Gus Najih: Terlalu Dini Menilai Taliban Moderat
Oleh: Syifa Arrahmah
Pengamat Politik Timur Tengah Muhammad Najih Arromadloni mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan bahwa Taliban sudah moderat dan tidak terlalu berdampak bagi Indonesia. Pandangan tersebut, bagi dia, oversimplikasi dan terlalu dini untuk digembar-gemborkan.
“Saya tidak setuju dengan orang yang mengatakan (Taliban moderat) itu. Menurut saya ini terlalu dini dan gegabah,” ungkap Gus Najih pada diskusi daring Serial Kajian Studi Kehidupan Agama Kontemporer di TVNU, Jumat (29/8).
Ia menegaskan, memandang Taliban sebagai moderat merupakan pemikiran prematur, sebab hingga kini janji yang diserukan memperbolehkan wanita untuk sekolah, bekerja, dan berada di pemerintahan dengan syarat tertentu, sesuai syariat Islam dan nilai-nilai budaya setempat, masih nihil. “Nah, upaya Taliban dalam membangun citra bahwa mereka itu moderat, harus diuji oleh waktu,” tegasnya.
Terkait waktu, Pendiri Center for Research and Islamic Studies (CRIS) itu memperkuat argumennya dengan mengurai sedikit fragmen sejarah awal mula kemunculan kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Gerakan yang didirikan oleh Hassan Al-Banna pada 1928 ini semula dipandang kecil oleh Raja Faruk, karena pendirinya hanya seorang guru.
Namun, perlahan kelompok ini mulai menguasai beberapa jabatan-jabatan penting di Mesir, yang akhirnya memantik serentetan insiden berdarah, di antaranya pembunuhan Presiden ke-3 Mesir Anwar Sadat.
“Sekarang sudah 80 tahun perjalanan IM dan realita membuktikan bahwa ia tidak bisa diremehkan. IM yang dulu diremehkan Raja Faruk dan dianggap sebagai organisasi guru, kini menjadi organisasi yang membuat Mesir kerepotan,” beber Doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia menyebutkan, pergerakan IM yang massif membuat dampaknya tak hanya dirasakan oleh Mesir saja, namun seluruh dunia. Hal itu juga membuat ia semakin kuat berkembang dan melahirkan beberapa kelompok radikalis lain, seperti kubu Muhammad abd-as-salam Faraj, Jamaah at-Takfir wal Hijrah yang didirikan Shukri Mustafa, dan Jemaah Islamiyah yang kemudian menginspirasi negara-negara lain untuk mendirikannya.
“Jadi, dari sini kita bisa melihat bahwa potensi bahaya sekecil apapun tidak boleh diremehkan. Karena dampaknya bisa menjadi sangat serius,” ujar pengurus Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI Pusat itu.
Dituturkan, korelasinya dengan kemenangan Taliban di Afghanistan adalah peluang terbentuknya daulah/home base baru. Merujuk sejarah kelompok teroris di Indonesia, sejatinya setiap wilayah konflik berpotensi menjadi qoidah aminah atau safe base yang dengan perlahan jadi cikal bakal untuk pembentukan Daulah versi mereka sendiri, contohnya Poso.
“Apakah Taliban bisa menjadi home base baru, itu menurut saya sangat mungkin,” tutur Gus Najih. Sepakat soal kemoderatan Taliban, Achmad Mukafi Niam mengatakan bahwa publik internasional sedang menunggu janji reformasi dari Taliban untuk menjadi moderat. Dia menilai, jika yang dijanjikan tidak terbukti, maka akan terjadi penurunan citra Islam di mata komunitas global.
“Kelompok-kelompok ultra-nasionalis akan menjadikan isu itu sebagai bagian dari upaya untuk merusak citra Islam,” kata Pemred NU Online itu. Pengaruhnya, lanjut dia, akan berdampak pula pada reputasi Islam di seluruh dunia. Apalagi era saat ini erat dengan konsep desa global, karena segala informasi bisa dengan mudah diakses secara cepat.
“Dikatakan desa global, ketika informasi itu bisa diakses di seluruh dunia seperti tetangga sebelah, kita jadi tahu secara langsung,” imbuh dia. (Fathoni Ahmad/NU Online)