Ilustrasi google |
Oleh Ayik Heriansyah
Amar ma'ruf nahi munkar suatu metode untuk menjaga kehidupan sosial politik agar tetap sesuai, selaras dan serasi dengan ajaran Islam. Amar ma'ruf nahi munkar bagian dari ajaran Islam. Siapa yang melaksanakannya mendapat ganjaran dari Allah swt. Oleh karena itu, agar diterima Allah swt amar ma'ruf nahi munkar harus benar dan baik sejak dari niat, tata cara sampai tujuan yang ingin dicapai.
Kata Habib Umar al-Hafidz "Dalam berdakwah lakukan dengan cara yang baik dan lemah lembut. Begitu pula dalam memberantas atau mencegah kemunkaran, nahi munkar juga mesti diakukan dengan cara yang ma'ruf pula. Bukan dengan cara yang munkar. Bukan dengan caci maki, dusta, khianat yang dengan cara tersebut berarti anda juga melakukan kemunkaran yang lain." https://www.nu.or.id/post/read/111454/habib-umar--amar-ma-ruf-nahi-munkar--lakukan-dengan-cara-ma-ruf-.
Sebelum melakukan amar ma'ruf nahi munkar, seseorang harus meluruskan dan membersihkan niatnya dari segala sesuatu selain Allah swt, maksudnya, seseorang harus berniat melakukan amar ma'ruf nahi munkar semata-mata karena perintah Allah swt, bukan yang lain.
Puncak dari amar ma'ruf nahi munkar adalah ditujukan kepada penguasa. Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as contoh terbaik dalam hal ini. Kedua Nabi as ini mendapat perintah dari Allah swt untuk mendatangi penguasa saat itu, Namrudz dan Fir'aun guna menyampaikan nasehat agar kembali kepada Allah swt.
Kedua Nabi as ini melakukannya dengan cara-cara yang baik. Bukan ingin mencela, mencaci maki, menghina, menurunkan kehormatan dan wibawa serta bukan pula mau menjatuhkan kekuasaan Namrudz dan Fir'aun. Mereka tidak diperintahkan untuk merebut kekuasaan Namrudz dan Fir'aun.
Amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan Nabi Musa as murni semata-mata karena perintah Allah swt. Tidak tersimpan motif makar di baliknya. Mereka Nabi Allah suri tauladan bagi para negarawan sejati. Melakukan amar ma'ruf nahi munkar tanpa ambisi menjadi penguasa.
Seorang negawaran sejati tidak mesti jadi penguasa. Bisa datang dari berbagai kalangan masyarakat. Mereka peduli terhadap kondisi negaranya, cermin dari suasana hatinya yang penuh kasih sayang berkat limpahan anugerah kasih sayang Allah swt.
Negarawan sejati dadanya lapang. Penuh harap akan rahmat Allah swt. Bagaimanapun terpuruknya negara, mereka tidak putus asa berusaha bangkit bersama. Dada mereka tidak sempit, jauh dari kebencian kepada penguasa. Karena mereka sadar, hanya Allah swt tempat bersandar, bukan amal mereka.
Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengawali hikmahnya di dalam kitab al-Hikam dengan untaian kalimat yang indah
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
“Di antara tanda-tanda bersandar kepada amal adalah berkurangnya rasa harap ketika terjadi kesalahan.”
Negarawan sejati tidak pernah melepas akad bai'at taat kepada pemimpin yang mereka pilih dan angkat. Mereka memilih tetap bersabar sampai Allah swt menurunkan pertolongannya.
Sebab, keluar dari ketaatan kepada pemerintah (menjadi khawarij), menuntut pemakzulan Presiden (makar) dan bertindak anarki (bughat), di antara bentuk-bentuk putus asa dari rahmat Allah swt. Walaupun dibungkus dengan istilah amar ma'ruf nahi munkar.