Banyak yang tidak terima ketika saya bilang bahwa Syaikh Ibnu Taymiyah seorang mujassim. Saya memaklumi itu sebab dulu saya juga meyakini beliau bukan mujassim. Tapi seiring waktu Allah memudahkan saya untuk mempelajari langsung karya-karya beliau sendiri dan memahami puzzle yang berserakan dalam redaksi yang beliau pilih. Akhirnya demi kejujuran ilmiah saya harus tegas mengatakan bahwa beliau seorang mujassim. Sayang sekali dan sungguh saya berharap kesimpulan saya salah, tapi bagaimana lagi ketika data bicara sebaliknya.
Dalam bahasan akademik, data itu dibagi menjadi dua, yakni: Data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama yang menjadi sumber pertama sebuah kajian, dalam hal ini adalah buku-buku karya tulis Syaikh Ibnu Taymiyah sendiri. Data sekunder adalah data hasil pembacaan orang lain terhadap tema yang dikaji, dalam hal ini adalah komentar para tokoh tentang Ibnu Taymiyah. Dalam dunia akademik, data sekunder itu levelnya rendah dan tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk dijadikan dalil sebab ia tak lebih dari sekedar taklid.
Saya membahas Ibnu Taymiyah berdasar data primer. Itulah level saya. Sedangkan yang keberatan hingga detik ini hanya mampu memakai data sekunder dengan menukil Syaikh fulan dan fulan. Ada yang membuat artikel untuk menetapkan bahwa Syaikh Ibnu Taymiyah bukan mujassim dengan cara menukil tujuh atau delapan tokoh ulama yang menyatakan bahwa beliau bukan mujassim. Bukannya sombong, kalau mau saya mampu menukil belasan atau bahkan puluhan nama yang mengatakan bahwa beliau bukan mujassim. Seperti halnya saya juga bisa menukil beberapa tokoh yang menyatakan bahwa beliau terpapar tajsim. Tapi nukilan semacam itu semua hanyalah data sekunder, derajatnya rendah secara ilmiah.
Ketika tokoh A bilang dia tidak berakidah tajsim lalu tokoh B bilang ucapannya jelas tajsim, lalu siapa yang mau kita benarkan? Percuma menukil ucapan orang lain yang saling bertentangan sebab itu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang dapat dilakukan hanyalah merujuk pada data primer yang ada di hadapan kita lalu kita nilai sendiri. Dalam kaidah disebutkan bahwa orang yang tahu didahulukan dari yang tidak tahu.
Bila semua nama dibuang dan kita diminta menilai secara objektif terhadap orang yang bilang bahwa Dzat Allah punya bagian-bagian yang berbeda, ada bagian sebelah sini dan ada yang sebelah sana, ada bobotnya sehingga terasa berat, bisa disentuh sebagiannya, bisa terlihat sebagiannya serta menyatakan tajsim tidak tercela bahkan mengarang buku khusus yang berisi bantahan terhadap ulama yang menyucikan Allah dari sifat jismiyah, maka mau kita sebut apa orang ini? Silakan dijawab.
Sebagian data yang saya maksud sudah saya tulis di buku saya yang berjudul "Kerancuan akidah Wahabi", silakan dibaca di sana dan silakan dibantah bila bisa. Catat, yang di buku itu hanya sebagian saja. Saya ucapkan terima kasih bila ada yang mampu mematahkan temuan saya dan saya akan bahagia sekali mengumumkan bahwa saya salah dan bahwa ternyata Ibnu Taymiyah bukan mujassim. Tentu kita patut bahagia ketika tokoh yang diidolakan orang banyak ternyata memang di jalur yang benar. Tapi kalau hanya membantah saya dengan data sekunder, maka maaf kalau harus saya katakan bahwa kita tidak berada di level yang sama.
- Gus AWA -