Agama Islam Adalah Sebuah Keyakinan, Dan Bukan Sebuah Ideologi - HWMI.or.id

Friday 12 February 2021

Agama Islam Adalah Sebuah Keyakinan, Dan Bukan Sebuah Ideologi

 Agama Islam adalah sebuah keyakinan, dan bukan sebuah ideologi. 



Sebagai seorang Muslim, saya sangat meyakini bahwa Islam sebagai sebuah bentuk kepasrahan dalam iman. Sementara ajaran-ajarannya, menjadi sumber inspirasi untuk ditransformasikan melalui amal perbuatan dan etika manusia dalam sosial kehidupan. 

Radikalisme dan ekstremisme, baik yang berupa pikiran maupun tindakan, bukanlah sebuah refleksi garis perjuangan terbangunnya kehidupan yang lebih baik. Radikalisme dan ekstremisme lebih merefleksikan ideologi semu yang asal muasalnya dari agama.


Artinya, sebuah pola pikir radikal dan ekstrem yang diimplementasikan ke dalam sebuah tindakan untuk memperbaiki dunia yang dianggapnya tidak tepat, hanya bertujuan politik, dan bukanlah amal perbuatan. Mereka menggunakan agama sebagai ideologi aspiratif yang sebetulnya berpandangan politis. Apalagi segala aktivitasnya dalam politik—terutama mengenai kekuasaan dan pemerintahan—ketertarikannya kurang terhadap akhlak agama dan akhlak ketuhanan.


Sederhananya, radikalisme dan ekstremisme menjadikan agama sebagai ideologi politik, bukan mengkaji agama sebagai nilai transformatif keimanan. Membedakan antara Islam dan ideologi radikal ekstrem menjadi hal yang penting untuk menolak klaim-klaim mereka sebagai representatif Islam dan menampik sekaligus mengenyahkan kejahatan atas nama Islam dengan perilaku destruktif.


Dalam hal akidah, sejarah Islam sebenarnya sudah lebih dulu ada benturan antara akidah (keyakinan) dengan etika agama atau etika manusia dengan munculnya berbagai sekte. Secara laten, semenjak masa Nabi ada, amal dan akhlak manusia merupakan buah daripada iman. Namun ada satu sekte yang yang bersikap sektarian bernama Khawarij yang berarti keluar. Khawarij meyakini bahwa amal perbuatan manusia yang rusak berarti keimanan mereka telah hilang sehingga orang Islam yang berbuat dosa besar (mutakabul kabirah) telah kafir menurut teologi Khawarij.


Sikap sektarian Khawarij yang inti teologi inilah yang kemudian menjadi masalah dalam tubuh Islam. Sedangkan dalam sosio-politik, Khawarij menghendaki Islam yang murni, tekstualis secara hukum, dan lengkap beserta pemerintahannya dengan konsep darul Islam (negara Islam). oleh karena itu maka Khawarij lebih bersikap radikal dalam pola pikir kekuasaan, dan ekstrem terhadap kekuasaan di luar kelompok mereka. Dalam istilah mereka disebut darul harbi (negara orang-orang kafir).


Peletak dasar pemikiran dan teologi ekstrem sektarian Khawarij ini adalah subsekte Azariqah. Disebut Azariqah karena diambil dari nama pemimpinnya yang bernama Nafi’ Ibn Azraq al-Hanafi. Dengan teologi dan pemikiran puritan radikal ekstrem ini menurut W. Montgotmery Watt—dalam buku terjemahannya, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (1987)—dijadikan sebuah “pembenaran bagi aksi terorisme” yang kemudian kelompok Azariqah dikenal amat ditakuti karena banyaknya aksi anarkisme dan pembunuhan yang mereka lakukan.


Meski pada perkembangannya, mereka memandang para pengikut paham ini tidak lagi sebut sebagai kafir, hanya disebut munafik, dan melunakkan ajarannya dengan memperbolehkan mereka hidup di bawah kekuasaan harbi dan kaum musyrikin, dalam rangka menjaga keselamatan jiwa dan hartanya. Ajaran ini dikenal dengan sebutan sikap Taqiyyah, yakni menyembunyikan ideologi aslinya apabila dapat membahayakan jiwa dan harta mereka. Dengan doktrin seperti itu, mereka cenderung mengisolasi diri secara total dari kehidupan dunia di sekitarnya.


Sikap mereka dalam bahasa kekinian disebut sebagai sikap eksklusif atau tertutup, dan bahkan dalam batas tertentu, gelap dan buta terhadap realitas kehidupan, sebab sudah mengideologis fanatik pada batiniyah yang paling dalam. Golongan radikalisme ekstrem seperti Khawarij yang senantiasa memaksakan sikap sektarian dan hukum jahiliah dari tradisi kehidupan Arab Badui yang hanya mengakui kebenarannya sendiri, tentu hanya bisa menimbulkan ketakutan, keonaran, dan kekacauan dalam masyarakat Islam (Prof. Dr. Simuh, 2019: 31).


Dengan bersikap eksklusivisme kelompok radikal dan ekstrem agama seperti itu, di manapun mereka hidup tidak akan pernah disenangi masyarakat sekitarnya—warga negara dan pemerintahan—Justru sektarianisme semacam itu menjadi musuh bersama dalam dunia global kontemporer saat ini. Dengan munculnya fenomena kelompok-kelompok teroris sekarang ini, tidak terlepas dari pemahaman puritan ekstrem Khawarij. Pola pikir radikalisme agama yang kaku dan agresif, terselimuti oleh doktrin ekstrem yang dapat merusak peradaban dan keadaban agama.


Beberapa ciri yang dapat kita lihat jelas dalam konteks ajaran Islam ialah, pertama, mereka memahami ajaran Islam secara parsial dan tidak utuh. Artinya mereka sebenarnya hanya berpegang pada teks al-Quran dan hadis yang sifatnya sementara—kebulatan dan keutuhan teks—tanpa mempertimbangkan dalil atau ayat lain sebagai perbandingan. Apalagi fenomena modern sekarang ini lebih senang hanya berpegang pada terjemahan semata, dan menghiraukan tafsir, nasikh-mansukh, asbabun nuzul dari sebuah dalil, dan seterusnya.


Ciri sikap radikal ekstrem yang kedua adalah memutlakkan hasil ijtihad. Entah itu berdasarkan satu tafsir tertentu dan mengabaikan tafsir lain, atau bahkan menurut pendapatnya sendiri, membenarkan; kebenaran tunggal dan tanpa reserve. Orang-orang semacam itu tidak menyadari bahwa kebenaran absolut hanya Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah-Nya. Selain itu, semua dibatasi oleh tingkat pengetahuan dan pemikiran yang terbatas manusia yang bersifat dugaan, tidak pasti dan mutlak.


Untuk ciri yang ketiga, ini lebih kepada sikap privat atau eksklusif. Mereka akan bersikap tertutup, lalu memisahkan diri dari mayoritas sekaligus memandang pemahaman mereka sebagai kebenaran diri sendiri; tidak terbuka terhadap kebenaran lain. Demikian ketiganya saling tersambung dan berkaitan satu dengan yang lainnya.


Sementara untuk proses islamisasi dalam hal tatanan politik, mereka tidak menghendaki adanya sebuah sistem modern, yakni nation-state (negara bangsa). Bagi mereka, negara-bangsa saat ini adalah konstitusi yang dibuat oleh manusia, bukan Tuhan. Mereka tidak memiliki komitmen atau solusi kenyataan global dengan apa yang disebut sebagai titik temu nasionalisme dan agama.


Keduanya dibenturkan dan tidak saling memengaruhi; berbeda dengan pemahaman kekhalifahan yang bersifat holistik, hanya menciptakan kekacauan negara yang telah terbentuk atas dasar kesepakatan seperti Indonesia. Mereka memandang demokrasi politik adalah produk Barat; proses perubahan sosial yang disebabkan oleh globalisasi adalah terjadinya westernisasi atau juga dikenal oksidentalisasi.


Tujuan orang-orang radikal ekstrem adalah Islamisasi tatanan politik secara global. Jadi, setiap tema-tema yang ada, terjadi dikotomi ideologi yang saling berhubungan; Tuhan vs Sekularisme, darul Islam vs negara-bangsa sekuler, shura vs demokrasi sekuler, syariat vs hukum positif atau legislasi manusia, dan yang terpenting, hakimiyyat Allah vs pemerintahan rakyat (Bassam Tibi, 2000: 240). Karenanya komplotan radikal ekstrem ini akan selalu mengambil sikap oposisi bawah tanah yang ilegal terhadap pemerintah.


Terlepas siapapun yang duduk berkuasa sebelum kelompok mereka sendiri berhasil mengkudeta. Bentuknya bisa melalui kudeta politik kekuasaan dengan terus melakukan propaganda, provokasi, dan politik kebencian, dan bersikap intoleran terhadap golongan yang tidak satu warna. Ataupun  kudeta sistem dengan terus melakukan konfrontasi doktrin melalui dakwah dan khutbah di mimbar-mimbar suci.


Ini jelas berbahaya bagi keutuhan dan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, resep terbaik dalam rangka melawan dan memerangi kelompok-kelompok radikal ekstrem tersebut, terdapat suatu nilai etika menjaga kesucian agama dan perdamaian negara yang merupakan hal fundamental dan wajib secara kolektif; jihad.


Kita semua patut mewaspadai bahaya radikalisme dan ekstremisme yang mengarah pada terorisme militan. Kita semua, harus sedini mungkin dapat mencegahnya dengan edukasi mengenai moderasi keagamaan dan pendidikan kenegaraan yang wasathiyyah, dimulai dari orang-orang di lingkungan sekitar—terutama keluarga—demi keselamatan dan kemaslahatan seluruh umat manusia.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda