Memahami Sejarah Agar Tidak Salah Arah - HWMI.or.id

Monday, 4 January 2021

Memahami Sejarah Agar Tidak Salah Arah



MEMAHAMI SEJARAH AGAR TIDAK SALAH ARAH

Oleh: A. Supriadi

Mengutip pernyataan Ali Imron mantan teroris bom Bali. 

"Sebenarnya sudah cukup, rakyat Indonesia yang latar belakangnya NU ngaji saja ke NU, yang Muhammadiyah ngaji ke Muhammadiyah. Jangan pernah nyempal kemana-mana. Kalau ada yang ajak pengajian yang aneh-aneh, itu awal daripada penyakit".

NU dan Muhammadiyah adalah representasi dari umat Islam Indonesia yang besar, meski selain keduanya masih ada organisasi Islam yang moderat yang tergabung dalam LPOI (Lembaga Persaudaraan Ormas Islam) seperti Mathlaul Anwar, PERTI, Jam’iyyah Al-Washliyah, Al-Irsyad, Persis dan lainnya yang dapat dijadikan acuan beragama, karena telah banyak bukti sumbangsihnya pada negara dan masyarakat, baik dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, maupun sosial dan budaya.

Pernyataan tersebut di atas amat relevan saat ini, dimana banyak umat Islam yang berislam, tetapi tidak berafiliasi atau bernaung pada salah satu jam'iyyah tersebut, akibatnya banyak cara pandang berpikir (fikrah) ataupun pergerakan dakwah (harakah) yang liar keluar dari fikrah dan harakah manhaj Ahlussunnah waljamaah, malah lebih cenderung agresif dan eksklusif yang mengarah kepada tindakan yang radikal, baik itu secara verbal (ucapan berbentuk makian dan umpatan yang buruk, mengancam dan lain sebagainya) ataupun aksi-aksi dalam tindak kekerasan.

Penulis menulis tulisan ini mencoba untuk mengimplementasikan cara pandang berpikir agar generasi penerus kami, keluarga terdekat, dan orang-orang terdekat yang penulis cintai tidak terpengaruh oleh apapun ajakan yang bersifat menyimpang, baik fikrah dan harakah yang akan merusak tatanan kehidupan anak keturunan kedepannya yang semakin keras dan penuh fitnah. 

Dalam sejarahnya, NU tidak luput dari serangan dan fitnah yang dilancarkan oleh kelompok penentangnya, baik yang ekstrim kiri seperti PKI (komunisme) dan ekstim kanan seperti gerakan DI/TII (berhaluan Islam keras) oleh Kartosuwiryo di Jawa barat. Hingga kini bayang-bayang fitnah dan penebar kebencian terhadap NU masih saja ada dan makin masif terlebih di era media sosial yang semakin tak terkendali dan liar baik ujaran kebencian, fitnah hoaks dan macam macam lainnya. Tujuannya hanya satu melemahkan NU jika NU lemah, maka Indonesia akan mudah dikendalikan. Begitulah kura-kura.

Oleh karenanya berjamaah dalam jami'iyyah Islam itu sendiri amatlah penting agar pola pikir dan pergerakan dakwah tidak liar dan lebih terkontrol, menjadi muslim yang moderat (tawassuth), adil dan seimbang yang merupakan cerminan dari ahlussunnah waljamaah itu sendiri agar terhindar dari sifat ekstrim, keras dan kaku yang nyatanya banyak kita temui di jaman ini. 


Sejarah telah membuktikan bagaimana Islam dengan usungan formalitas agama menjadi ideologi negara tertolak, karena negara ini negara yang majemuk terdiri dari banyak suku bangsa, agama dan juga kepercayaan yang mana semua ikut andil dalam memerdekakan Indonesia. Oleh karenanya Pancasila adalah jalan tengah yang seimbang yang dapat mengadopsi semua golongan sangatlah tepat, Hasil rumusan bersama dan menjadi konsensus bersama yang harus dipelihara bersama.

NU tidak ayal selalu menjadi tameng menyeimbangkan antara menjaga agama dan keutuhan negara yang sudah disepakati bersama kerap kali menjadi incaran pelemahan dari kalangan islamis radikalis yang menginginkan penegakan syariat Islam berdiri. Namun sejarah telah membuktikannya,siapa yang masih bertahan dan yang sudah hancur dilewati lajunya jaman, bahkan Kartosuwiryo di akhir hayatnya harus mengalami hukuman mati dari sahabatnya sendiri Soekarno. Maka renungkan dan tengoklah. Tengok DI/TII. Tengok Masyumi, tengok PKI? Mereka hancur tenggelam oleh hukum alam bahwa yang benar selalu menang. 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda