Kiai Munasir Ali, Kisah dibalik pertarungan ter-brutal di Arena Muktamar NU 1994 - HWMI.or.id

Thursday 5 May 2022

Kiai Munasir Ali, Kisah dibalik pertarungan ter-brutal di Arena Muktamar NU 1994

KIAI MUNASIR ALI, KIAI KOMANDAN CONDROMOWO. (Kisah dibalik pertarungan ter-brutal di Arena Muktamar NU 1994)

Pada tahun 1994, PBNU menunjuk KH. Munasir Ali sebagai ketua panitia Muktamar NU di Cipasung. Walaupun usianya sudah tua, tetapi KH. Munasir Ali-lah yang dianggap memiliki pengalaman dalam beradu startegi dan perang melawan baik Jepang maupun Belanda.

Diceritakan oleh Habib, keponakan KH. Munasir Ali, tujuh hari sebelum Muktamar berlangsung, Habib ditugaskan oleh KH. Munasir berangkat terlebih dahulu. Ia disuruh menemui Ajengan KH. Ilyas Ruhiyat. Tanpa tahu maksud dan tujuannya apa. Ia hanya nurut saja diminta menemui pengasuh Pondok Cipasung itu.

Sampai di Pondok Cipasung, suasana sudah sepi. Para santri-santri sudah dipulangkan semua. Saat Habib bertemu dengan KH. Ilyas Ruhiyat dan memperkenalkan diri dari utusan KH. Munasir Ali, maka Habib diminta menempati suatu kamar khusus. 

Dan betapa kagetnya ia, sebab dikamarnya itu, telah berkumpul kiai-kiai sepuh seperti KH. Muslim Imam Puro atau yang masyhur dipanggil Mbah Liem.

Tengah malam, saat ia menikmati tidur lelahnya yang baru sampai dari perjalanan Mojokerto-Cipasung, ia dibangunkan oleh Mbah Liem. Ia diminta oleh Mbah Liem untuk ikut berkeliling melakukan riyadoh pada tempat yang akan dijadikan sebagai arena Muktamar. 

Ia merasakan kantuk yang luar biasa. Tetapi karena yang menyuruh Mbah Liem, maka ia pun terpaksa menurutinya. Dan sungguh ia baru sadar, ternyata tujuan dari KH. Munasir Ali mengutusnya berangkat terlebih dahulu adalah menemani Kiai Kiai sepuh untuk riyadoh selama tujuh hari berkeliling di arena Muktamar dengan bacaan bacaan tertentu.

Kenapa Kiai-Kiai sepuh sampai melakukan riyadoh yang begitu berat sebelum Muktamar di Cipasung itu? 

Ternyata sejarah mencatat, Muktamar di Cipasung, Muktamar yang sangat brutal dan penuh tipu muslihat. Terutama ambisi Presiden Suharto untuk mengganti posisi KH. Abdurahman Wahid sebagai Ketua PBNU berikutnya dengan calon yang didukungnya yakni Abu Hasan.

Orang-orang Suharto yang telah menyusup dan melakukan propaganda menyebarkan sejumlah agitasi dengan slogan ABG (Asal Bukan Gus Dur). 

Mereka mengemukakan kritik ‘pedas’ terhadap Gus Dur, yakni manajemen NU di bawah kepemimpinan Gus Dur dinilai lemah dan otokratik. 

Bahkan, menurut mereka, langkah Gus Dur yang kerap kali ‘berseberangan’ dengan pemerintah dianggap bukan hanya menyimpang dari khittah NU, tetapi juga bertentangan dengan kepentingan NU sendiri.

Sejumlah intel yang menyebar di seantero lokasi muktamar saling berseliweran, kendaraan lapis baja juga ikut mengelilingi arena Muktamar Cipasung. Beberapa dari mereka bahkan diketahui menyamar dengan seragam Banser. 

Dari berbagai sumber, sedikitnya, diketahui tentara yang berjaga di sekitar Cipasung berjumlah sampai 1500 personil dan 100 intel. Sebagian dari mereka diberi tugas untuk memonitor delegasi-delegasi daerah dan membantu memberikan pertimbangan-pertimbangan.

KH. Munasir Ali sendiri memperoleh terror dengan kedatangan seseorang yang tidak dikenalnya saat ia berada dalam kamar. Orang yang tidak dikenalnya itu memberikan cek untuk diisi berapapun jumlahnya tetapi dengan syarat KH. Munasir Ali bisa membuat scenario untuk menjegal Gus Dur menjadi Ketua PBNU. 

Melihat cek yang ditawarkan oleh orang yang tak dikenalnya itu, KH. Munasir Ali kemudian keluar dari kamarnya dan memanggil putranya, Rozy Munir. Seketika kembali ke kamarnya, ia sudah tidak mendapati orang asing itu. Kemudian KH. Munasir Ali menyobek-nyobek cek itu.

Pada hari dimana pembukaan berlangsung, KH. Munasir Ali selaku Ketua Panitia memberikan sambutan yang sangat fenomenal. Dihadapan Presiden Suharto dan peserta Muktamar, KH. Munasir Ali mengatakan,

“Saya ini betul-betul orang yang tak tahu diri, sebab diusia saya yang ke 70 tahun, saya masih berambisi menjadi Ketua panitia Muktamar, yang semestinya itu bagian anak muda. Karena ambisi saya itu maka proses regenerasi tersumbat. Padahal sudah selayaknya orang setua saya ini mengundurkan diri dari jabatan apapun dan menyerahkan pada yang muda karena lebih enerjik dan lebih berpengalaman, sementara saya ini sudah ketinggalan jaman”

Sambutan Ketua panitia itu mendapat sambutan gemuruh dari hadirin, sebab hadirin tahu bahwa KH. Munasir Ali sedang menyindir Presiden Soeharto yang hadir dalam Muktamar itu. 

Presiden Suharto kala itu masih sangat ambisius mempertahankan jabatannya sebagai Presiden. Padahal ia sudah tua dan lama memegang jabatan. Potensi potensi anak muda dalam NU pun hendak dibabatnya pula. 

Gus Dur yang mewakili generasi muda di tubuh NU, hendak pula diberangus dengan digantikan oleh Abu Hasan yang tua dan harusnya memberi tempat pada generasi muda untuk berkiprah mengembangkan organisasinya.

Pada akhirnya Muktamar berjalan sukses. Gus Dur memperoleh 174 suara, sementara Abu Hasan, sang boneka Presiden Suharto, hanya mendapatkan 142 suara. Ini membuktikan bahwa NU tidak bisa didekte. NU tidak bisa pula diadu domba atau diacak-acak. 

Selain factor hasil olah batin, tentu strategi yang jitu juga menjadi penentu. Dan KH. Munasir Ali adalah ahli territorial yang paling mumpuni. Yang telah diasahnya dari perjalana hidupnya yang penuh liku dan terjal.

Sumber : NU Teluk Pucung Bekasi 

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda