Dakwah Abal-abal HTI, Tidak Pantas Untuk NKRI - HWMI.or.id

Thursday 25 March 2021

Dakwah Abal-abal HTI, Tidak Pantas Untuk NKRI

 Dakwah Abal-abal HTI, Tidak Pantas untuk NKRI



Siapa yang masih ingat provokasi dakwah HTI? Sebagian besar kita tentunya masih basah dalam ingatan bahwa HTI sering memprovokasi massa untuk menegakkan khilafah di bumi Nusantara. Sampai hari ini pun, para ideolog HTI macam Ismail Yusanto, Felix Siauw dkk, masih mengobral dakwah abal-abalnya untuk memancing umat masuk dalam perangkap HTI-nya.


Varian Dakwah Abal-abal HTI


Formasi dan variasi dakwahnya masih sama. Di Youtube, mereka gencar seperti apa yang telah terjalankan dan terdakwahkan sekian lama: tumbangkan Pancasila, ganti Khilafah!

Tidak kapok. Seperti itulah mereka. Kerapkali diingatkan, tetapi bagaimana lagi, namanya jualan ideologi. Sampai kapan pun akan terus diobral. Lewat jalan dakwah atau mengatasnamakan dakwah agama, mereka HTI, gencar masuk dalam jalan yang lempang: dakwah kampus.

Ingat, dakwah HTI menyusup ke lumbung kampus yang paling dalam. Praksis dakwahnya, HTI membuat acara kegiatan seminar, pelatihan, dan menjadikan kampus tempat bersemi jualan Khilafahnya.

Tak berhenti sampai situ, seperti para teroris MIT di Poso, oknum HTI, juga memanfaatkan tempat-tempat strategis di pemerintahan dan kampus sebagai jalan utama untuk membidik tujuannya. Sebenarnya kalau kita gali lebih dalam, beberapa organisasi keislaman, juga menjadi tempat nyaman bagi HTI. Karena hanya tempat itulah, posisi HTI yang tertinggal. Dan diuntungkan.


Dakwah Islam Indonesia


Sebagaimana varian dakwah HTI, banyak versi untuk memilih tempat belajar tentang agama Islam. Ada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Tapi mengapa muslim urban, artis, dan mualaf memilih jalan dakwahnya HTI? Jawabannya tidak lain, karena HTI memberikan jawaban praktis. Hanya haram dan halal. Ini boleh dan tidak. Meski jawaban itu semua, potensi kesalahannya sangat tebal.

Banyak versi pengatahuan kita tentang Islam. Perbedaan itu berpengaruh pada pemahaman dan laku keislaman. Tidak hanya pada konteks ritual saja, melainkan pada hal-hal yang kadang sifatnya eksesoris-meterial-dunia. Seperti busana (budaya) agama Islam.

Tetapi, yang kadang kita lupa, adalah posisi kita dalam berislam. Apakah tafsiran tentang keislaman sudah sebagaimana mestinya. Atau, jangan-jangan kita masih belum tau posisi kita sebagai penganut Islam.

Saya teringat bukunya Haidar Bagir mengenai posisi umat Islam. Di buku Islam Tuhan Islam Manusia (versi baru 2019), Haidar mengkatagorisasi posisi umat beragama. Mungkin untuk sebagian kalangan itu tidak mudah, tetapi untuk sebagian yang lain gagasan itu di terima. Tetapi yang perlu dan penting kita tahu, adalah bahwa apa yang kita tafsirkan tentang Islam bukanlah kebenaran Islam yang absolute, tetapi sifatnya relatif. Dan, Islam Tuhan sudah pasti Islam yang absolute kebenarannya.


Menurut Haidar Bagir, mengenai posisi umat manusia dalam beragama dan posisi agama di antara umat ada di dua katub: agama Tuhan (hanya Tuhan yang tahu) dan agama manusia (Tuhan dan manusia yang tahu).


Agama Tuhan yang Dicita-citakan Manusia


Agama Tuhan yang diturunkan atau berasal dari Tuhan yang berpindah kepada wilayah manusia, harus ditafsirkan dalam konteks manusia. Sebab seperti kata Haidar Bagir, manusia tidak akan pernah bisa bicara tentang agama, kecuali dalam konteks manusia. Agama yang terkhususkan untuk manusia selaiknya tak (boleh) terlepaskan dari unsur-unsur atau kebutuhan manusia, begitu juga negara tak boleh lepas dari unsur kemanusiaan-kesejahteraan-berkeadilan.

Poin yang paling penting menurut Haidar Bagir di zaman kacau ini adalah dakwah keagamaan harus selalu mempromosikan wacana toleransi nan santun yang berorentasi pada prinsip dasar Islam cinta, kemanusiaan dan menegakkan wasathiyyah atau umat yang moderat seperti yang tergambarkan dalam surah (QS al-Baqarah [2]: 143).

Dengan demikian, etika dakwah Islam harus berdasarkan pada prinsip moderasi, keadilan, dan bersifat rasional, bukan semata-mata yang hedonistik, utilitarianistik, dan deontologis. Etika dakwah semata-mata harus mendasar ke ragawi yang sejalan pada prinsip Islam dalam surat al-Rahman: 7. “meletakkan neraca keadilan”, sehingga, pemangku agama merasai surga yang tercita-citakan tercipta di dunia, kebahagiaan, kenyamanan, keasyikan, dan kesejahteraan.

Dalam pada itu, paradigma harus terus terbangun demi mengupayakan rekonsiliasi perdamaian keagamaan dan persatuan sesama umat manusia, yang hidup di alam semesta yang sama. Supaya, cita-cita Islam “menjunjung tinggi rasa kemanusiaan menjadi nyata”.

Dan kita tahu, bahwa cita-cita Islam dan semua agama tentunya adalah kedamaian: bertawassut, bertawassun, i’tidal, dan bertasamuh dalam asas cinta. Dan karena itulah sesungguhnya aspek yang paling penting daripada tafsir/dakwah “kebenaran” yang diperebutkan adalah mengedepankan spirit kemanusiaan dan keindonesiaan. Bukan khilafah seperti yang terdakwahkan HTI. Itu!


(Agus Wedi / Harakatuna.com )

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda