Menelaah Maqom Gus Najih Dan Gus Miftah Dalam Kajian Sufi Klasik Dan Modern - HWMI.or.id

Sunday 9 May 2021

Menelaah Maqom Gus Najih Dan Gus Miftah Dalam Kajian Sufi Klasik Dan Modern

 Menelaah Maqom Gus Najih dan Gus Miftah dalam Kajian Sufi Klasik dan Modern.


Oleh: Dr H Abdul Adzim Irsyad Lc M Pd

Al-Marhum KH Mashoeri Naim pernah betutur “Imam Al-Laist adalah sosok ulama yang kaya raya (konglomerat) dijamannya. Namun, Imam Al-Laist selalu bergumul dengan sesama umat islam yang termarginalkan, seperti; mantan maling, copet, pelacur, bromo corah dan anak jalanan, bahkan pelacur (Pekerja Sex Komersial). Bahkan, dalam pandangan ulama kala itu, Imam Al-Laist dicap sebagai sosok yang tidak pernah mengeluarkan zakat, walaupun harta bendanya begitu banyak nan melimpah ruah.

Imam Al-Laist lebih asyik bergumul dengan masyarakat awam, dari pada bergumul dengan para ulama, sehingga para ulama seringkali menyinyir dan mengkritik dengan tajam. Tidak pantas seorang ulama yang ber-ilmu, berkumpul dengan orang-orang ahli maksiat.


Sampai suatu ketika, Imam Malik menuliskan sebuah surat peringatan, teguran kepada Imam Al-Laitsi atas perilakunya.

Namun Imam Al-Listsi menjawab dengan santaui perihal surat tersebut. Imam Al-Laits justru mengingantkan Imam Malik ra, agar teap fokus dengan makamnya (posisinya) sebagai seorang pengajar di Masjid. 

Ketika, Imam Al-Laist wafat, Imam Malik masih berprasangka kurang baik terhadap Imam Al-Laist. Sampai suatu ketika, Imam Malik mengunjungi kediaman anak-anak dari Imam Al-Laist.

Imam Malik mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka 


“ayahmu adalah seorang ulama terpandang dan ber-limu, namun kenapa selalu bergumul dengan orang-orang yang tidak baik. Ayahmu adalah orang kaya raya, namun kenapa tidak 

mengeluarkan zakat. Sementara, kalian semua hidup dalam kesederhanaan. Lantas, dimanakan harta peninggalan harta benda ayahanda kalian?


Putra dari Imam Al-Laist menjawab “memang orangtuaku kaya raya, namun semua penghasilannya tidak dimakan sendiri, kecuali secukupnya. Selebihnya dibagi-bagikan (sedekah) kepada orang-orang termarganinalkan, agar mereka tetap menjaga iman kepada Allah SWT. 

Sementara orang-orang yang bermaksiat, agar mereka kembali ke jalan Allah SWT. Jadi, orang tua saya tidak mengeluarkan zakat, karena memang uangnya habis untuk dibagi-bagikan”.


Sang anak menambahkan “orangtuaku rela bergumul dengan mantan maling, pemabok, bromo corah, dan pelacur, tidak memperdulikan cibiran dan nyiyiran orang, rela tidak dihormati dan caci, demi menjaga umat Rasulullah SAW yang termarginalkan”. 

Mendengarkan jawaban itu, Imam Malik terdiam dan menangis. Dia menyadari selama ini prasangkanya tidak tepat untuk Imam Al-Laist. Karena selama ini Imam Malik selama ini hanya bisa mengajarkan di Masjid dan dikediamannya, sementara Imam Al-Laisti mengorbankan harta dan kehormatan demi mengembalikan umat Rasulullah SAW ke jalan Allah SWT.  Kemudian Imam Malik meminta agar dirinya di antarkan ke makam Imam Al-Laist. 

 

Kisah ini mengingatkan pada sosok Gus Mik dan KH Ahmad Siddiq. Dimana KH Ahmad Siddiq mengkritik habis-habisan prilaku Gus Mik yang selalu berkumpul dengan artis dan selebritis. Bahkan, tidak segan-segan melakukan hal-hal yang kurang pas dalam pandangan agama (Syariah).

 KH Abu Hanifah Al-Dimyati,  guru ngaji saya, beliau sering bekisah perbedaan antara KH Ahmad Siddiq dan Gus Mik. Bahkan, KH Ahmad Siddiq sempat protes kepada KH Abdul Hamid Pasuruan seputar kelakuan Gus Mik yang bikin Mantab, Dzikrul Ghofilin. "Wong kok aneh- aneh".

Sampai suatu ketika, KH Abdul Hamid berkata kepada KH Ahmad Siddiq “tugas Gus Mik itu jauh lebih berat dari pada tugas kita”. Mendengar ungkapan KH Abdul Hamid, KH Ahmad Siddiq, kaget namun tetap tidak percaya terhadap Gus Mik. Karena kelakuan Gus Mik itu aneh aneh (jaddab).


Singkatnya, saat penentuan Pancasila sebagai asas tunggal Negara Indonesia. Tiba-tiba naskahnya hilang tidak tahu kemana. KH Ahmad Siddiq, benar-benar pusing, karena tidak segera ditemukan naskah tersebut. Dalam kondisi pusing, tiba-tiba Gus Mik datang dengan membawa naskah tersebut. Lalu Gus Mik berkata “jenengan madosi naskah meniko”.  Saat itu juga KH Ahmad Siddiq terkaget-kaget, dan terperanga dengan kejadian itu.

Maka terjadilah sebuah diskusi tingkat tinggi antara KH Ahmad Siddiq dan Gus Mik yang begitu panjang tentang semua kehidupan dunia lain. Setelah KH Ahmad Siddiq di ajak masuk ke dunia lain, maka KH Ahmad Siddiq Taslim kepada Gus Mik. Ternyata, betul apa yang didawuhkan KH Hamid Pasuruan bahwa tugas Gus Mik jauh lebih berat. 


Sebagai buktinya, KH Ahmad Siddiq berwasiat agar kelak kalau wafat di Makamkan di kediri berdekatan dengan Gus Mik. Juga, putranya yang bernama Gus Firjon, menjadi salah satu santri Gus Mik.  

Dalam tradisi NU, kisah seperti cukuplah banyak nan asyik, membuat mata bathin kita semakin mengerti bahwa perbedaan di pemukaan itu jangan diartikan permusuhan. KH Asaad berbeda dengan Gus Dur. Gus Dur pun berbeda dengan Mbah Maemun Zubair. Bahkan dalam dunia pewayangan, Kanjeng Sunan Giri berbeda pendapat dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.


Inilah khasanah luar biasa dalam tradisi NU. Sangat wajar dan tepat, jika Mbah Hasyim Asaary memberikan wadah para ulama dengan mendirikan “Nahdhatul Ulama” agar para ulama yang beragam tetap dalam koridor Jamiyah Nahdatul Ulama.

Gus Najih VS Gus Miftah

Dalam dunia medsos, Gus Najih terang-terangan mengatakan “Miftah bukan anaknya Kyai, tidak pantas dipanggil Gus”. Apalagi, ketika Gus Miftah membacakan teks seputar bantahannya, membuat para nitizen yang mengerti Bahasa Arab dengan baik, semakin yakin bahwa Gus Miftah tidak bisa membaca Arab Gundul (kuning).


Namun perlu diketahui, bahwa orang Arab Asli-pun kadang tidak bisa membaca Arab Gundul (kuning). Gus Miftah tidak fasih membaca Arab Gundul, namun Gus Miftah mampu menangkap makna ta’bair bacaannya. Gus Miftah telah melakukan nilai-nilai islam, seperti Imam Al-Laist menjadi tempat berkumpulnya masyarakat awam, sebagaimana yang dikerjakan oleh Gus Mik. Bukan berarti tidak bisa membaca Arab Gundul, tidak mampu meng-implemantasikan kandungan teks Alquran dan hadis Rasulullah SAW.

Deretan orang yang nyinyir kepada Gus Miftah, pasti akan sangat sulit jika memposikan diri sebagai Gus Miftah. Setiap hari mata harus melihat orang busana tipis dan ketat, berkumpul dengan ratusan bahkan ribuan orang-orang mantan copet, bromo corah, bahkan berbeda agama dan keyakinan.


 Seorang santri, atau gawawis sejati (keturunan Kyai) yang sehari-hari membaca Alquran, hadis, kitab fikih akan runtuh ilmunya ketika melihat wanita berbusana tipis dan ketat. Bahkan, Imam Al-Syafii-pun pernah berkeluh kesah kepada gurunya Syekh Waki’ atas menurunnya kemampuan hafalan. Ternyata pesan gurnya adalah “tingalkan maksiat”, rupanya kemampuan hafalan turun gegara pernah melihat kaki seorang wanita.  Gawawis (gus-gus) tidak akan mampu jika diletakkan pada posisi Gus Miftah, yang setiap hari melihat kulit bening nan putih, wajah cantik nan elok. Gus Miftah juga berusaha memberikan makan gratis kepada para santri-santri yang mondok ditempatnya.

 Itulah maqom Gus Miftah, seperti maqom Imam Al-Laist. Dengan kata lain, Gus Miftah berkawan dengan mereka dengan tujuan pembinaan, sehingga tidak aneh, jika ratusan orang bertaubat dan memeluk islam atas bimbingannya. Ini adalah sebuah prestasi yang luar biasa, Allah SWT telah memberikan kepercayaan (Karamah) dalam bidangnya. 


Sampai kapan-pun Gus Miftah tidak akan mampu menyaingi ilmunya Gus Najih, walaupun mengerahkan segala upayanya, karena sejak kecil sudah belajar Alquran, hadis, fikih serta mengafal ratusan ta’bir-ta’bir dalam kitab fikih. Gus Miftah masuk dalam kategori “Fikih Dakwah”, tugasnya mengajak, sementara “Gus Najih” makamnya adalah “Fikih Ta’lim” tugasnya mengajarkan ilmu.

Sampai kapapun, Gus Najih tidak akan kuat dakwah ditempat hiburan malam yang dipenuhi wanita-wanita cantik berbusana tipis nan ketat. 


Bisa-bisa, orang yang setiap hari belajar agama, ilmunya agar hilang ketika melihat paras cantik wanita. Nah, kisah Gus Najih dan Gus Miftah persis seperti kisahnya Imam Malik ra yang rajin mengajar di kediamaanya, dan juga di Masjid. Sementara Gus Miftah mendapat bagian mengajak masyarakat awam dekat dengan ulama dan masjid.

Malang, 9/05/2021

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda