Runtuhnya Kemuliaan Ilmu Dan Ulama Oleh Televisi Dan Medsos - HWMI.or.id

Monday 3 August 2020

Runtuhnya Kemuliaan Ilmu Dan Ulama Oleh Televisi Dan Medsos




Runtuhnya Kemuliaan Ilmu Dan Ulama Oleh Televisi Dan Medsos

Produk-produk tekhnologi informasi, seperti internet, media sosial, dan televisi telah meruntuhkan kemuliaan ilmu dan ulama. Anda boleh tidak setuju dengan perkataan saya ini. Tapi faktanya memang demikian.

Dulu, ulama ibarat sumur, siapa yang ingin mendapat air harus mendatangi sumurnya. Sekarang berbeda, ulama seperti PDAM yang melayani dari rumah ke rumah. Ilmu disalurkan melalui pipa-pipa yang kita sebut media sosial.

Bagi yang punya basis keilmuan pesantren (baca: Aswaja) dia mampu menyerap dan memfilter setiap informasi keagamaan di medsos; dia mampu memilah mana ulama Aswaja dan bukan Aswaja; mana yang patut dijadikan teladan dan mana yang tidak patut. Bahayanya, bila tak punya dasar keilmuan, dia akan mengkonsumsi konten dakwah apa saja di media sosial. Dia akan belajar agama di Facebook, Youtube, dll dari orang-orang yang tidak jelas sanad keilmuannya dan dari pencaci-maki berkedok ustad.

Celakanya, (sebagian) da’i lebih fokus pada cara menarik perhatian audiens, bukan pada apa yang disampaikan. Sebagian dari mereka sibuk memperbanyak subscriber, mementingkan fashion dan penampilan saat tampil di televisi, dan sibuk mengemas retorika supaya menarik minat orang untuk mendengar ceramahnya. Pada titik ini, dakwah telah menjadi industri, tak beda dengan produk-produk ekonomi. Promosi lebih penting daripada kualitas barang. 

Hukum ekonomi telah masuk ke dalam dakwah. Mereka (sebagian) pada hakikatnya, bukan sedang mendakwahkan agamanya, tapi sedang mendakwahkan dirinya sendiri.
Namun ada sebagian kecil ulama yang tetap bertahan dengan pola dakwah tradisional. Seperti KH. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. Gus Baha bahkan mengatakan, “ilmu itu harus didatangi. Ini untuk menjaga kemuliaan ilmu”.

Benar Gus Baha. Maka sering kita mendengar kisah ulama-ulama dahulu yang menguji lebih dulu keikhlasan calon santrinya. Mbah Kholil Bangkalan, misalnya. Saat Mbah Manab (KH. Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo) ingin nyantri di Pesantren Mbah Kholil, Mbah Kholil meminta seluruh beras perbekalan Mbah Manab sampai tak tersisa sedikitpun. 

Parahnya lagi, beras itu lalu diberikan kepada ayam-ayam Mbah Kholil. Mbah Manab hanya disuruh makan daun Pace (mengkudu). Karena perintah guru, maka Mbah Manab menjalaninya dengan ikhlas. Alhasil selama 7 tahun beliau mondok di Bangkalan, beliau hanya makan daun Pace.

Mbah Kiyai Abdul Karim ketika mondok di Mbah Kholil Bangkalan sangat tekun (Jawa: mempeng) belajar sambil riyadhoh. Beliau juga sangat patuh kepada gurunya. Ketika beliau sudah mendirikan Ponpes Lirboyo, beliau berpesan kepada santri-santrinya, “Santri lek muleh kudu madep dampar”, santri kalau sudah pulang ke rumah harus menghadap dampar (mengajar)”. Hanya mengajar. Tidak minta yang lain. Beliau tidak minta santri-santrinya jadi pejabat, PNS, pengusaha, politisi. Insya Allah ilmunya barakah.

Petuah Mbah KH. Abdul Karim tersebut terus didoktrinkan kepada santri-santri Lirboyo hingga saat ini. Pesan segenap masyayekh Lirboyo dari dulu hingga kini sama, santri jika sudah selesai mondok di Lirboyo, harus mengajar, meski hanya mengajar alif ba’ ta’. Pesantren Lirboyo tidak menjalani thoriqoh apapun. Thoriqoh Lirboyo adalah ta’alum wa ta’lim, belajar dan mengajar, demikian ungkap para masyayekh.

SANTRI HARUS JADI PAKU

Kuatnya doktrin ta’lim dan ta’alum Lirboyo juga diteruskan oleh salah satu pengasuh pesantren Lirboyo generasi ketiga, yang juga cucu dari Mbah KH. Abdul Karim, KH. Abdul Aziz Mansur. Beliau mengatakan kepada para santri, “santri harus jadi paku”.

Mengapa paku?

Paku berfungsi menguatkan dan menghubungkan bagian-bagian dalam kerangka bangunan supaya kokoh. Begitu pula santri. Kewajiban santri dengan ilmunya adalah menguatkan akidah, mental, dan moral umat. Santri juga bertanggungjawab untuk memperbaiki dan menengahi konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bukan justru menjadi pemecah belah dan provokator. Inillah filosofi paku KH. Aziz Mansur.

Seperti halnya paku yang harus dipukul keras-keras supaya menancap kuat, santri dalam mengemban kewajiban mahaberat tersebut, harus siap dan kuat menghadapi berbagai hantaman: hantaman ekonomi, cemooh, bully, dikucilkan, dan lain-lain.

Meski peran paku sangat vital, namun paku tidak boleh terlihat menonjol, sebab bisa membahayakan orang. Begitu pula santri. Santri tak boleh menonjol atau mabuk popularitas. “Perintah Allah hanya menyampaikan ilmu bagi pemilik ilmu. Oleh sebab itu, haram hukumnya menyembunyikan ilmu (kitmanul ilm). 

Kalau perintah Allah hanya menyampaikan ilmu, maka biasa saja bila kemudian terkenal. Juga jangan tersiksa bila dicela orang” kata Gus Baha. Di awal kitab Ta’limul Muta’alim juga ada dijelaskan, “tujuan menuntut ilmu bukan untuk terkenal, diagungkan manusia, apalagi menumpuk materi”.

Ketika Anda melihat bangunan yang kokoh dan indah, maka pasti Anda tak akan bertanya tentang pakunya. Sudah pasti Anda akan bertanya tentang siapa arsiteknya? Apa jenis kayunya? Kualitas no. berapa granitnya? Nah, santri pun demikian, ketika sudah berperan besar dalam membangun intelektual dan moral masyarakat, bahkan lebih luas bangsa dan negara, maka jangan pernah kecewa bila akan dilupakan atau dipinggirkan.

Saya juga masih ingat betul pesan Allah yarham KH. Maksum Jauhari atau populer dipanggil Gus Maksum, salah satu pengasuh Lirboyo juga, pendiri Pencak Silat NU Pagar Nusa yang terkenal dengan kesaktiannya. Pesan beliau dalam bahasa Jawa kurang lebih artinya ialah: “Santri tidak boleh meminta-minta. Entah itu meminta-minta jabatan, posisi, atau meminta mengisi ceramah, khutbah. Tapi santri tidak boleh menolak apabila diminta jika dia merasa mampu”.

Pesan-pesan dan nasehat para masyayekh Lirboyo tersebut di atas hingga detik ini masih melekat kuat dalam benak saya. Nasehat-nasehat itulah yang senantiasa  memotivasi diri saya, bahkan juga menampar diri saya saat saya sudah melenceng dari jalur thoriqoh Lirboyo.

SARANA ITU BUKAN TUJUAN

Dari apa yang saya ketengahkan di atas, saya ingin menarik beberapa kesimpulan, yang barangkali bermanfaat sebagai bahan renungan kita bersama, para aktivis dakwah.
Pertama, tak dipungkiri saat ini adalah era digital dan media sosial. Fakta, 2/3 penduduk dunia memiliki paling tidak satu akun media sosial. Oleh karena itu, dakwah mesti masuk mengisi ruang-ruang digital dan media sosial. 

Untuk mengimbangi informasi-informasi negatif yang bertebaran di medsos dan televisi. Kembali mengutip Gus Baha, “Ketika begitu banyak orang mempromosikan hal-hal tidak baik di televisi dan media sosial maka tidak ada kelirunya kita mempromosikan Allah (maksudnya, hal-hal yang baik) di media-media tersebut”.

Namun, media sosial dan televisi hanyalah sarana atau media dakwah. Keduanya bukanlah tujuan. Masuk tivi nasional dan banyaknya subscriber, viewer, dan follower, bukanlah tujuan dari dakwah kita. ”

Tujuan dakwah bukan untuk menjadi terkenal, menjadi viral, atau supaya digemari banyak orang, tapi untuk menyampaikan ajaran agama, mengkampanyekan kebaikan, dan menunjukkan umat jalan ke surga.

Dakwah juga bukan untuk mencari uang, kedudukan, dan jabatan, akan tetapi semata-mata melaksanakan kewajiban menyampaikan ilmu dan mengharap keridhoan Allah SWT. “Perintah Allah hanya menyampaikan ilmu, maka jangan peduli dengan popularitas, dan jangan tersiksa dengan celaan” kata Gus Baha lagi.

Kedua, fondasi dakwah tetaplah apa yang diteladankan oleh ulama-ulama dahulu, yaitu didasari keikhlasan dan semata-mata menjalankan kewajiban menyampaikan ilmu.
Nama-nama pesantren besar seperti Lirboyo, Tebu Ireng, Ploso, Sidogiri, Langitan, Kempek, dan lain-lain pada awalnya adalah nama sebuah kampung atau desa. 

Ini artinya, pendiri-pendiri pesantren tak pernah berniat untuk mendirikan pesantren seperti yang terlihat saat ini. Kalau beliau-beliau memang niat mendirikan lembaga pendidikan pesantren, maka sudah tentu beliau-beliau itu memberi nama tempat mengajarnya, seperti kebanyakan nama pesantren yang menggunakan bahasa Arab pada saat ini.

Beliau-beliau cuma niat mengajar dan menyampaikan ilmu, tidak ada niat dan tujuan lain. Karena itu yang dibangun pertama kali adalah masjid, sebagai pusat peribadatan dan pengajaran. Namun lama kelamaan murid-murid yang belajar semakin banyak, bahkan dari jauh-jauh. Mau tak mau memerlukan tempat untuk menginap para santri tersebut. Mulailah dibangun beberapa kamar oleh para santri sendiri atau oleh kiyainya. Lama kelamaan kemudian berkembang sampai saat ini.

‘Ala kulli hal….

Menutup tulisan ini, sebagai pengingat untuk para da’i, saya ingin mengutip salah satu bait Imam Al Bushiri dalam Qoshidah Burdah-nya:

أستغفر الله من قول بلا عمل
لقد نسيت به نسلا لذى عقوم
“Aku memohon ampun kepada Allah dari perkataan tanpa perbuatan..
Sungguh (hal demikian itu sama halnya) aku menisbatkan keturunan pada orang yang mandul”.

Wallahua’lam..

Penulis: M. Imaduddin
(Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU)
Utara Jakarta, 13 Dzulhijah 1441 H / 3 Agustus 2020

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda