnai alam pikir partisipan medsos dan membentuk opini publik. Mengapa ini sampai terjadi?


Dipicu dari unggahan di medsos tentang ucapan selamat HUT Ke-30 perusahaan ini dari seorang tokoh yang dipersepsi sebagai antek gerakan radikalisme (FPI) Haikal Hassan. 

Walau ada pula tokoh yang dipersepsi sebagai figur pro-nasionalisme seperti Ahok dan Ganjar Pranowo juga ikut memberi ucapan selamat namun ternyata masyarakat – utamanya para netizen – sudah tidak peduli lagi. Cap bahwa JNE pro-khilafah sudah dipatenkan bareng logo JNE. Sayang sekali memang.


Para netizen ini memang seperti detektif Sherlock Holmes di era internet yang cerdik menginvestigasi jejak-jejak digital perusahaan ini. Jeroannya pun ikut dibedah, artinya ulah para pengurus dan karyawan JNE ikut dipelototi dengan amat teliti, apakah mereka ‘terlibat’ dalam aktivitas yang bisa dipersepsi sebagai endorser gerakan radikalisme.


Dan tidak sulit rupanya. Dengan terlacaknya jejak digital dari acara kerohanian internal yang mengundang tokoh radikal saja sudah bisa dicap sebagai antek gerakan radikalisme. Apalagi kalau ada pimpinan perusahaan ikut-ikutan narsis dengan foto bersama mereka yang oleh netizen dilabel sebagai tokoh intoleran. 

Akibatnya, netizen ini pun bereaksi keras, tagar #BoikotJNE pun ditebar. Ini reaksi perlawanan para netizen, menular pada mereka yang pro-nasionalisme. Ini dianggap sebagai simbol dari gerak survival mempertahankan kebhinekaan dan toleransi. Walau terkesan reaktif, namun tak bisa dipungkiri gerakan ini meluas terus.


Ini bisa dipahami, semangat solidaritas sosial yang sudah lama tertanam di sanubari bangsa Indonesia sejak jaman nenek moyang akhir-akhir ini sedang terancam oleh mereka yang mempromosikan paham primordialistik. Agitasi dan provokasi (lewat pembohongan publik) sudah dirasa mencederai akal sehat.


Mereka pun berontak, secara instingtif naluri akal sehat netizen melawan. Bukan melawan bisnis JNE, tapi melawan ulah oknum-oknum JNE yang telah ikut-ikutan mempromosikan atau meng-endorse gerakan pro-radikalisme. Paling tidak begitulah persepsi publik (netizen). Maka sontak tagar #BoikotJNE pun bertebaran.


Dan ini berbahaya bagi JNE. Publik, netizen, masyarakat adalah konsumen (pelanggan) bagi JNE. Merekalah sumber pendapatan, istilah bisnisnya: kontributor dari top-line dalam income-statement (laporan rugi-laba) perusahaan.


Kita memang bisa saja masih mempertanyakan, apakah hukuman sosial #BoikotJNE ini perlu? Atau apakah #BoikotJNE ini adil?


Dalam tayangan video di kanal youtube Kanal Anak Bangsa pun kita pernah mempersoalkannya. Dan reaksi dari netizen pun beragam. Heboh deh pokoknya.


Ada yang bilang perlu, argumentasinya dengan #BoikotJNE masyarakat ikut mencegah gerakan intoleran dengan menyetop sumber dana mereka. Ada juga yang bilang ini sebagai pelajaran bagi JNE untuk bertobat, dan juga bagi entitas bisnis lain supaya jangan coba-coba main api dengan mendukung gerakan radikalisme ini.

Ada pula yang bilang tidak adil, argumentasinya adalah tidak semua insan JNE itu pendukung gerakan intoleran (radikalisme). Disamping tentu dengan menyebutkan bahwa selama ini JNE juga peduli dengan mereka yang tidak mampu, sering pula menyantuni anak-anak yatim-piatu. 

Katanya perusahaan ini juga tempat mencari nafkah bagi puluhan ribu karyawan serta mitranya yang datang dari berbagai latar belakang suku dan agama. Banyak dari mereka yang juga toleran dan nasionalis. Apalagi di masa pandemic dan resesi ekonomi seperti sekarang. Beban makin berat.


Jadi bagaimana?


Pertama-tama tentu JNE sendirilah yang mesti bersikap. Masyarakat, atau dalam hal ini para netizen itu adalah orang bebas, bebas untuk menentukan pilihan produk (barang-jasa) yang mereka sukai atau mereka perlukan, dengan segala pertimbangannya masing-masing.

Kasus bisnis seperti ini pernah pula menimpa Bukalapak, dan sekarang JNE. Ini mesti jadi studi-kasus yang berharga bagi para pebisnis dan karyawannya. Biarkanlah isu agama atau kepercayaan itu tetap berada di ruang privat individual.

Juga perihal bagaimana eksekusi strategi bisnis itu mesti dikelola (manage) dan dipimpin (lead) dengan disiplin ketat sampai ke aspek pengelolaan personalia (human resource) sampai terefleksi dalam perilaku organisasinya (organizational behavior). Dan pada akhirnya akan menjadi tatanan nilai (value-system) yang dipraktekkan (bukan cuma dipajang di dinding) dalam dinamika organisasi itu sendiri.

Aspek lain yang penting untuk diperhitungkan adalah tentunya kompetitor, atau layanan substitusinya. Faktanya ada banyak alternatif bagi layanan serupa JNE. Ada SiCepat, Pos Indonesia (Wahana), J&T, Tiki, Lion, DHL, FedEx, sampai ke Go-Send.


Kalau tawaran-nilai (value-proposition) yang diberikan JNE dalam pandangan konsumennya masih bisa tergantikan oleh para kompetitornya maka tentu saja peralihan (switching) sangat mungkin terjadi.


Mereposisi (repositioning) JNE jadi imperatif demi keluar dari prahara #BoikotJNE ini. Terutama dalam pembenahan strategi Sumber Daya Manusianya. Karena dalam bisnis jasa, SDM jadi kunci, dimana interaksi langsung maupun interaksi via media yang dilakukan oleh para karyawan (maupun direksi) akan dikonversi jadi pesan (message) yang mencerminkan nilai perusahaan.

Jadi sekarang terserah pada JNE, terutama para direksi dan komisarisnya sebagai pemegang kebijakan (kekuasaan, power) di perusahaan. Dan ini harus segera, sebelum top-line (pendapatannya) tergerus.

Masyarakat, publik, konsumen, netizen punya otoritas pertimbangannya sendiri. Manakala dirasa sikap JNE sudah baik kembali, maka rasa keadilan publik akan mengetuk palu keputusannya: kembali ‘connecting happiness’ bersama JNE atau ‘good-bye’ JNE.

Mau revolusi-mental di tubuh JNE, atau mental dari kancah bisnisnya.

*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).

Sumber Kompasiana.com

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda