By Pena Santri
Ketiga gerakan transnasional ini (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir), hadir di Indonesia baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem, didukung kekuatan dana dan sistem penyusupan ala komunisme, gerakan-gerakan transnasional ini menyusup ke hampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dan toleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak menguasai. Kekerasan yang mereka lakukan bisa dilihat dalam beberapa aspek.
Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literal-tertutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini, literalisme-tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan-pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenaran sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda, dan praktik-praktik keagamaan umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan/atau kafir. Kelompok-kelompok garis keras menolak eksistensi tradisi, karena itu mereka lazim menolak bermadzhab (allâ madzhabiyyah), menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktik yang merupakan buah dari komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi dan budaya umat Islam di berbagai daerah sepanjang sejarah. Aki-batnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru Kanjeng Nabi, para anggota garis keras berpakaian ala busana Arab seperti gamis dan sorban, memanjangkan jenggot, namun mereka abai atas akhlak Kanjeng Nabi, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya.
Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasan pertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yang dituduh musyrik, murtad, dan/atau kafir. Kekerasan sosial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam negara di manapun tempat mereka menyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalah kaprahan dalam memahami Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan dengan tidak semestinya. Kebenaran, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideologis, bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan.
Menurut seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan Republik Indonesia (Dephan RI), ancaman terhadap Indonesia tidak datang dalam bentuk militer dari luar negeri. Ancaman yang sebenarnya justru berada di dalam negeri, dalam bentuk gerakan ideologi garis keras. Senjata untuk mengatasinya adalah Pancasila.
Referensi: Ilusi Negara Islam