Tiga Aspek Kekerasan (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir) - HWMI.or.id

Sunday, 29 August 2021

Tiga Aspek Kekerasan (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir)


Tiga Aspek Kekerasan (Wahabi, Ikh­wa­nul Mus­limin, dan Hizbut Tahrir)

By Pena Santri

Ketiga ge­rak­an trans­na­sio­nal ini (Wahabi, Ikh­wa­nul Mus­limin, dan Hizbut Tahrir), hadir di In­do­ne­sia baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. De­ngan ideolo­ginya yang kaku, keras, dan ekstrem, didukung ke­kuat­an dana dan sistem penyusupan ala komunisme, ge­rak­an-gerak­an trans­na­sio­nal ini me­nyu­sup ke hampir semua bidang ke­hi­dup­an bang­sa In­do­ne­sia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam In­do­ne­sia yang umumnya santun dan toleran agar se­per­ti wajah mere­ka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak mengua­sai. Kekerasan yang me­re­ka lakukan bisa dilihat dalam be­be­ra­pa aspek.

Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemaham­an literal-tertutup atas teks-teks kea­ga­ma­an dan ha­nya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini, literalisme-tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas se­ja­rah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan-pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideo­lo­gi me­re­ka.

Kedua, kekerasan tra­di­si dan bu­da­ya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenar­an sepihak yang dijunjung tinggi membuat me­re­ka tidak mampu memahami ke­be­nar­an lain yang berbeda, dan praktik-praktik kea­ga­ma­an umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan/atau kafir. Kelompok-kelompok garis keras menolak eksistensi tra­disi, karena itu me­re­ka lazim menolak bermadzhab (allâ madzhabiyyah), menolak tra­di­si tasawuf, dan ber­ba­gai praktik yang me­ru­pa­kan buah dari komunikasi teks-teks atau a­jar­an luhur aga­ma de­ngan tradisi dan buda­ya umat Islam di ber­ba­gai daerah sepanjang se­ja­rah. Aki-batnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan a­jar­an Islam. De­ngan dalih meniru Kanjeng Nabi, para ang­go­ta garis keras ber­pa­kai­an ala busana Arab se­per­ti gamis dan sorban, memanjangkan jenggot, namun me­re­ka abai atas akhlak Kanjeng Nabi, se­per­ti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya.

Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasan pertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yang dituduh musyrik, murtad, dan/atau kafir. Kekerasan sosial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kege­li­sah­an sosial yang mengancam ne­ga­ra di manapun tempat me­reka menyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalah kaprahan dalam memahami Islam akibat jargon-jargon teolo­gis yang diteriakkan de­ngan tidak semestinya. Kebenar­an, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideo­lo­gis, bukan pada substansi pesan luhur aga­ma yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan.

Menurut seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan Repu­blik Indonesia (Dephan RI), an­cam­an terhadap In­do­ne­sia tidak datang dalam bentuk militer dari luar ne­ge­ri. An­cam­an yang sebe­nar­nya justru berada di dalam ne­ge­ri, dalam bentuk ge­rak­an ideo­lo­gi garis keras. Senjata un­tuk mengatasinya adalah Pancasila.

Referensi: Ilusi Negara Islam

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda