Einstein adalah orang hebat dan sangat berjasa bagi manusia, tapi sayang kita harus jujur mengatakan bahwa akidahnya sesat sebab bukan muslim. Syaikh Az-Zamakhsyari juga pakar bahasa hebat hingga kitab tafsirnya menjadi rujukan sepanjang masa, tapi sayang akidahnya sesat sebab dia seorang Muktazilah.
Sama seperti itu kita mestinya memandang Syaikh Ibnu Taymiyah, beliau orang hebat dan berjasa tapi sayang akidahnya sesat sebab dia seorang mujassim. Tidak perlu kaget dan baper sebab yang perlu dilakukan oleh penuntut ilmu hanya jujur dan objektif saja.
Bukti kemujassimannya banyak, tapi saya hanya perlu menukil satu bukti saja untuk mengungkap fakta ini. Ketika Imam Fakhruddin ar-Razi membuat kitab pedoman tanzih (penyucian Allah dari segala keserupaan dan ketidaklayakan), Syaikh Ibnu Taymiyah malah membuat kitab bantahannya yang berarti dia menolak paham tanzih yang diajarkan oleh imam Ahlussunah wal Jamaah tersebut.
Dalam salah satu halamannya, dia membahas tentang definisi jisim yang dimaksud oleh Imam Ar-Razi yang berarti sesuatu yang besar dan mempunyai sisi-sisi yang berbeda, seperti matahari misalnya, semua sepakat bahwa matahari adalah jisim sebab mempunyai sisi-sisi yang berbeda. Dia berkata:
وإن قال أريد بالمنقسم أن ما في هذه الجهة منه غير ما في هذه الجهة كما نقول إن الشمس منقسمة يعني أن حاجبها الأيمن غير حاجبها الأيسر والفلك منقسم بمعنى أن ناحية القطب الشمالي غير ناحية القطب الجنوبي وهذا هو الذي أراده فهذا مما يتنازع الناس فيه
“Apabila yang dimaksud dengan 'terbagi-bagi' adalah apa yang ada di sisi sebelah sini dari sesuatu bukanlah apa yang ada di sisi lainnya, sebagaimana kita berkata bahwa Matahari terbagi-bagi dalam arti permukaan yang sebelah kanan bukanlah permukaan sebelah kiri, dan bahwa gugusan bintang terbagi dalam arti bahwa sisi poros utara bukanlah yang ada di poros selatan, DAN INI YANG AR-RAZI MAKSUDKAN, maka ini termasuk makna yang diperselisihkan orang-orang” (Syekh Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîsil Jahmiyah fî Ta’sîs Bida‘ihim al-Kalamiyah, 3: 440).
Definisi jisim yang disepakati sebagai kesesatan bila disematkan pada Dzat Allah tersebut malah dinarasikan seolah masih diperdebatkan, ini bentuk ketidakjujuran yang nyata sebab semua Ahlussunah sepakat bahwa makna jisim ini sesat, bahkan ahli bid'ah yang meyakini seperti itu pun takut untuk blak-blakan mengakuinya saking buruknya keyakinan ini.
Hanya saja benar bahwa ada satu pihak yang tidak menganggap penjisiman Allah semacam ini sesat dan masih memperdebatkannya dengan Ahlussunah, yakni mujassimah sendiri tentunya. Merekalah yang tampaknya dimaksud oleh Syaikh Ibnu Taymiyah sebagai orang yang memperdebatkan hal itu.
Perlu diingat, Syaikh Ibnu Taymiyah dan Imam Ar-Razi berbicara tentang definisi yang sama persis sehingga tidak ada kesalahpahaman atau perbedaan sudut pandang di sini.
Kemudian lebih tegas lagi, Syaikh Ibnu Taymiyah menyatakan pendapatnya sendiri secara gamblang sebagai berikut:
فيقال له قولك إن كان منقسمًا كان مركبًا وقد تقدم إبطاله وتقدم الجواب عن هذا الذي سميته مركبًا وتبين أنه لا حجة أصلاً على امتناع ذلك بل تبين أن إحالة ذلك تقتضي إبطال كل موجود ولولا أنه أحال على ما تقدم لما أحلنا عليه وتقدم بيان ما في لفظ التركيب والحيز والغير والافتقار من الإجمال وان المعنى الذي يقصدونه بذلك يجب أن يتصف به كل موجود سواء كان واجبًا أو ممكنًا
“Maka dijawab pada ar-Razi: Ucapanmu bahwa bila Allah terbagi-bagi berarti tersusun, dan hal ini sudah dibahas kesalahannya dan telah lalu jawaban dari apa yang engkau sebut sebagai tersusun itu. Dan, telah jelas bahwasanya TIDAK ADA ALASAN SAMA SEKALI UNTUK MENOLAK KETERSUSUNAN ITU. BAHKAN JELAS BAHWA MEMUSTAHILKAN HAL ITU BERKONSEKUENSI MENIADAKAN SEMUA WUJUD.
Andai ia tak menyebutnya sebelumnya, tentu kami tidak menyinggungnya. Telah diterangkan sebelumnya tentang kata tarkib (penyusunan), haiz (batasan diri), ghair (perbedaan), dan iftiqar (butuh) yang masih global dan bahwasanya MAKNA YANG MEREKA MAKSUD DARINYA PASTI DISIFATI OLEH SELURUH YANG ADA, BAIK ITU DZAT YANG PASTI ADA (ALLAH ) atau Dzat yang bisa ada dan bisa tidak ada (makhluk).”
(Syekh Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîsil Jahmiyah fî Ta’sîs Bida‘ihim al-Kalamiyah, 3: 440).
Pernyataan di atas jelas dan tak mungkin ditafsirkan macam-macam lagi. Bagi Ibnu Taymiyah, Allah itu tersusun dari bagian-bagian yang berbeda dalam arti Dzatnya punya sisi sebelah sini dan sisi sebelah situ. Baginya, kalau tidak begitu maka artinya tidak wujud.
Siapa yang telah membaca bukti ini dan masih mampu mengatakan bahwa Ibnu Taymiyah bukan mujassim, maka silakan buat bantahan dan buktikan bahwa kesimpulan di atas salah. Namun tampaknya itu tidak mungkin terjadi sebab tajsimnya terlalu jelas.
Sekali lagi, kita tak menafikan kehebatan Ibnu Taymiyah dan jasa-jasanya, tapi kita juga tak boleh menutup mata bahwa beliau seorang mujassim yang membela ajaran tajsim mati-matian dengan berbagai argumen pseudo rasional dan klaim-klaim. Akademisi boleh saja salah, tapi tidak boleh bohong.
- Gus AWA -