Menelisik Tuhan KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman - HWMI.or.id

Sunday 5 December 2021

Menelisik Tuhan KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman

Menelisik Tuhan KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman

Dikutip dari dakwahnu.id, Pernyataan Jenderal Dudung hangat diperbincangkan. Menggelinding bagai bola, digiring sesuai yang menggiringnya. Sudah bisa dipastikan terjadi pro dan kontra didalamnya.

Tadinya saya tidak mau ambil bagian dari kontroversi ini, hingga akhirnya ahad pagi, 5 Desember saya dapat WA diminta untuk menjelaskan persoalan tersebut. Bahkan dalam WA tersebut diminta untuk mensomasi sang jenderal atas nama institusi MUI.

Respon terhadap pernyataan sang jenderal dalam podcastnya Deddy Corbuzeir sebenarnya terbagi dalam 2 kategori. Politis dan Filosofis. Kita tahu gebrakan fenomenal sang jenderal saat menjabat Pangdam Jaya dengan menurunkan baliho salah satu ormas. Gebrakan ini memiliki dampak yang luar biasa. Meningkatkan kepercayaan moral yang tinggi bagi sebagian masyarakat sekaligus meruntuhkan moral bagi ormas yang balihonya diturunkan. Ini terbukti dengan efek berantai berikutnya, mulai dari pembubaran ormas tersebut hingga proses hukum pemimpinnya.

Tentu bagi simpatisan dan tokoh-tokoh ormas ini, keberadaan jenderal Dudung malapetaka. Maka, apapun yang dilakukan oleh sang jenderal akan selalu dicari celah kesalahannya. Bahkan harus diinterpretasi sebagai sebuah kesalahan.

Ada pula tokoh yang memang mengambil posisi berbeda dengan pemerintah. Pernyataan jenderal Dudung tidak perlu diklarifikasi substansinya, tapi langsung diposisikan sebuah kejanggalan dan kesalahan. Bahkan dianggap sebuah penistaan agama. Seperti bapak Anwar Abbas, Shamsi Ali, atau yang mengklaim sebagai dzurriyah mbah Maemon.

Ada juga yang memang menjadi penumpang setia setiap isu untuk mencari moment, menciptakan suasana keruh. Kasus jenderal Dudung tentu tidak akan terlewatkan. Kelompok ini kadang dari golongan pengasong khilafah tahririyah, eks HTI

Kelompok-kelompok diatas masuk kategori politis dalam arti perdebatannya tidak menyentuh substansi yang semestinya.

Sedangkan kelompok filosofis adalah kelompok yang memang berusaha membongkar wacana sang Jenderal dari aspek keilmuan. Tentu ini lebih obyektif dan tidak emosional. Untuk yang filosofis ini bisa dipetakan dalam dua hal dibawah ini.

Dalam kerangka filosofis, pernyataan Jenderal Dudung bisa dikategorikan sebagai ‘contradictio in terminus, suatu pertentangan dalam penggunaan istilah.

Sudah sangat mafhum dalam keseharian bangsa Indonesia, nilai keislaman seseorang diukur dengan kesalehan simbolik. Bahkan simbol yang dimaksud akan absah jika di ‘Arabkan’. Panggilan anda, kamu, engkau, anjen, njenengan akan kalah islami dengan panggilan antum. Saudara, saudari, sahabat, rekan tidak akan paralel dengan keislaman seseorang kalau belum dipanggil akhi, ukhti. Bahkan untuk meneguhkan keislaman seseorang, perlu laqob, kunyah dalam panggilannya. Kita bisa tidak mengenal lagibteman kecil yang bernama Asep, Ujang, Cecep, Sinyo, Kacong, karena sudah berubah menjadi Abu Dalwun, Abu Mighrofah, Abu Hammam dan lain-lain. Bahkan jubah, imamah, gamis menjadi tren keislaman simbolik.

Pada saat kondisi seperti ini, tetiba Jenderal Dudung menggebrak dengan komentar “saya berdoa dengan bahasa Indonesia”. Dan tentu yang digoreng adalah kalimat “Tuhan saya bukan orang Arab”

Penafsiran pun berbeda tatkala menyebut Tuhan berwujud “orang”. Bisa jadi penafsiran dari seseorang tentang “Tuhan kita bukan orang Arab” berarti Tuhan yang dipahami tidak seperti doktrin yang dipegung teguh dalam ideologi orang Arab. Selama ini, pemahaman tentang Tuhan ala waahabisme, salafiisme, atau kaum jihadis yang cenderung berpaham mujassimah, musyabbihah dimana keberadaan Tuhan dipersonifikasi layaknya mahluk. Bagi mujassimah dan musyabbihah, tuhan itu bertangan, berkaki, punya wajah, dan gogoleran di Arsy. Tentu akidah ini sangat bertentangan dengan akidah ahlussunnah wa jamaah.

Untuk itulah dalam komentarnya yang tidak banyak dirujuk oleh orang-orang yang mengkritik Jenderal Dudung adalah kalimat lanjutannya. Utuhnya :” Saya berdoa menggunakan bahasa Indonesia, karena tuhan kita bukan orang Arab, saya berdoa kepada Allah SWT”. Disitu jelas Jenderal Dudung secara eksplisit menyebut Allah SWT yang tentu Maha Paham Segala Bahasa dan bukan person.

Dalam kerangka teologis, meyakini Allah sama seperti mahluk adalah dosa. Sebab Allah tidak sama dengan mahluk. Allah sendiri menegaskan : ليس كمثله شيء . Yang dalam teologi Asy’ari ditegaskan dengan sifat : مخالفة للحوادث. Mempersonifikasi Allah dengan mahluk, atau menganggap sebagiannya saja menyerupai mahluk adalah sebuah kekafiran.

Tapi memvonis statemen dengan sebuah penestaan agama adalah kecerobohan. Mengapa? Ingat hadits shohih riwayat Imam Muslim, siapa yang memvonis orang lain kafir padahal yang divonis tidak memenuhi kreteria kafir, maka kekafiran itu kembali kepada si penuduh.

Tapi mengapa ada kata “orang” ketika menyebut nama Tuhan?

Jika yang dimaksud : Tuhan bukan jisim. Maka yang demikian sohih.

Dalam bahasa ada istilah metafora atau kinayah. Dengan kinayah, penyebutan atau penyandaran Tuhan dengan sesuatu tidak berarti menyamakan Tuhan dengan sesuatu. Contoh :” ketika menyebut Hamzah bin Abdil Mutholib sebagai ‘Asadullah atau singa Allah’ tidak berarti Allah dikelilingi singa, atau mahluk seperti singa. Ketika menyebut Kholid bin Walid dengan sebutan ‘Saifullah atau pedang Allah’ tidak berarti Allah butuh senjata.

Demikian juga ketika menyebut ‘Tuhan bukan orang’ tidak berarti menganggap Tuhan itu dari unsur orang. Apalagi jika ungkapan itu disertai i’tiqod tanzih dari sifat jisim.

Apakah ungkapan Jenderal Dudung disertai i’tiqod tanzih? Ya, karena dua sebab. 1), Sang Jenderal menegaskan bahwa Tuhan tempat ia menyampaikan doa adalah Allah SWT. 2), Konteks (siyaqul kalam) ungkapan sang jenderal adalah doa setelah sholat yang menggunakan bahasa Indonesia bukan bahasa Arab.

Karena Tuhan paham semua bahasa bukan hanya bahasanya orang Arab.

Apa yang disampaikan Jenderal Dudung dilihat dari sudut pandang kinayah, termasuk jenis kinayah ta’rid

Oleh : Khotimi Bahri

Waki Katib Syuriah PCNU, Wakil Ketua Umum Barisan Ksatria Nusantara-BKN, dan Komisi Fatwa MUI Kota Bogor

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda