Ilustrasi |
Wayang, Hukum Mubah dan Kekayaan Nusantara
oleh : Hamdan Suhaemi
Hampir sepekan jadi polemik, wayang telah menjadi target diharamkan oleh penceramah yang tidak punya kapasitas paham tentang hukum Islam ( Fiqih ), asal vonis haram dan bidngah, lalu urusan belakangan, tinggal minta maaf selesai sudah. Kenapa mereka asal ucap, seoalah agama representasi dari dirinya, karena mereka tidak dengan ilmu untuk paham agamanya, yang ada adalah hafal beberapa ayat dan hadits untuk disampaikan ke umat. Kebetulan umat disibukkan oleh dunianya masing-masing, urusan agama tinggal dengar yang ceramah. Situasi inilah target orang yang tidak paham agama merangseg untuk menyampaikan. Intinya membodohi umat dengan target opini terbentuk, apa itu. Yaitu menjauhkan sesuatu dari maknanya. Agar beragama hanya tampakan jenggot, cadar, sorban, jidat hitam dan celana cingkrang.
Mereka tidak mau tahu soal budaya, tidak peduli soal seni, tidak ingin mengenali falsafah hidup orang Nusantara, tidak ingin paham tradisi orang-orang pribumi. Sebab mereka pendatang yang tak tahu diri. Mereka ini makhluk yang dikirim oleh agen-agen Wahabi Salafi dari Timur Tengah, di saat yang bersamaan Kerajaan Arab Saudi tengah memasuki arus liberalisasi, kemodernan, dan kehidupan beragama yang moderat, meski konsisten menjaga prinsip dasar negara monarki, karena hal prinsipil yang tidak boleh diganggu. Makhluk-makhluk cetakan imigran ini disokong dana besar, dipola dan dikemas menjadi yang menarik. Hingga artis-artis hijrah menjadikan mereka anutan, atas nama hijrah ( entah hijrah kemana ).
Wayang, satu diantara ribuan budaya Nusantara lainnya yang populer, sebab digemari, sebab juga ditonton dan dinikmati falsafah hidup yang disampaikan oleh sang dalang. Meski wayang kulit tumbuh di pulau Jawa, tapi orang se-Indonesia mengenalinya sebagai kekayaan budaya Nusantara. Lalu apa hukum wayang, apa pula hukum pagelaran wayang.
Wayang itu dihukumi mubah, sebab tidak ada ketentuan ayat Al-Qur'an yang melarangnya, baik itu nash ayat atau dhohirnya. Dalam hadits pun tidak ada sabda Nabi S.a.w yang jelas melarang Wayang, baik manthuq ataupun mafhumnya, bahkan tidak ada pula hadits secara khitob mewajibkan adanya wayang. Dengan demikian kita perlu kembali ke kaidah " al-Ashlu fi al-asyya' al-Ibahah " ( asal dari sesuatu adalah kebolehan ) sebelum ada dalil yang mengharamkannya atau mewajibkan. Kenapa hukumnya boleh ( mubah ), karena tidak ada illat yang menunjukan haram, illat yang mengarah pada wajib, illat yang mengarah pada Sunnah. Ingat hukum bisa timbul ada setelah kebolehannya jika ada illatnya " laa hukma Illa bi illatin " ( tidak ada hukum kecuali dengan adanya illat ). Larangannya pun dikarenakan ada al-Mani'. Jadi jangan berani-berani menghukumi sesuatu jika tidak paham masailnya. Mengarah pada istidlal pun perlu proses bahasan. Intinya Wayang itu silahkan diramaikan sebagai hiburan sekaligus edukasi.
Sadar akan kekayaan budaya Nusantara, adalah keniscayaan untuk menjaga dan merawatnya. Hidup yang berarti adalah hidup dengan makna. Maka budaya selalu menyuguhkan makna-makna.
Carenang 20-2-22
Wakil Ketua PW GP Ansor
Ketua PW Rijalul Ansor Banten