Mengusap Wajah Setelah Salam, Betulkah Bidah? - HWMI.or.id

Wednesday, 3 August 2022

Mengusap Wajah Setelah Salam, Betulkah Bidah?

Sejak di pondok saya mempelajari kitab Fikih Syafi'i tentang salat belum menjumpai sunah haiat mengusap wajah setelah salam. Jadi meme di bawah ini bagi saya terjadi sekitar 25 tahun lalu. 
Mengusap wajah setelah salam ada dua macam:

1. Mengusap Karena Ada Bekas Tanah Di Kening

ﻋﻦ ﺑﺮﻳﺪﺓ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻗﺎﻝ: " «ﺛﻼﺙ ﻣﻦ اﻟﺠﻔﺎء: ﺃﻥ ﻳﺒﻮﻝ اﻟﺮﺟﻞ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ، ﺃﻭ ﻳﻤﺴﺢ ﺟﺒﻬﺘﻪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﻓﺮﻍ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ، ﺃﻭ ﻳﻨﻔﺦ ﻓﻲ ﺳﺠﻮﺩﻩ» ".

ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺰاﺭ ﻭاﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ ﻓﻲ اﻷﻭﺳﻂ ﻭﺭﺟﺎﻝ اﻟﺒﺰاﺭ ﺭﺟﺎﻝ اﻟﺼﺤﻴﺢ.

Dari Buraidah bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda: "Tiga hal yang tidak baik, kencing berdiri, mengusap dahi sebelum selesai salat dan meniup tempat sujud" (HR Al-Bazzar dan Thabrani. Para perawi Al-Bazzar adalah perawi sahih)

Namun mengusap kening atau wajah setelah salat tidak sampai dilarang sebagaimana disampaikan oleh Syekh Ibnu Rajab Al-Hambali:

ﻭﺭﻭﻯ اﻟﻤﻴﻤﻮﻧﻲ، ﻋﻦ ﺃﺣﻤﺪ، ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ اﺫا ﻓﺮﻍ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ ﻣﺴﺢ ﺟﺒﻴﻨﻪ.

Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hambal jika selesai salat beliau mengusap keningnya (Fathul Bari, 3/360)

Ada pula ulama hadis yang memakruhkan seperti Imam An-Nasa'i yang menulis Bab:

باب ترك مسح الوجه بعد التسليم

"Bab tidak mengusap wajah setelah salam." An-Nasa'i kemudian menyampaikan hadis bahwa setelah salam masih terlihat bekas kerikil dan air di kening Nabi. Sebab zaman Nabi kalau salat langsung ke tanah.

Tapi para ulama ahli hadis tidak menyebut bidah.

2. Mengusap Wajah Sambil Berdoa

ﻭَﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲِ ﺑْﻦِ ﻣَﺎﻟِﻚٍ: «ﺃَﻥَّ اﻟﻨَّﺒِﻲَّ - ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَا ﺻَﻠَّﻰ ﻭَﻓَﺮَﻍَ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻣَﺴَﺢَ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻭَﻗَﺎﻝَ: " ﺑِﺴْﻢِ اﻟﻠَّﻪِ اﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ اﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ اﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ، اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ» ".

Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam setelah selesai dari shalat maka beliau mengusap kepala dengan tangan kanan dan berdoa: "Dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Allah, maha Rahman dan Rahim. Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku"

ﻭَﻓِﻲ ﺭِﻭَاﻳَﺔٍ: «ﻣَﺴَﺢَ ﺟَﺒْﻬَﺘَﻪُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ اﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻓِﻴﻬَﺎ: " اﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺫْﻫِﺐْ ﻋَﻨِّﻲ اﻟْﻬَﻢَّ ﻭَاﻟْﺤَﺰَﻥَ».

Dalam riwayat lain Nabi mengusap kening/ dahi dan berdoa: "Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku"

Terkait status hadis ini berikut penilaian Al-Hafidz Al-Haitsami:

ﺭَﻭَاﻩُ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲُّ ﻓِﻲ اﻷَْﻭْﺳَﻂِ، ﻭَاﻟْﺒَﺰَّاﺭُ ﺑِﻨَﺤْﻮِﻩِ ﺑِﺄَﺳَﺎﻧِﻴﺪَ، ﻭَﻓِﻴﻪِ ﺯَﻳْﺪٌ اﻟْﻌَﻤِّﻲُّ، ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺛَّﻘَﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻭَاﺣِﺪٍ، ﻭَﺿَﻌَّﻔَﻪُ اﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭُ، ﻭَﺑَﻘِﻴَّﺔُ ﺭِﺟَﺎﻝِ ﺃَﺣَﺪِ ﺇِﺳْﻨَﺎﺩَﻱِ اﻟﻄَّﺒَﺮَاﻧِﻲِّ ﺛِﻘَﺎﺕٌ، ﻭَﻓِﻲ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﺧِﻼَﻑٌ.

HR Thabrani dan Bazzar dengan beberapa sanad. Di dalamnya ada Zaid Al-Ammi, lebih dari 1 ulama menilai terpercaya dan kebanyakan ulama menilai dhaif. Perawi lain dari 2 sanad Thabrani adalah terpercaya, sebagiannya diperselisihkan. (Majma' Az-Zawaid)

Sementara bagi ahli hadisnya Salafi, Syekh Albani, hadis-hadis di atas nilai sangat dhaif semua. Kecuali satu riwayat berikut yang masuk kategori daif yang masih boleh diamalkan:

(ﻛﺎﻥ ﺇﺫا اﻧﺼﺮﻑ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ ﻣﺴﺢ ﺟﺒﻬﺘﻪ ﺑﻴﺪﻩ اﻟﻴﻤﻨﻰ ﻭﻗﺎﻝ: ﺑﺎﺳﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﻫﻮ ﻋﺎﻟﻢ اﻟﻐﻴﺐ ﻭاﻟﺸﻬﺎﺩﺓ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ، اﻟﻠﻬﻢ! ﺃﺫﻫﺐ ﻋﻨﻲ اﻟﻬﻢ ﻭاﻟﺤﺰﻥ) .

Jika Nabi selesai salat maka mengusap keningnya dengan tangan kanan dan berdoa: "Dengan nama Allah, yang tiada Tuhan selain Allah, yang maha tahu alam gaib dan alam nyata. Maha pengasih dan penyayang. Ya Allah hilangkan susah dan sedih dariku"

Syekh Albani mengatakan:

ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺃﺳﻠﻢ اﻟﻮاﺳﻄﻲ ﻓﻲ "ﺗﺎﺭﻳﺨﻪ"

Hadis riwayat Aslam Al-Wasithi dalam Tarikhnya

ﻗﻠﺖ: ﻭﻫﺬا ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺿﻌﻴﻒ ﻣﺮﺳﻞ، ﻭﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ اﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻓﻤﻦ ﺩﻭﻧﻬﻢ، ﻭﻟﻢ ﺃﻋﺮﻑ ﻫﺬا ﻣﻦ ﺑﻴﻨﻬﻢ.

Sanadnya daif secara Mursal. Amr bin Qais mengumpulkan dari Tabiin dan sesudahnya. Saya tidak tahu ini dari mereka

ﻭﻋﻨﺒﺴﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻮاﺳﻄﻲ؛ ﻟﻢ ﺃﺟﺪﻩ.

Anbasah bin Abdul Wasithi, saya tidak mengetahuinya (Silsilah Dhaifah, 8/378)

Pada intinya mengusap wajah setelah salam boleh saja terlebih jika disertai dengan membaca doa tersebut, sebagaimana hadis ini disampaikan oleh Imam Nawawi di kitab Al-Adzkar 1/73.

- KH. Ma'ruf Khozin -

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda