ICJR: Kasus Nakes Pematang Siantar Tak penuhi Unsur Penodaan - HWMI.or.id

Wednesday 24 February 2021

ICJR: Kasus Nakes Pematang Siantar Tak penuhi Unsur Penodaan

 ICJR: Kasus Nakes Pematang Siantar Tak Penuhi Unsur Penodaan

Ilustrasi. Delik penodaan agama setidaknya harus memenuhi 2 unsur yakni kesengajaan dan perbuatan yang pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama. (Foto: CNN Indonesia/Bisma Septalisma)


Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu sangsi kasus empat tenaga kesehatan laki-laki di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara yang memandikan jenazah pasien suspek Covid-19 berjenis kelamin perempuan memenuhi jerat pasal penodaan agama.

Pasalnya menurut Erasmus, bila merujuk pada Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, ada dua unsur penting yang harus dipenuhi untuk menggunakan delik tersebut. Kata dia, sebagian orang memang kerap tak memperhatikannya secara hati-hati sehingga implementasi pasal penodaan agama pun tak berjalan baik.


"Menurut ICJR, kasus tersebut sulit dikatakan memenuhi unsur penodaan agama," tutur Erasmus dalam keterangan resmi, Rabu (23/2).


Erasmus menjelaskan kedua unsur tersebut yakni unsur kesengajaan dengan maksud melakukan penodaan agama di muka umum. Sementara unsur kedua adalah bentuk perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau, penodaan terhadap suatu agama.

Ia mengingatkan penyidik dan jaksa untuk berhati-hati dalam menilai perbuatan para tersangka berdasarkan unsur-unsur tersebut.

"Kelalaian karena tidak mematuhi protokol, SOP, atau urutan prosedur lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dengan maksud," terang Erasmus.

"Terlebih para tersangka menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan yang khusus menangani jenazah suspek Covid-19 dengan telah dilengkapi surat keputusan pengangkatan mereka," lanjut dia lagi.


Sementara itu, Erasmus menilai delik penodaan agama harus memenuhi unsur yakni sebuah perbuatan 'pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama'. Perbuatan itu sendiri, lanjut dia, harus yang sifatnya menodai suatu agama atau ajaran agama.

"Maka dia harus langsung menyasar agama tersebut, sedangkan perbuatan yang menyasar orang per orang yang kebetulan menyalahi ajaran suatu agama, tidak dapat langsung disimpulkan menodai agama," sambung dia.

Erasmus juga mengkritik langkah Jaksa Penuntut Umum yang justru menerima pelimpahan kasus 4 tenaga kesehatan tersebut dari penyidik polisi.

Ia menegaskan, jaksa seharusnya berperan untuk memastikan apakah suatu kasus perlu atau tidak untuk diteruskan. Dalam kasus ini menurut Erasmus, jaksa terlihat tidak mampu mengambil peran tersebut.


Melihat hal itu, dia pun khawatir kasus serupa bisa saja terus menyasar para tenaga kesehatan dan petugas lain di garda depan penanganan pandemi virus corona.

"Jaksa perlu untuk berhati-hati dalam menangani kasus yang demikian," ucap Erasmus.

Kasus ini bermula saat empat petugas medis di RSUD Djasamen Saragih menangani jenazah pasien suspek Covid-19 bernama Zakiah. Pasien itu meninggal pada 20 September 2020.


Empat petugas forensik yang memandikan jenazah Zakiah diketahui berjenis kelamin laki-laki dan dua di antaranya berstatus sebagai perawat.

Melihat kejadian itu, suami dari pasien membuat laporan ke kepolisian atas tuduhan penistaan agama. Padahal, sang suami sebelumnya disebut telah menyetujui proses yang akan dilakukan.


(rzr/nma/CNN Indonesia)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda