RUU Perlindungan Ulama, Perlukah? - HWMI.or.id

Saturday 8 May 2021

RUU Perlindungan Ulama, Perlukah?

 RUU Perlindungan Ulama, Perlukah?



JAUH sebelum kemerdekaan, ulama sudah punya andil signifikan dalam perjuangan. Hal itu, misalnya, dapat dibaca di buku Zainul Milal Bizawie yang berjudul Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad Ke-19” (2019). Buku tersebut menjelaskan secara detail jejak dan mata rantai perjuangan Pangeran Diponegoro yang tampak sangat kental ditopang banyak ulama. Peter Carey dalam karyanya, Kuasa Ramalan (2012), menjelaskan, ada sekitar 121 ulama (kiai), baik di monconegoro Wetan maupun di wilayah lain, yang menjadi penopang dan pendukung Pangeran Diponegoro.

Bergeser menjelang kemerdekaan, kontribusi ulama juga tidak kecil. Saat para tokoh bangsa mengikrarkan perjuangan pergerakan dan kebangkitan Indonesia, mulai Cokroaminoto, Soetomo, Soekarno, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro, hingga pahlawan lain, Kiai Wahab Chasbullah sudah mulai merintis madrasah yang ada unsur makna tanah air (wathan). Seperti Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) tahun 1916 yang dalam pengelolaannya dibantu KH Mas Mansur (nantinya menjadi tokoh Muhammadiyah). Bahkan, Kiai Wahab juga membuat lagu cinta tanah air yang sekarang disebut dengan Ya Lal Wathan.


Sehari setelah kemerdekaan juga terdapat peran krusial ulama, yakni terkait dengan Piagam Jakarta. Muncul ulama seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan lain-lain yang legawa dihapusnya tujuh kata pada sila pertama. Selanjutnya, pada 22 Oktober 1945 tercetuslah Resolusi Jihad dengan komando KH Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad adalah fatwa ulama atas kewajiban mengangkat senjata bagi umat Islam untuk melawan penjajah yang mau bercokol lagi di bumi pertiwi. Berkat resolusi tersebut, seluruh rakyat dan tentara bersemangat bertempur di Surabaya yang dikenal dengan peristiwa 10 November.

RUU Perlindungan Ulama

Peran historis ulama yang besar dalam menegakkan NKRI dan menggerakkan rakyat untuk berjuang apakah bisa dikorelasikan dengan perlunya perlindungan ulama di NKRI saat ini? Pasca-Pilpres 2019 muncul gagasan dari beberapa tokoh partai untuk melahirkan undang-undang (UU) yang berisi perlindungan kepada ulama. Sebab, ulama dan tokoh agama disebut kerap mengalami persekusi dan kriminalisasi, kata Presiden PKS Sohibul Iman dalam pidatonya pada 13 Januari 2020. Tentu usulan UU itu bisa saja diasumsikan bahwa peran ulama saat ini seakan terbatasi dan malah lebih dari itu, seperti kata Sohibul Iman, dipersekusi dan dikriminalisasi.


Gagasan tersebut redup dan baru-baru ini muncul berita penusukan terhadap ulama Syekh Ali Jaber pada 13 September 2020. Lalu pada 15 September muncul surat berkop Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mengundang pengurus Muhammadiyah. Dalam surat itu dijelaskan, FPKS bersama FPKB dan FPPP mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama, lalu akan diadakan diskusi daring pada 18 September 2020.

Tentu kita perlu memperjelas arah RUU itu. Apakah kejadian penusukan Syekh Ali Jaber bisa dijadikan trigger untuk meloloskan RUU tersebut? Tersebar di medsos kecurigaan bahwa RUU itu hanya untuk melindungi kepentingan kelompok, terutama kepada tokoh-tokoh yang disebut ulama yang selama ini dengan seenaknya berbicara anti-NKRI, menghasut umat dengan agenda-agenda melawan pemerintah yang sah.

Saya tidak hendak terlibat dalam adu wacana di atas. Saya mencoba menggunakan perspektif komparatif agar lebih objektif dan bisa memberikan horizon yang lebih komprehensif.

Pertama, setelah medsos menguasai jagat komunikasi dan muncul era yang disebut post-truth dan era the death of expertise (kematian kepakaran), kategori atau kriteria ulama tidak begitu jelas. Muncul ungkapan bahwa asal berani bicara di muka umum, dan pandai bicara serta ada sejenis EO (event organizer), dia bisa menjadi ustad atau ulama. Jadinya tiap orang bisa ”mendefinsikan” ulama. Bahkan, dahulu ada penceramah (ulama juga?) yang mengatakan bahwa hewan juga bisa menjadi ulama. Tentu ketidakjelasan itu adalah kenaifan sosial-keagamaan. Lebih naif lagi bila akan dibuat hukum positif perlindungan ulama, di mana kategori ulama tidak begitu jelas.

Kedua, bagaimana sikap ormas besar di Indonesia atas usulan RUU? PB NU dan Muhammadiyah pada Januari 2020 telah menjelaskan posisinya. Ormas Islam yang berdiri sebelum NKRI lahir itu menolak RUU tersebut dan justru mempertanyakan urgensinya. Bahkan, pengurus Muhammadiyah menegaskan bahwa RUU Perlindungan Ulama bisa menimbulkan kasta di masyarakat. Tentu penolakan itu menjadi tanda tanya. Padahal, secara logika, dua ormas tersebut memiliki banyak ulama, tapi justru menolak RUU Perlindungan Ulama.

Ketiga, problem RUU Perlindungan Ulama itu akan bertambah krusial bila merekam kejadian pada November 2019. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencoba melakukan standardisasi untuk ”menyediakan” ulama-ulama berkualitas dan dengan program sertifikasi ulama. MUI berkaca pada Malaysia dan Brunei telah menerapkan hal itu. Pemerintah Mesir juga membuat kebijakan ketat dengan melarang para penceramah yang belum memperoleh sertifikasi, bahkan pelanggarnya didenda hingga Rp 82 juta. Program sertifikasi ulama MUI belum begitu jelas tindak lanjutnya.

Lalu pada Agustus 2020 pemerintah lewat Menteri Agama Fachrul Razi menggulirkan program penceramah bersertifikat yang hal itu sudah dibahas bersama Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Namun, musykilnya, justru Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi menolak wacana tersebut. Kata Muhyiddin, kebijakan sertifikasi ulama kontraproduktif, berpeluang dimanfaatkan demi kepentingan pemerintah guna meredam ulama yang tak sejalan. Bahkan, Wakil Sekretaris Jenderal Paguyuban Alumni 212 Novel Bamukmin mengajak umat Islam memboikot dai yang mengikuti program sertifikasi penceramah dari Kemenag.

Dengan fakta di atas, kategori ulama yang belum begitu jelas sebenarnya akan diklirkan MUI melalui sertifikasi ulama, lalu disokong pemerintah lewat Kemenag, tapi ternyata jadi ambyar karena ditentang pengurus MUI. Lalu, kalau RUU itu mau dibuat, ulama yang bagaimana yang mau dilindungi bila kategori yang dimulai dari sertifikasi saja ditolak? Belum lagi dua ormas Islam terbesar di Indonesia juga menolaknya. (*)

*) Ainur Rofiq Al Amin, Dosen Prodi Politik Islam Ushuluddin dan pengasuh Al-Hadi 2 Tambakberas


Tulisan ini pernah di muat Jawa Pos (17 september 2020)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda