Laskar Jihad, FPI, dan Taliban: Hipokrisi Gerakan Islam Politik
Ketika membaca berita tentang gejolak Afghanistan hari-hari, Saya mengkhawatirkan bahwa gejolak tersebut akan menginspirasi gejolak yang sama di Indonesia. Ketika melihat bagaimana Taliban kukuh mempertahankan gerakan Islam yang mereka citakan sebagai politik ideal, saya yakin di negara ini spirit demikian juga banyak. Saya teringat dengan milisi Islam Laskar Jihad dan Laskar Pembela Islam-nya FPI. Ada kesamaan.
Artinya, antara Laskar Jihad yang dipimpin Ja’far Umar Thalib dan Taliban yang dipimpin Hibatullah Akhundzada memiliki kesamaan dalam berbagai hal. Paling pertama sama dari segi ideologi, yakni sama-sama Muslim ortodoks. Tetapi, hari ini, kemiripannya tidak dalam ideologi belaka, melainkan juga strategi politiknya. Saya rasa ketidakkuatan Laskar Jihad hingga ia dibubarkan, satu-satunya alasan, adalah karena mereka nihil senjata.
Lalu bagaimana dengan FPI? Organisasi yang baru dibubarkan ini juga tidak jauh berbeda. Habib Rizieq Syihab, Imam Besar yang kini tengah menjalani hukuman, meski beraliran Sunni dan kerap kali mengkritik tokoh-tokoh ortodoks seperti Yazid bin Abdul Qadir Jawas, ternyata secara strategi politik justru meniru Umar Thalib. Paling tidak, kedekatan HRS dengan Thalib menginspirasi HRS meniru langkah Thalib, meski ideologinya berbeda.
Jika benar demikian, maka Talibanisme atau Talibanisasi yang hari-hari jadi perbincangan publik, adalah kekhawatiran yang beralasan. Di sini, saya akan menguraikan kesamaan Laskar Jihad, FPI, dan Taliban, sekaligus menguraikan mengapa gerakan islamisme di Indonesia bergerak di ruang remang: takut maju tapi enggan mundur. Akan saya uraikan pula perbedaan ketiganya dan, selain itu, apakah kekhawatiran menjadi urgen atau tidak.
Sungguh pun demikian, ini adalah topik yang panjang. Bagian yang tidak teruraikan di sini, boleh jadi akan saya ulas di tulisan selanjutnya. Untuk mendedah islamisme di tanah air memang tidak cukup dalam satu tulisan, namun penekanan saya di sini adalah mengantisipasi proliferasi Taliban. Faktanya, gerakan Islam di seluruh dunia tidak efektif karena kesamaan suku, melainkan kelihaian pemimpinnya memainkan populasi umat.
Eksploitasi Populasi Muslim
Taliban di Afghanistan, dalam pengamatan sejumlah tokoh, dipandang secara lokalitas, yang dari pandangan tersebut melahirkan pengabaian yang penting. Padahal, persoalan milisi di negara bekas jajahan AS itu tidak bertolak dari kepentingan etnis, melainkan kepentingan politik teokratis yang dicita-citakan Taliban di satu sisi, dan kepentingan ideologi ortodoks untuk memerangi Kafir Salibi AS dari negara mayoritas Muslim di sisi lainnya.
Ja’far Umar Thalib juga demikian. Ia yang merupakan kaum Salafi ulung dan memiliki jejaring luas bahkan dengan Al-Qaeda. Kemudian Thalib memainkan dramanya dengan bertolak pada isu Kristen vs Islam di Maluku. Islam dianggap berada di bawah ancaman kemusnahan, maka Thalib menyulut semangat umat Islam—terutama kalangan mahasiswa dengan pemahaman Islam yang sangat minim—melakukan perlawanan; jihad.
Sementara itu, FPI yang beranak-pinak menjadi PA 212 dan GNPF MUI, kendati tidak memusuhi Kristen, juga berdrama dari topik sejenis, yaitu komunisme dan Kristen. Sampai hari ini, isu PKI selalu menakutkan bagi orang-orang FPI tanpa menyadari bahwa mereka paranoid atas narasinya sendiri. Kasus penistaan yang dilakukan Ahok hanyalah titik tolak gerakan FPI, menjadi alasan mengapa ratusan ribu umat Islam Indonesia harus berkumpul di Monas.
Taliban berhasil membangun milisi kuat untuk mengusir Kafir Salibi AS dan melawan mereka sampai AS benar-benar menyerah. Laskar Jihad melalui Thalib berhasil memobilisasi umat Islam memerangi Kristen Maluku. Sedangkan FPI bermain dua kaki, yang intinya tetap mengatasnamakan perjuangan Islam. Di sinilah kesamaan ketiganya: sama-sama mengeksploitasi populasi umat, namun berbeda dalam satu aspek; trajektori ideologis.
Gerakan remang-remang kaum islamis di Indonesia disebabkan, paling tidak, dua faktor. Pertama, represi pemerintah melalui aparat kemanan. Indonesia cukup serius menangani teror, klimaks islamisme, yang membuat kaum radikal, hulu teroris, mengambil pelajaran untuk tidak melakukan kecerobohan yang sama. Kedua, ketidakbersatuan antarkelompok islamis. Masing-masing berjuang secara atomistis sehingga tidak pernah kuat.
Oleh karena tidak kuat, gerakan islamisme menjadi sporadis dan tidak signifikan. Belum lagi, serangan pencegahan tidak hanya datang dari apparat, tapi juga dari ormas Islam yang menarasikan wasathiyah Islam. Para islamis semakin terpojok dan takut maju, namun mereka juga tidak mungkin mundur karena itu sama halnya dengan mengkhianati ideologi. Laskar Jihad mati, FPI juga tewas. Lalu yang lain? Mereka bergerak di bawah tanah.
Hipokrisi dalam Berpolitik
Kemudian, pertanyaan terakhir dari masalah yang saya singgung di paragraf keempat adalah, apakah kekhawatiran terhadap islamisme di Indonesia merupakan perkara urgen atau tidak. Untuk menjawab ini, saya rasa perspektif ideologis-politis merupakan keharusan. Secara ideologis, islamis tidak akan pernah pudar. Taliban menjadi bukti konkret akan militansi ideologi yang mampu membuat AS menyerah setelah dua puluh tahun.
Namun, secara politis, Laskar Jihad dan FPI tidak bisa dipandang sebelah mata, karena kebijakan politik yang dinamis di satu sisi dan gerakan islamis yang fluktuatif di sisi lainnya. Boleh jadi pemerintahan hari ini secara eksklusi merepresi mereka, namun siapa yang menjamin kebijakan politik satu dekade ke depan setelah rezim berganti? Bagaimana jika islamisme tidak lagi jadi perhatian lalu mereka bergerak secara masif?
Hipokrisi politik Islam merupakan pengejawantahan tuntutan ideologi dan politik secara simultan. Laskar Jihad dan FPI sudah tidak ada lagi, namun bukan berarti gerakannya juga demikian. Ini sudah sering saya singgung, namun yang penting dicatat di sini adalah bahwa urgensitas bukan masalah yang mesti diperdebatkan. Penekanan yang seharusnya adalah pada kesadaran eksistensial bahwa sampai kapan pun, Islam politik akan selalu bergrilya.
Masalah besarnya ada pada eksploitasi yang mereka lakukan. Memobilisasi massa Muslim, memprovokasi mereka untuk bergerak, menciptakan militansi di benar setiap umat, dan menciptakan ketidakdamaian bekedok pembelaan agama merupakan celah yang wajib diatasi. Hipokrasi gerakan Islam politik boleh jadi tidak akan sirna, meski wujudnya di Indonesia tidak melulu Laskar Jihad atau pun FPI. Pasti, meski belum tahu pasti namanya.
Untuk melengkapi ulasan tersebut, saya akan melanjutkan bagaimana sepak terjang Taliban—sebagai personifikasi Islam politik—pada tulisan yang akan datang.
Wallhu A’lam bi ash-Shawab…