Khilafah Itu Hanya Fikih, Bukan Syariah - HWMI.or.id

Thursday 1 July 2021

Khilafah Itu Hanya Fikih, Bukan Syariah

 Khilafah Itu Hanya Fikih, Bukan Syariah


(Pidato Gubes, Prof. Dr. Muhammad Azhar, M.Ag./ FAI-Pascasarjana UMY)

Demokrasi di Indonesia sangat berpeluang mengakomodasi nilai- nilai keagamaan, namun harus disertai upaya kontekstualisasi kitab suci dari agama-agama. Secara spesifik (kasus Islam), upaya penegakan khilafah di Indonesia – bahkan dunia Islam – sebenarnya sudah tidak relevan, sebab khilafah merupakan produk ijtihad  ulama klasik yang sudah out of date. 

Di kutip dari Strateginews.co, Khilafah itu memang produk halal, tetapi tidak thayyib untuk bangsa Indonesia, bahkan tertolak di negeri-negeri Muslim. Bagi mayoritas umat Islam di dunia – termasuk Indonesia – meyakini bahwa konsep khilafah itu hanya pilihan fikih siyasah, dari banyak pilihan lainnya. Bukan satu- satunya konsep bernegara dalam Islam (bukan termasuk Syariah). Bangsa Indonesia sudah menentukan pilihannya bahwa Indonesia sebagai nation-state (NKRI).

Konsep “Negara Islam” lainnya juga sangat tidak relevan dengan Indonesia yang plural dan berbeda dengan Brunei, Saudi Arabia, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain. Bangsa Indonesia sudah sejak lama menyepakati bahwa Indonesia sebagai NKRI, dimana Pancasila sebagai common platform (kalimatun sawa’). Meminjam filsafat politik Muhammadiyah, negara Indonesia merupakan Dar al-‘ahdi wa as-Syahadah, sebagai jembatan menuju cita-cita Qur’ani: “Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur”. (QS. Saba’, 34: 15).

Para politisi dan aktivis parpol wajib mengakomodasi nilai-nilai religiusitas agama-agama yang “objektif” dalam produk undang- undang, serta bersikap kritis terhadap usulan pasal-pasal yang lebih menguntungkan para elit dan kurang berpihak pada mayoritas nasib rakyat. Kritik terhadap Omnibus law dan RUU lainnya, menjadi masukan positif bagi para elite pemimpin di negeri yang mayoritas beragama ini, dimana salah satu nilai keagamaan, Pancasila dan UUD 1945, adalah: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia”.

Konsepsi Demokrasi Religius khas Indonesia, tentu berbeda dengan Iran, maka harus diupayakan adanya indigenisasi politik dan demokrasi yang bernuansa religius (Indonesianisasi demokrasi)  atau pengindonesiaan konsep demokrasi itu sendiri.

Masa depan demokrasi cukup prospektif di Indonesia, sebab Indonesia terdiri dari mayoritas warga bangsa yang menganut enam agama yang secara umum dapat menerima demokrasi. Dengan dukungan dan partisipasi aktif para tokoh dan lembaga keagamaan maupun adat lainnya, maka upaya penerapan nilai- nilai religiusitas yang cukup kaya dalam agama serta budaya bangsa menjadi lebih aksleratif, seperti pentingnya nilai hidup bersih, terutama dari najis korupsi.

Secara spesifik keislaman, ideologi Takfiry, sebagaimana yang diusung oleh kelompok Neo-Khawarij, maupun kelompok populisme-Islamisme, menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam Indonesia – khususnya Muhammadiyah, NU, MUI, ICMI dan KAHMI – bagi kemajuan demokrasi di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan komitmen NKRI. Semua warga bangsa dari berbagai ragam agama dan budaya, harus terus-menerus mengantisipasi dan melakukan tindakan preventif sejak dini terhadap ancaman Neo-fundamentalisme (sekuler maupun keagamaan) yang mengancam eksistensi nation-state.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda