PBB: 13 Juta Rakyat Yaman Terancam Kelaparan
Oleh: Fathoni Ahmad
Dikutip dari NU Online, Rakyat Yaman masih belum bisa terlepas dari ancaman kelaparan akibat konflik berkepanjangan dan perang saudara yang terjadi sejak 2014. Program Pangan PBB (WFP) mengungkapkan bahwa 40 persen populasi penduduk di Yaman telah bergantung pada pasokan makanan dari program pangan dunia.
Menurut Kepala Program Pangan PBB, David Beasley dilaporkan The Associated Press, pihaknya kini harus menanggung kebutuhan pangan untuk 13 juta rakyat nyaman yang kini terancam kelaparan. Kondisi ini berdampak pada situasi sulit WFP.
"Kami memberi makan 13 juta orang di negara berpenduduk 30 juta orang, dan kami kehabisan uang," kata Beasley, berbicara dari ibu kota Yaman, Sanaa, Februari 2022 lalu.
Beasley mengatakan agensinya terpaksa memotong jatah menjadi dua untuk 8 juta orang Yaman karena kekurangan dana.
"Kami mungkin akan memangkasnya menjadi nol. Apa yang kamu pikir akan terjadi? Orang-orang akan mati. Ini akan menjadi bencana besar," kata Beasley.
Menurut data PBB, sekitar 811 juta orang tidak memiliki cukup makanan di seluruh dunia dan diperkirakan 45 juta orang di 43 negara berisiko kelaparan. Beasley mengatakan WFP membutuhkan tambahan 9 miliar dolar untuk memenuhi meningkatnya permintaan bantuan pangan di seluruh dunia.
"Dengan kekayaan senilai $430 triliun (yang dimiliki konglomerat) di dunia saat ini, seharusnya tidak ada satu anak pun yang meninggal di mana pun di Bumi ini,” ungkap Beasley.
Sejak pandemi melanda, lebih banyak orang terancam kelaparan secara global, yang memberikan tekanan luar biasa pada WFP, kata Beasley. Saat ini, 285 juta orang di seluruh dunia menghadapi ancaman kelaparan, yang membuatnya lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan Yaman.
"Di Yaman, anak-anak dan keluarga-keluarga ini telah membayar harga yang cukup lama untuk perang yang mereka hadapi. Sudah waktunya perang berakhir. Saat ini yang saya lihat adalah anak-anak dan keluarga meminta makanan,” kata Beasley.
Yaman telah dilanda perang saudara sejak 2014, ketika pemberontak Houthi yang didukung Iran menguasai ibu kota Sanaa dan sebagian besar bagian utara negara itu, memaksa Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi melarikan diri ke selatan, lalu ke Arab Saudi.