Para Teroris dan Taktik Seksi Menghidupkan Organisasinya
Ilustrasi.Sumber:www.matamatapolitik.com
Apa yang terpikirkan dalam benak ketika mendengar kata “uang”? Mungkinkah ia menjadi tolok ukur kebahagiaan seseorang, atau sebaliknya. Nyatanya ada banyak sekali pendapat soal kehadiran uang dalam hidup kita. Ada foto antara kaya dan si miskin yang tersebar beberapa waktu belakangan ini. Dua gambar orang miskin dan orang kaya yang justru berbanding terbalik dengan statement bahwa “bahagia tidak butuh uang”.
Pada kenyataannya, sebagian besar dari kita akan merasa bahagia ketika seluruh kebutuhannya tercukupi. Terlepas berbagai pendapat soal uang, Michael Sandel, di dalam buku What Money Can’t Buy (2013), menjelaskan, uang memengaruhi kinerja orang dalam pekerjaannya.
Untuk pekerjaan-pekerjaan yang mekanis, seperti administrator atau tukang sapu, uang memang bisa memberikan motivasi tambahan, supaya orang bekerja lebih rajin. Namun, untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tingkat kreativitas tinggi, uang tidak memberikan dampak apapun, atau justru melunturkan motivasi.
Tanpa kita sadari, seluruh kegiatan yang akan kita lakukan membutuhkan, tak terkecuali dalam melakkukan kegiatan organisasi. Organisasi apa saja pasti membutuhkan uang untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan organisasi. Pertanyaan yang muncul, bagaimana cara organisasi melakukan strategi untuk meningkatkan kemandirian ekonomi sebuah organisasi?
Di saat seluruh organisasi yang memiliki visi mulia terhadap komitmen kebangsaan sibuk merancang bagaimana kemandirian organisasi harus digencarkan, kabar menarik yang memicu emosi kita yakni diamankannya kotak amal oleh Densus 88 yang terduga milik teroris di Deli Serdang (26/03/21).
Kabar ini memang bukan yang pertama kita ketahui. Sebelumnya strategi mencari uang melalui kotak amal yang para teroris ini lakukan diungkap oleh Tirto sebagai perjuangan para teroris mencukupi berbagai kebutuhan. Termasuk kebutuhan memberangkatkan para calon kader ke Suriah untuk mengikuti pelatihan, membeli alat bom, hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Kenyataannya ini sungguh licik, kejam, dan memicu kegeraman kita terhadap teroris. “menyelam sambil minum air” rasanya memang cocok untuk dinisbatkan kepada para teroris ini dengan strategi keji lainnya.
Haruskah Mengapresiasi Strategi Licik Para Teroris
Bagi organisasi yang masih belum memiliki income mandiri, salah satu tantangannya ialah bagaimana kebutuhan organisasi tetap berjalan dengan finansial yang cukup. Tanpa kita sadari, taktik yang dilakukan oleh para teroris seperti di atas justru jauh dari apa yang kita bayangkan, bahkan sama sekali tidak kita pikirkan.
Taktik para teroris dalam mendapatkan dana untuk perjalanan panjang aksi-aksi keji justru berlipat ganda. Belum dengan aksi penyerangan, pengeboman, juga dengan pemungutan uang dengan cara tidak manusiawi. Bisa kita bayangkan, betapa banyak kebohongan yang sudah para teroris ini lakukan dengan memanfaatkan kondisi demikian. Sampai di sini, masihkah kita akan mengatakan bahwa teroris adalah ajaran Islam?
Barangkali bukan hanya saya saja orang yang selalu bertanya-tanya semenjak dulu perihal “siapa yang menerima kotak amal yang tersebar di berbagai Indomaret, toko-toko hingga tempat print? Sebagian kini sudah terjawab kemana arah dari uang yang kita berikan kepada mereka. Pasca kejadian ini, kita akan terus bersikap skeptis terhadap kotak amal yang akan kita temui di berbagai tempat.
Ini juga menjadi catatan utama dalam benak kita melihat persoalan yang jarang sekali kita sentuh, bahkan terlewat untuk kita pikirkan. Kita justru harus mengapresiasi betul bagaimana taktik seksi dan brilian semacam ini datang dari tindak kejahatan yang terorganisir sangat rapi. Di sekitar kita, ternyata banyak hal yang berasal dari kejahatan terbungkus dengan rasa kasihan—menjual iba demi tujuan tertentu.
Maka ketika demikian adanya, kemampuan berpikir kritis, meragukan, mencari tahu dari berbagai sumber yang kredibel menjadi penting untuk kita lakukan. Apalagi di era digital ini, seharusnya sikap mencari tahu dan sikap skeptis justru lebih meningkat terhadap sesuatu agar tidak mudah terprovokasi. Tidak mudah ikut alur yang ada, bahkan mudah ikut dengan hal-hal yang ternyata bagian dari kejahatan yang keji. Wallahu a’lam.
(Muallifah/harakatuna.com)