Perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin - HWMI.or.id

Sunday 29 August 2021

Perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin

Tulisan-tulisan Qutb yang bernada menghasut membuat dia di eksekusi pada tahun 1966. Memang sejak tahun 1954 banyak pemimpin Ikh­wa­nul Mus­li­min selain Qutb dijebloskan ke penjara oleh Nasser. 

Langkah represif pengu­a­sa Mesir ini membuat ba­nyak tokoh dan ang­go­ta Ikh­wa­nul Mus­li­min merasa tidak aman lagi tinggal di Mesir, dan Arab Saudi men­ja­di alternatif menarik. Di antara me­re­ka yang melarikan di­ri ke Arab Saudi adalah Said Ramadan yang termasuk salah seorang pendi­ri Rabithath al-‘Alam al-Islami. 

Said Ramadan —menantu Hasan al-Banna— kemudian pindah ke Jenewa dan membawa Ikh­wa­nul Mus­li­min ke Eropa dengan dukungan dana Wahabi un­tuk mengua­sai umat Islam Eropa agar men­ja­di pengikut ideo­lo­gi Wahabi-Ikh­wa­nul Mus­li­min. Tariq Ramadan putranya, cucu Hasan al-Banna melalui ibunya, sekarang adalah tokoh intelektual terkenal di Eropa.

Pada tahun 1960-an, Arab Saudi mengundang para tokoh Ikh­wa­nul Mus­li­min —termasuk di antaranya adalah adik kandung Sayyid Qutb, yaitu Mu­ham­mad Qutb— un­tuk menye­la­mat­kan diri ke Saudi. Mu­ham­mad Qutb kemudian men­ja­di dosen di King Abdulaziz University, Jedah, dan mengajar Osama bin Laden di antara murid lainnya. 

Sikap Saudi ini me­ru­pa­kan refleksi ketakutan pengu­a­sa Wahabi atas ge­rak­an Pan-Arabisme Gamal Abdel Nasser yang berdasarkan sosialis­me dan jelas me­ru­pa­kan an­cam­an terhadap dominasi ideo­lo­gis Wahabi-Saudi. De­ngan mengundang Ikh­wanul Mus­li­min, Saudi ingin sekali kayuh melampaui dua hingga tiga pulau. Pertama, Ikh­wa­nul Mus­li­min yang me­ru­pa­kan musuh Gamal Abdel Nasser bisa men­ja­di sekutu strategis melawan Pan Arabisme—So­sialis­me Nasser. 

Kedua, para ang­go­ta Ikh­wa­nul Musli­min yang terpelajar bisa membantu Saudi membangun dan memperkuat sistem pe­nye­bar­an Wahabi ke ne­ga­ra lain di Timur Tengah dan akhir­nya ke seluruh dunia (Wahabisasi global).

Pada dekade 60-an ini, perkawinan Wahabi-Ikh­wa­nul Mus­limin terjadi dan melahirkan keturunan ge­rak­an garis keras yang ba­nyak di seluruh dunia hingga dewasa ini. Keduanya berbagi fanatisme ideo­lo­gis, ambisi kekuasaan sentralistik, orien­ta­si in­ter­na­sional, dan for­ma­li­sa­si aga­ma. 

Wahabi sen­di­ri mempunyai dana besar —terutama setelah harga minyak melangit pada tahun 1973— namun kurang atau tidak terdidik, se­dang­kan Ikh­wa­nul Mus­li­min cukup terdidik namun tidak punya dana memadai. Kelak terlihat, perkawinan ini memang sa­ngat strategis dan darinya lahir ge­rak­an in­ter­na­sio­nal de­ngan ideo­lo­gi, sistem, dan dana yang kuat serta te­rus berkembang dan meluaskan di­ri ke seluruh dunia hingga dewasa ini.

Akhir 1970-an dan awal 1980-an me­ru­pa­kan suasana me­negang­kan bagi pengu­a­sa Saudi. Keberhasilan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, ditambah pemberontakan Juhayman al-Uteybi dan anak buahnya yang menduduki Masjidil Haram pada tahun yang sama, sudah cukup membuat pengu­a­sa Saudi sa­ngat terancam. Pada dekade ini Presiden Mesir, Anwar Sadat terbunuh; dan Uni Soviet mengua­sai Af­gha­nis­tan.

Pada dekade 1980-an proyek Wahabisasi global de­ngan dukungan dana (Saudi) dan sistem (Ikhwa­nul Mus­li­min) bergerak jauh le­bih cepat. Hal ini dilaksanakan melalui yayasan-yayasan Wahabi se­per­ti Rabithath al-‘Alam al-Islami, al-Haramain, International Islamic Relief Organization (IIRO), dan ba­nyak lainnya. Kelak al-Haramain ini men­ja­di terkenal saat PBB menyebutnya sebagai “terrorist-funding entity” yang mem­biayai aksi-aksi teror di ba­nyak belahan dunia, termasuk In­do­ne­sia.

Pe­rang Af­gha­nis­tan melawan Uni Soviet memikat ba­nyak anggo­ta garis keras dari seluruh dunia, termasuk pendi­ri Laskat Jihad, Ja‘far ‘Umar Thalib, dan be­be­ra­pa pelaku kampanye teror Jamaah Is­la­mi­yah, termasuk Hambali, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Bahkan, Jamaah Is­la­mi­yah —yang didi­rikan oleh mantan ang­go­ta Darul Islam, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir— punya kaitan erat de­ngan al-Qaedah melalui Hambali, yang sebelum ditangkap termasuk peng­u­rus inti al-Qaedah.

Secara struktural, para peng­u­rus inti al-Qaedah beretnik Arab dan berasal dari Timur Tengah kecuali Hambali. Hambali adalah komandan militer Jamaah Is­la­mi­yah yang berjuang untuk melenyapkan NKRI dan menggantinya de­ngan khi­la­fah in­ter­na­sional. 

Jamaah Is­la­mi­yah bertanggung jawab atas ba­nyak peledakan bom di In­do­ne­sia se­per­ti pemboman hotel Marriott, Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bandara Soekarno-Hatta, Bom Bali, pemboman di berba­gai gereja, dan usaha pembunuhan Duta Besar Filipina. Bahkan, bom di Masjid Istiqlal yang berskala kecil termasuk aksi JI se­ba­gai usaha menumbuhkan sentimen kea­ga­ma­an bah­wa ada se­rang­an terhadap Islam In­do­ne­sia.

Al-Qaedah adalah keturunan lain dari perkawinan Wahabi Ikh­wa­nul Mus­li­min, yang jelas terlihat dari ke­ha­dir­an para Wahabi-Saudi yang dipimpin Osama bin Laden (murid Mu­ham­mad Qutb) dan Ayman al-Zawahiri bersama para pengikutnya. Al-Zawahiri yang su­dah men­ja­di ang­go­ta Ikh­wa­nul Mus­li­min sejak berusia 14 tahun sa­ngat kuat dipe­nga­ruhi Sayyid Qutb, dan adalah pemimpin ke­dua al-Jihad —dikenal de­ngan nama Egyptian Islamic Jihad— yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat pada tahun 1981.

Sumber: Ilusi Negara Islam

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda