Penyimpangan Akidah Firqah Mujassimah - HWMI.or.id

Tuesday 19 September 2023

Penyimpangan Akidah Firqah Mujassimah


Akidah Firqah Mujassimah yang mengatakan Kalam Allah dengan huruf dan suara maupun bahasa maka secara tidak langsung mereka mengingkari Kalam Allah BERBEDA atau TIDAK SERUPA dengan kalam makhluk. 

Akidah Firqah Mujassimah yakni orang-orang yang mengatakan danmeyakini kalam Allah bukan makhluk adalah dengan huruf dan suara maupun bahasa merupakan akidah yang sesat dan menyesatkan karena secara tidak langsung mereka mengingkari kalam allah berbeda atau tidak serupa dengan kalam makhluk.

Allah Ta'ala berbeda atau tidak serupa dari makhluk-nya dari sisi apapunsebagaimana firman Allah Ta'ala "Laisa Kamitslihi Syaiun" (QS. Asy Syura [42] : 11).

Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Sedangkan Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Pengertian Al Qur'an itu Kalamullah bukan Makhluk adalah mengacu pada al-Kalam adz-Dzati yakni sifat kalam Allah yang qadim/kekal yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.

Sifat kalam Allah yakni al-Kalam adz-Dzati adalah qadim, tidak terpengaruh ruang dan waktu, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk. 

Sedangkan huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk dan terpengaruh atau diliputi oleh ruang dan waktu. Imam Abu Hanifah (W 150 H) mengatakan,

ونحن نتكلم بالآلات والحروف والله تعالى يتكلم بلا ءالة ولا حروف والحروف مخلوقة وكلام الله تعالى غير مخلوق

“Kami berbicara dengan alat dan huruf sedangkan Allah Ta’ala berbicara tanpa alat dan huruf, sedangkan huruf itu makhluk dan kalamullah bukanlah makhluk “. (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Akbar,al-Washiyyah, al-Alim w al-Muta’allim dan lainnya) 

Al-Imam al-Isfiraini (W 418 H) mengatakan,

وأن تعلم أن كلام الله تعالى ليسى بحرف ولا صوت لأن الحرف والصوت يتضمنان جواز التقدم والتأخر، وذلك مستحيل على القديم سبحانه

“Dan hendaknya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya kalam Allah itu tidaklah dengan huruf dan suara karena huruf dan suara mengandung bolehnya pendahuluan dan pengakhiran, yang demikian itu mustahil bagi Allah yang Maha Qadim “. (at-Tafsir fiddin : 102) 

allah ta'ala berfirman dalam surat az-zukhruf [43] ayat 3 dan 4 bahwa al qur'an dalam bahasa arab dalam induk al-kitab (lauh mahfuzh) dan tentulah bahasa arab dan induk al-kitab (lauh mahfuzh) adalah makhluk !!!

Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya (bacaan) Al-Qur’an (dalam bahasa Arab) itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 3-4) 

Begitupula Kalam al-Lafdzi (al-Lafzh al-Munazzal) yakni bacaan Al-Qur’an dalam bahasa Arab dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan, yang ditulis dengan tinta di antara lebaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru’ Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur) yang tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca maka tentulah huruf, suara maupun bahasa adalah makhluk.

Pokok permasalahan fiirqah mujassimah adalah mereka belum dapat membedakan antara), al qur'an itu kalamullah bukan Makhluk yakni Sifat kalam Allah yang qadim / kekal (al-Kalam adz-Dzati) yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa, DENGAN Bacaan Al Qur’an (al-Lafzh al-Munazzal) dalam bahasa Arab. 

Kalam Allah dengan berbagai bahasa, seperti BAHASA NON-Arab yang diterima oleh nabi-nabi Bani Israil dan Al Qur'an, kalam Allah dalam BAHASA ARAB yang diterima oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah IBARAT atau SIMBOL daripada al-Kalam adz-Dzati yakni sifat kalam Allah yang qadim / kekal yang bukan huruf-huruf, bukan suara dan bukan bahasa SUPAYA dapat DIPAHAMI oleh ciptaanNya.

Jika tidak dibedakan, lalu apakah setiap orang yang mendengarbacaan al-Qur’an akan mendapatkan gelar “Kalimullah” sebagaimana Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapat gelar “Kalimullah”. 

Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Padahal, Nabi Musa mendapat gelar “Kalimullah” adalah karena beliau pernah mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa. 

Seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur’an mendapat gelar “Kalimullah” seperti gelar Nabi Musa alaihi salam maka berarti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa alaihi salam yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah” tersebut. 

Begitupula dalam al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah”. (QS. at-Taubah [9] : 6). 

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan darinya. 

Artinya, Orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga ia mendengar Kalam Allah. 

Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata ia tidak mau masuk Islam, maka ia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya. 

Dalam ayat ini, yang dimaksud bahwa orang musyrik tersebut “mendengar Kalam Allah” adalah mendengar bacaan kitab al-Qur’an yang berupa lafazh-lafazh dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. 

Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka berarti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar “Kalimullah”. 

Dan bila demikian maka berarti orang musyrik tersebut juga mendapatkan gelar “Kalimullah”, persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.

Begitupula Allah Ta'ala berfirman: “Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82). 

Makna ayat ini bukan berarti bahwa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun”, dengan huruf “Kaf” dan “Nun” yang artinya “Jadilah…!”. 

Karena seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata “Kun”, maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: “kun, kun, kun…”. 

Hal ini tentu mustahil atas Allah. Karena sesungguhnya dalam waktu yang sesaat saja bagi kita, Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlanya. 

Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi’il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan “di masa lampau”, “di masa sekarang”, atau “di masa mendatang”. Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. 

Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka berarti sebelum Allah menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, karena Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah. 

Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 diatas adalah sebagai ungkapan bahwa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahwa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Ia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Ia kehendakinya. 

Begitupula kelak, Allah Ta'ala akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah Ta'ala akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. 

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yakni pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. 

Mereka akan memahami dari kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah, Rasulullah bersabda: “setiaporang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada PENTERJEMAH antara dia dengan Allah”. (HR. Bukhari 6058 atau Fathul Bari 6539, 6540)

Jadi kelak ketika dihisab, mereka akan memahami kalam allah bukan huruf dan suara sehingga tidak diperlukan penterjemah dan tidak dipengaruhi dimensi ruang dan waktu. 

Allah Azza wa Jalla akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat sebagaimana firmanNya yang artinya “dan Dia Allah yang menghisab paling cepat (QS Al An’am [6]:62] 

Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa, maka Allah akan membutuhkan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, karena makhluk Allah sangat banyak. 

Jelaslah seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah akan membutuhkan kepada waktu yang sangat panjang. Karena dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas membutuhkan kepada waktu. 

Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan bila demikian maka maka berarti Allah bukan sebagai Asra’ al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tapi sebaliknya; Abtha’ al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah. 

para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa sifat kalam allah serupa dengan sifat maha melihat, maha mendengar, maha kuasa adalah sifat dzatiyah bukan sifat fi'liyah.

Contohnya Imam Abu Hanifah (W 150H) dalam kitab Al Fiqhul Akbar hal. 16 mengatakan 

اﻣﺎ اﻟﺬاﺗﻴﺔ ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ ﻭاﻟﻌﻠﻢ ﻭاﻟﻜﻼﻡ ﻭاﻟﺴﻤﻊ ﻭاﻟﺒﺼﺮ ﻭاﻻﺭاﺩﺓ 

Adapun sifat DZATIYAH diantaranya : Hidup, kuasa, ilmu, KALAM, mendengar, melihat dan berkehendak. 

Sifat Kalam Allah adalah sifat dzatiyah yakni tidak terkait ruang dan waktu. 

Imam Ahmad bin Hanbal (W 241H) terkait sifat Kalam Allah berkata, 

ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﻥ ﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻛﻼﻣﺎ ﻫﻮ ﺑﻪ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﺻﻔﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺫاﺗﻪ 

Sesungguhnya Allah azza wa jalla memiliki SIFAT KALAM. Dia dengan sifat itu adalah yang berkalam dan yang demikian adalah SIFAT bagi-Nya di dalam Dzat Nya. (al-Khallal, al-‘Aqîdah, 105). 

Imam Ahmad bin Hanbal di atas menjelaskan bahwa sifat Kalam Allah adalah

صفة لَهُ فِي ذَاته

SIFAT bagi-Nya dalam Dzat-Nya atau Sifat DZATIYAH. 

Sifat DZATIYAH adalah QADIM yakni tidak berlaku zaman atau tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu 

Para ulama menjelaskan bahwa 

الصفات الذاتية هي التي لم يزل ولا يزال متصفاً بها 

Sifat DZATIYAH adalah sifat yang MELEKAT atau TIDAK TERPISAH dari diri-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan. 

Sedangkan sifat FI'LIYAH adalah sifat yang dinisbatkan pada Allah Ta'ala tetapi ia MELEKAT pada MAKHLUK dalam arti PERUBAHAN terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah Ta'ala. 

Para ulama menjelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan antara sifat DZATIYAH dan sifat FI'LIYAH adalah kelazimannya. 

Dikatakan sifat DZATIYAH itu jika melazimkan Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawannya. 

Contoh sifat DZATIYAH hayyun (hidup), lawannya adalah mati, maka Allah tidak boleh disifati dengan sifat mati. 

Dikatakan sifat FI'LIYAH itu jika melazimkan Allah boleh disifati dengan lawannya, Contoh sifat FI'LIYAH Allah menghidupkan mahluk, lawannya adalah mematikan mahluk. Allah boleh dikatakan mematikan mahluk. Maka menghidupkan mahluk adalah sifat FI'LIYAH. 

Begitupula sifat kalam Allah adalah sifat DZATIYAH bukan FI'LIYAH karena Allah tidak boleh disifati dengan sifat lawan dari kalam (berbicara), yaitu As Sukut (DIAM dari BICARA)

Imam Abu Al Hasan Al Asy'ari berkata di dalam kitab Al Ibanah hal 66 juz 1 : 

ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﺃﻥ ﻳﻮﺻﻒ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻜﻼﻡ ﻣﻦ اﻟﺴﻜﻮﺕ ﻭاﻵﻓﺎﺕ، 

MUSTAHIL Rabb kita disifati dengan sifat yang menyalahi kalam seperti DIAM dari BICARA dan penyakit bisu. 

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam fatwa nomor 09 tahun 2014 dalam bidang aqidah poin C menetapkan, 

C. Mengimani bahwa kalamullah itu berhuruf dan bersuara adalah sesat dan menyesatkan 

Fatwa tersebut dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/02/fatwa-mpu-aceh-nomor-9-tahun-2014-tentang-pemahaman-pemikiran-pengamalan-dan-penyiaran-agama-islam-di-aceh.pdf

KERUSAKAN dalam perkara I'TIQOD atau AKIDAH yang terjadi pada zaman NOW (sekarang) salah satu penyebabnya adalah karena masih ada saja yang meneruskan dan menyebarluaskan akidah ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang mana Beliau sendiri sudah bertaubat dan bahkan mereka mengingkari pertaubatan Ibnu Taimiyah.

Contohnya ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebelum bertaubat berkata dan meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara dan Allah KADANG BERBICARA dan KADANG DIAM. (lihat Risalah fi Shifat al-Kalam 51, 54, Majmu’ al-Fatawa 6/160, 234, 5/556-557).

Apakah Al Qur'an dengan ayat terakhir dalam bahasa Arab yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sampai dengan saat ini atau zaman NOW (sekarang) BERARTI Allah Ta'ala DIAM atau TIDAK berkalam ?

Begitupula dengan mengatakan dan meyakini bahwa Allah kadang berbicara dan kadang diam atau mengatakan dan meyakini Allah Ta'ala dahulu berbicara dengan Nabi Musa dan sekarang diam maka bertentangan dengan Allah Ta'ala bersifat Qadim yakni Allah Ta'ala tidak terikat dengan ruang dan waktu, tidak berlaku bagi-Nya apakah itu masa lalu, kini atau akan datang, Allah SENANTIASA berkalam tidak pernah diam karena Kalam Allah kekal dan tidak pernah terputus sebagaimana contoh yang dijelaskan oleh Syeikh Nawawi al - Bantani dalam kitab Nur adz - Dzolam yakni kitab syarah dari kitab Aqidatul Awam, Syeikh Ahmad Marzuki Al Maliki (W 1281H) 

***** awal kutipan *****

وقوله استمر أى دام كلامه تعالى ولا ينقطع

Kalam Allah Ta'ala adalah KEKAL dan TIDAK akan pernah TERPUTUS . 

وليس معنى وكلم الله موسى تكليما انه ابتدأ الكلام له بعد ان كان ساكتا فبعد ما كلمه انقطع كلامه وسكت تنزه الله ذلك تنزها عظيما

Adapun makna Firman Allah, dan Allah telah berfirman kepada Musa dengan sebenar - benarnya berfirman maka BUKAN berarti bahwa Allah mengawali Firman-Nya kepada Musa setelah Dia DIAM, kemudian setelah Dia mengfirmankan Firman-Nya kepadanya maka Firman-Nya TERPUTUS dan DIAM lagi. Maha Suci Allah dari demikian itu . 

وإنما المعنى أنه تعالى بفضله أزال المانع عن موسى عليه السلام وخلق له سمعا وقوة حتى أدرك به كلامه القديم ثم منعه بعد وروده إلى ما كان عليه قبل سماع كلامه وهذا معنى كلامه تعالى لأهل الجنة

Adapun makna firman-Nya itu adalah bahwa sesungguhnya Allah telah MENYINGKAPKAN TABIR dari Musa 'alaihis salam dan telah menciptakan sifat mendengar dan mampu baginya (TAJALLI Allah pada kemampuan pendengaran Nabi Musa) sehingga ia dapat memahami Firman-Nya yang qadim, kemudian Dia menjadikan TABIR lagi setelah Firman-Nya tersampaikan sebelum Musa mendengar Firman-Nya. Demikian ini adalah makna Kalam atau Firman Allah yang serupa kepada para penduduk surga .

***** akhir kutipan *****

Kitab Aqidatul Awam karya Syeikh Ahmad Marzuki Al Maliki (W 1281H) adalah contoh kitab yang menjelaskan tentang akidah - akidah yang wajib diketahui bagi setiap mukallaf yang beragama Islam, baligh dan berakal sebagaimana yang dikabarkan pada https://palontaraq.id/2021/07/08/mengenal-pengarang-isi-dan-terjemah-aqidatul-awwam/

Jadi makna 

"Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabi Musa dengan sebenar - benarnya berfirman" 

adalah 

Allah Ta'ala telah MENYINGKAPKAN TABIR dari Nabi Musa 'alaihis salam dan telah menciptakan sifat mendengar dan mampu baginya (TAJALLI Allah pada kemampuan pendengaran Nabi Musa) sehingga ia dapat memahami Firman-Nya yang qadim, kemudian Dia menjadikan TABIR lagi setelah Firman-Nya tersampaikan sebelum Musa mendengar Firman-Nya. 

Jadi Nabi Musa alaihissalam atau SIAPAPUN yang dikehendaki Allah dapat MENDENGAR kalam Allah secara LANGSUNG bukan berarti Allah Ta'ala mengawali kalam-Nya setelah Dia DIAM dan lalu setelah berkalam lalu DIAM lagi karena Allah Ta'ala Qadim, tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.

Pada saat mendengar kalam Allah maka PERUBAHAN yang terjadi yakni TERSINGKAP dan TERTUTUP tabir adalah pada diri makhluk (manusia) yang dipengaruhi oleh RUANG dan WAKTU bukan pada diri Allah Ta'ala.

Begitupula pada hakikatnya sampainya kalam Allah kepada manusia bukanlah secara TAJAFI (perpindahan) namun TAJALLI yakni tersingkapnya TABIR atau HIJAB (mukasyafah) sehingga manusia dengan bahasanya masing-masing dapat mendengar dan memahami kalam Allah yang SENANTIASA berkalam karena Dzat Allah "tidak melahirkan" atau "tidak mengeluarkan" sesuatu.

Imam al-Sanusi mengatakan adalah sebuah kemustahilan bila Dzat Allah melahirkan makhluk karena dalam surat al-Ikhlas [112] ayat 3 dinyatakan bahwa Allah Ta'ala "tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan"

Beliau menjelaskan bahwa kalimat “tidak melahirkan” dalam surat tersebut maksudnya adalah Dzat Allah yang Maha Mulia tidak mengeluarkan eksistensi apa pun dari diri-Nya. (Abu Abdillah al-Sanusi, Syarh Umm al-Barahin, 24). 

Jadi Nabi Musa dan para kekasih Allah lainnya dengan bahasanya mereka masing-masing dapat mendengar dan memahami kalam Allah yang SENANTIASA berkalam karena kalam Allah sampai kepada manusia bukanlah secara TAJAFI (perpindahan) namun TAJALLI

Segala sesuatu dari sisi Allah Ta'ala namun terjadinya secara TAJALLI bukan secara TAJAFI yakni bukan secara perpindahan

TAJAFI adalah perpindahan yakni transformasi satu wujud ke wujud lain dengan mengurangi atau menyebabkan hilangnya wujud asli. 

Sedangkan, TAJALLI adalah transformasi satu wujud ke wujud lain tanpa mengubah atau mereduksi keaslian wujud pertama. 

Di dalam Al Qur'an, proses TAJAFI dicontohkan di dalam ayat,

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ

"TATAJAFA junubuhum 'an al-madhaji' yad'una Rabbahum khaufan wa thama'an wa mimma razaqnahum yunfiqun" 

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka" (QS as-Sajadah [32]:16). 

Maksud ayat ini ialah orang yang sedang meninggalkan tempat tidurnya menuju ke tempat lain untuk berdoa. Setelah pindah (tajafi) dari tempat semula ke tempat lain, maka tempat semula menjadi kosong.

Sedangkan, proses TAJALLI dicontohkan di dalam ayat, 

فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Falamma TAJALLA Rabahu lil jabali ja'alahu dakkan wa kharra Musa sha'iqan. Falamma afaqa qala subhanaka tubtu ilaika wa ana awwalul mu'minin

"Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman" (QS al-A’raf [7]:143). 

Maksud ayat ini ialah ketika Allah Ta'ala menampakkan (TAJALLI) di atas gunung, bukan berarti Allah berpindah ke suatu tempat.

Begitupula proses penciptaan makhluk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala terjadi secara TAJALLI meskipun segala sesuatu diciptakan Allah dari diri-Nya sendiri, tetapi tidak akan pernah KEBERADAAN makhluk mereduksi, membebani atau mempengaruhi diri-Nya karena KEBERADAAN makhluk-Nya melalui proses TAJALLI. 

Begitupula dengan sabda Rasulullah,

كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان

"Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun SELAIN Dia" (HR. Bukhari 2953 atau Fathul Bari 3191 / 3192)  

MENUNJUKKAN bahwa KEBERADAAN wujud SELAIN Allah TIDAK akan MEMPENGARUHI keberadaan Allah.

Contohnya KEBERADAAN Arsy-Nya tidak akan mempengaruhi KEBERADAAN Allah yakni Allah TINGGI di atas Arsy namun TIDAK BERSENTUH dan TIDAK BERJARAK dengan Arsy-Nya sebagaimana yamg disampaikan oleh Imam Baihaqi dalam al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz 2, halaman 308 

وَالْقَدِيمُ سُبْحَانَهُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ لَا قَاعِدٌ وَلَا قَائِمٌ وَلَا مُمَاسٌّ وَلَا مُبَايَنٌ عَنِ الْعَرْشِ

“Allah Yang Maha Qadim, TINGGI di atas Arsy namun TIDAK DUDUK dan TIDAK BERDIRI, TIDAK MENYENTUH dan TIDAK BERJARAK atau TIDAK TERPISAH dari Arsy.

Begitupula dengan sabda Rasulullah yakni, "Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun SELAIN Dia" TENTU termasuk TANPA arah maupun tempat MENUNJUKKAN Allah maujud bila makan artinya Allah ADA tanpa arah maupun tempat.

Firqah MUJASSIMAH terjerumus DURHAKA ('Aashin) kepada Allah karena mereka "menjauhkan" Allah dengan mengitsbatkan atau menetapkan arah maupun tempat di atas Arsy AKIBAT mereka memaknai BA'IN artinya TERPISAH dari makhluk dalam makna atau pengertian jarak dan batas. 

Padahal mereka dapat memeriksa pada kamus bahasa Arab dan cara paling mudah pada zaman NOW (sekarang) adalah menggunakan google translate dan ketik,

بائن من خلقه. 

dan artinya adalah "Dibedakan dari ciptaan-Nya"

Syekh Ibnu Khaldun (W. 808 H) menjelaskan bahwa pengertian MUBAYANAH pada hak Allah Ta'ala yang telah disepakati oleh jumhur ulama Salaf maupun Khalaf

وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة

Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta'ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan

فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته

Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.

Jadi makna KETERPISAHAN (MUBAYANAH) bagi Allah Ta'ala dengan makhluk yang telah disepakati oleh jumhur ulama adalah BA'IN artinya TERPISAH dalam makna atau pengertian BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta'ala "Laisa Kamitslihi Syaiun" (QS. Asy Syura [42] : 11).

Contohnya kalau manusia DEKAT BERSENTUH dan JAUH BERJARAK.

Sedangkan Allah Ta'ala dengan Arsy-Nya maupun dengan SELURUH makhluk Nya DEKAT tidak bersentuh dan JAUH tidak berjarak.

Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2]: 186)) 

Jadi proses penciptaan makhluk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala terjadi secara TAJALLI meskipun segala sesuatu diciptakan Allah dari diri-Nya sendiri, jika diibaratkan seribu cermin di depan suatu benda, benda itu akan terlihat sebanyak seribu tanpa ada reduksi atau pengurangan sedikit pun dari benda asli.) 

Inilah yang difirmankan Allah Ta'ala dalam Al Qur'an yang artinya, "Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu (QS al-Hijr [15]:21).

Jadi segala sesuatu dari khazanahnya yakni perbendaharaannya dan diturunkan-Nya sesuai dengan "ukuran yang tertentu" yang ditafsirkan oleh Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain adalah

على حسب المصالح.

Sesuai dengan kepentingannya atau sesuai dengan peruntukannya ll) 


Contoh segala sesuatu dari sisi Allah Ta'ala difirmankan oleh Allah Ta'ala pada ayat berikutnya yang artinya,


Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya (QS al-Hijr [15]:22).


Contoh lain, jika ingin mengubah TAJAFI menjadi TAJALLI dalam kehidupan sosial dengan mencontoh sifat-sifat Allah Ta'ala yakni Dia SENANTIASA memberi dengan penuh perhatian dan tanpa pamrih kepada ciptaan-Nya yang BANYAK namun Allah Ta'ala tetap seperti semula. 


Ilustrasinya, jika seseorang mencontoh sifat Tuhan sebagai Maha Pengasih Maha Pemberi, proses TAJALLI akan muncul ke dalam diri seseorang.  


Dalam kehidupan sehari-hari jika seseorang akan dimurahkan rezekinya, ia harus rajin memberi dengan sikap penuh ketulusan atau tanpa pamrih. 


Cara demikian ini bisa berubah dari semula TAJAFI (perpindahan) rezeki menjadi proses TAJALLI yang akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah Ta'ala


Seorang yang pelit tidak akan bertambah rezekinya karena akalnya lebih dominan ketimbang kasih sayangnya.


Sedangkan Tuhan SENANTIASA memberi tanpa pernah merasa kekurangan.


Jadi keikhlasan selalu mengundang TAJALLI.  


Inilah yang difirmankan Allah Ta'ala dalam Al Quran yang artinya, "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS an-Nahl [16]: 96).


Jadi amal kebaikan yang berubah dari semula TAJAFI (perpindahan) yakni semula lenyap dari sisi kita berubah menjadi TAJALLI yakni menjadi kekal di sisi Allah adalah amal kebaikan yang "melahirkan" DIRI SEJATI atau dalam bahasa jawa disebut INGSUN SEJATI atau PANCER yang wujudnya seperti diri kita, seperti di cermin tetapi PANCER DIRI itu selalu muda tidak pernah tua, dan selalu bercahaya, anggun mempesona maka di surga itu tidak ada yang tua, semuanya muda


DIRI SEJATI dinamakan oleh sultannya Wali Allah (Kekasih Allah), Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dengan sebutan "Thiflul Ma'ani" (bayi ma'nawi atau jabang sukma). Dinamakan demikian karena ia lahir dari sukma yang suci (al ma'nawiyyah al qudsiyah)


Berikut kutipan penjelasan Syekh Abdul Qadir Al Jilani qaddasallahu sirrahu dalam kitab Sirrul Asrar (rahasia di balik rahasia) bahwa Thiflul Ma'ani atau DIRI SEJATI yang bersama Allah dan menyaksikan Allah karena badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta'ala 


***** awal kutipan *****


والشابعة أن إطلاقه على سبيل المجاز باعتبار تعلقه بالبدن ، وتمثيله بصورة البشر بناء على أن إطلاقه عليه لأجل ملاحته لا لأجل استصغاره 


Penggunaan nama Thiflul Ma'ani (untuk Ruh Kudsi) ini sifatnya majasi (metafora) ditinjau hubungan eratnya (ruh qudsi). Adapun ia ditamsilkan dengan rupa bayi lantaran keindahannya, bukan berarti Roh Qudsi kecil secara fisik seperti anak bayi.


وبالنظر إلى بداية حاله ، وهو الإنسان الحقيقي ، لأن له أنسية مع الله تعالى . 


Dan ditinjau dari awal adanya, Ruh Qudsi ini adalah hakikat manusia (manusia sejati) karena dia memiliki keintiman (unsiyyah) berhubungan langsung dengan Allah Ta'ala.


فالجسم والجسماني ليس محرما له لقوله صلى الله عليه وسلم  


Sedangkan badan dan ruh jasmani BUKAN MAHRAMNYA bagi Allah Ta'ala berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,


لي مع الله وقت لا يسع فيه ملك مقرب ولا نبي ، مرسل


"Aku memiliki waktu bersama Allah, dimana Malaikat terdekat dan Nabi yang diutus pun tidak memiliki kesempatan itu"


والمراد من النبي المرسل بشرية النبي


Yang dimaksud "Nabi yang diutus" (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah dimensi basyariyahnya (kemanusiaannya) dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.


ومن الملك المقرب روحانيته التي خلقت من نور الجبروت ، كما أن الملك من نور الجبروت فلا يدخل في نور اللاهوت


Adapun yang dimaksud "Malaikat terdekat" (yang tidak memiliki kesempatan bersama Allah sebagaimana hadits di atas) adalah ruh ruhani dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang diciptakan dari cahaya Jabarut sebagaimana malaikat juga diciptakan dari cahaya Jabarut sehingga "Malaikat terdekat" tidak dapat masuk ke dalam cahaya lahut.


وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، " 


Rasulullah shallallahi alaihi wasallam bersabda,


أن لله جنة لا فيها خور ولا قصور ولا جنان ولا عسل ولا لبن ، بل نظر إلى وجه الله تعالى


"ADA satu surga milik Allah Ta'ala yang di dalamnya TIDAK ADA bidadari dan istana, TIDAK ADA madu dan susu. Nikmat (yang dianugerahkan) di dalam surga tersebut hanya satu yaitu melihat Allah Ta'ala.


كما قال الله تعالى وجوه يومئذ ناضرة إلى ربها ناظرة 


Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS Al Qiyamah [75] : 22-23)


وكما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، سترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر 


Dan juga dijelaskan dalam sabda Rasullah shallallahu alaihi wasallam, Kalian akan melihat Rabb kalian, sebagaimana (mudahnya) melihat bulan pada malam bulan purnama" (HR Bukhari)


ولو دخل الملك والجسمانية في هذه العالم لاخترقا كما قال الله تعالى في الحديث القدسي ، لو كشفت سبحاث وجهي جلالي لاخترق كل ما مد بصري


Jika malaikat dan jasmani yakni segala sesuatu selain Ruh Qudsi masuk di Alam Lahut maka pasti akan terbakar sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam hadits qudsi, "Jika kesucian Dzat-Ku yakni sifat Jalal-Ku disingkap maka semuanya, sejauh mata-Ku memandang, pastilah terbakar (HR Muslim)


وكما قال جبرائيل عليه السلام ، " لو دنوتُ لاخترقت


Sebagaimana juga yang diungkapkan Jibril alaihissalam, "Jika aku mendekat pasti aku terbakar"

***** akhir kutipan *****


Jadi DIRI SEJATI yang MUKASYAFAH yakni dibukakan atau disingkapkan TABIR atau HIJAB sehingga dapat menyaksikan Allah (makrifatullah) adalah yang dapat mendengar dan memahami al-Kalam adz-Dzati kalam Allah yang qadim/kekal yang bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.


Begitupula Allah Ta'ala SENATIASA berkalam tidak pernah diam dan Kalam Allah sampai kepada manusia sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surat Asy Syura [42] ayat 51 melalui TIGA CARA atau TIGA KEMUNGKINAN yakni PERTAMA melalui wahyu termasuk ilham dan firasat, KEDUA dengan mengutus utusan-Nya seperti malaikat Jibril, dan KETIGA pembicaraan-Nya LANGSUNG seperti dengan Nabi Musa alaihissalam adalah pembicaraan di BALIK TABIR.


Allah Ta'ala berfirman, 


وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَآئِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِىَ بِإِذْنِهِۦ مَا يَشَآءُ ۚ إِنَّهُۥ عَلِىٌّ حَكِيمٌ 


Dan TIDAK MUNGKIN bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia KECUALI dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS Asy Syura [42]:51) 


Imam Suyuthi (W. 911 H) dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan (QS Asy Syura [42]:51) menyampaikan bahwa HANYA TIGA CARA atau TIGA KEMUNGKINAN kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan suara, bukan huruf-huruf dapat sampai kepada manusia yakni 


1. Wahyu ( وحياً ) 


في المنام أو بإلهام 


yang Dia wahyukan kepadanya di dalam tidurnya (mimpi) atau melalui ilham atau firasat ke dalam hati mereka. 


2. Dengan mengutus utusan-Nya ( يرسل رسولاً ) 


ملكاً كجبريل 


Yakni seperti malaikat Jibril 


Pada umumnya dibawa turun oleh malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah sebagaimana firman Allah, 


عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُنذِرِينَ 


"ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (QS. Asy-Syu’ara’ [26] : 194) 


dan sebagian kecil perantaraan malaikat Jibril dalam wujud manusia. 


dan 


3. Di balik tabir ( من وراء حجاب ) adalah seperti Allah memperdengarkan kalam-Nya kepadanya, tetapi dia tidak dapat melihat-Nya, sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Musa alaihissalam. 

Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-asy-syura-dengan-terjemahan-dan-tafsir/6 

Contoh Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia DIPERLIHATKAN atau DIVISUALISASIKAN dalam bentuk ar-ru'ya ash-shadiqah (mimpi yang benar) dan ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam ketika bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira dan tentulah MIMPI itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM.

Contoh lainnya Allah Ta'ala berfirman yang artinya, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS ash Shaffat/[37] : 102). 

Begitupula mimpi yang baik yang merupakan bagian dari kenabian dan diterima oleh para kekasih Allah adalah VISUALISASI dari Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara. 

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Mimpi baik yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR Bukhari 6468) 

Contoh lain Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia dalam bentuk firasah al sadiqah (firasat yang benar) dan tentulah FIRASAT itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM. 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Dari Abi Sa’id al Khudri radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda 

اتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ 

Takutlah kalian terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya mereka melihat dengan cahaya Allah 

ثُمَّ قَرَأَ 

kemudian Beliau menbaca ayat 

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ 

sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (Jalalain : bagi orang-orang yang mau memperhatikannya kemudian mau mengambilnya sebagai pelajaran) (QS Al Hijr [15]:75) 

(HR. Tirmidzi dalam sunannya no.3052 atau versi Maktabatu al Ma'arif no. 3127) 

Contoh lain Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara sampai kepada manusia dalam bentuk ILHAM yang diberikan kepada para Nabi maupun kepada orang-orang yang dikehendakiNya dan tentu ILHAM itu MAKHLUK atau BUKAN QADIM. 

Allah Ta'ala mengilhamkan suatu makna tertentu ke dalam jiwa (hati) para Nabi dan orang-orang yang dikehendakiNya yang merupakan UNGKAPAN (IBARAT) dari Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara. 

Firman Allah Ta’ala yang artinya 

“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa (hati) itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91] : 8 ) 

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10) 

Contohnya Allah Ta'ala mengungkapkan (ibarat) Kalam Allah yang Qadim (al-Kalam Adz-Dzati) yang bukan huruf maupun suara dalam bentuk suatu makna tertentu ke dalam hatinya ibundanya Nabi Musa Alaihissalam. 

Allah Ta'ala berfirman artinya, "Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul" (QS Al Qashash [28] : 7) 

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda