Gugurnya Kewajiban Menegakkan Khilafah - HWMI.or.id

Tuesday 1 September 2020

Gugurnya Kewajiban Menegakkan Khilafah

 GUGURNYA KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH



Oleh: Ustadz Muafa

Kewajiban menegakkan khilafah itu bisa gugur. Tidak selebay dan sebombastis yang digambarkan orang-orang Hizbut Tahrir yang me-neraka-kan siapapun yang tidak beraktivitas seperti mereka.

Bagaimana bisa?

Tentu saja bisa dan itu hal biasa yang tidak perlu terlalu membuat heboh, asalkan mau rendah hati, mau belajar, dan serius mencari ilmu semata-mata karena ingin mendapatkan rida Allah.


Jangankan khilafah yang sifatnya żannī dan tergolong kifayah. Yang jelas qaṭ‘ī dan tergolong fardu ain saja bisa gugur kok.


Contohnya seperti kewajiban haji.


Semua umat Islam sepakat haji itu fardu ain, murtad yang mengingkarinya, dan menjadi rukun Islam.


Tetapi kewajiban haji itu diikat dengan kondisi terwujudnya qudrah/istiṭā‘ah (kemampuan). Artinya, meskipun haji itu fardu ain, tetapi jika seorang muslim tidak mampu, maka gugurlah kewajiban berhaji. Jika dia wafat dalam keadaan masih belum mampu, maka dia tidak berdosa karena mampu. Ketidakmampuan adalah takdir Allah, keputusan Allah dan kebijaksanaanNya. Seorang hamba dibuat mampu untuk hikmah yang dikehendakiNya dan tidak dibuat mampu juga untuk hikmah yang dikehendakiNya.


Demikianlah para Shahabat dan ulama-ulama saleh menjalankan konsep kewajiban ini sepanjang masa.


Ketika Rasulullah ﷺwafat, dan para Shahabat punya qudrah/istiṭā‘ah (kemampuan) untuk mengangkat khalifah, maka mereka melaksanakan kewajiban tersebut sehingga terangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Begitu Abu Bakar wafat dan para Shahabat punya qudrah untuk mengangkat khalifah, maka mereka mengangkat Umar. Setelah Umar wafat, diangkatlah Uṡmān, lalu Ali dan seterusnya. Semuanya melaksanakan karena memang punya qudrah sehingga tidak ada alasan di hadapan Allah untuk melalaikannya.


Adapun ketika umat Islam tidak punya qudrah menegakkan khilafah, maka gugurlah kewajiban tersebut dan ini sudah pernah terjadi dalam sejarah tanpa ratapan menyedihkan, gembar-gembor dan tanpa lebay-isasi seperti gaya Hizbut Tahrir.


Khilafah terakhir runtuh di masa Al-Nawawī, yakni tahun 656 H saat Khilafah Abbāsiyyah dihancurkan tentara Tartar. Kondisi umat Islam saat itu sangat lemah, banyak masalah, pecah, jauh dari agama dan penuh konflik. Akibatnya, umat Islam tidak punya qudrah untuk menegakkan khilafah. Pihak yang diseru menegakkan khilafah, yakni ahlul ḥalli wal ‘aqdi juga tidak punya qudrah untuk menegakkannya. Oleh karena itu, kewajiban itupun gugur bagi mereka.


Berdasarkan alas fikir ini, Anda sekarang bisa memahami mengapa para ulama yang hidup dimasa runtuhnya khilafah Abbāsiyyah tidak ada yang membombastisasi kewajiban menegakkan khilafah seperti Hizbut Tahrir. Al-Nawawī contohnya. Beliau lahir tahun 631 H dan wafat tahun 576 H. Artinya, beliau hidup di masa runtuhnya Abbasiyyah. Al-Nawawī sebagai seorang ulama yang jujur menegaskan kewajiban mengangkat khalifah/imam dalam kitab Rauḍatu Al-Ṭālibīn. Akan tetapi, Anda akan melihat bagaimana beliau tidak pernah menulis satu hurufpun yang menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan khilafah di zamannya. Apalagi menghabiskan umur setiap hari meneriakkan khilafah dan berjuang siang malam melakukan aktivitas politik untuk menegakkan khilafah. Al-Nawawī tidak pernah satu hurufpun mengarang kitab yang berisi tatacara menegakkan khilafah. Beliau juga tidak pernah membuat karya khusus untuk mengingatkan kaum muslimin pentingnya menegakkan khilafah. Tidak ada satu hurufpun dari beliau yang sifatnya membesar-besarkan urusan khilafah ini. Malahan, ketika muncul pemrintahan Islam yang bukan khilafah, yakni kerajaan Mamalik, beliau membenarkan dan juga tidak pernah satu kalipun meminta raja Baybars untuk mengubahnya menjadi khilafah atau memperjuangkan penegakan khilafah melalui kerajaan Mamalik itu.


Berdasarkan alas fikir ini pula kita bisa berhusnuzan mengapa ulama-ulama Al-Azhar tidak menghabiskan umur untuk menegakkan khilafah. Bukan hanya ulama-ulama Al-Azhar, tetapi juga ulama-ulama di Saudi Arabia, Syam, Afrika dan Indonesia. Mereka lebih fokus beramal yang lebih penting, lebih urgen, lebih produktif, berefek nyata  dan lebih bermanfaat daripada mennghabiskan umur untuk meneriakkan khilafah saja.


Ini semua menunjukkan memahami fardu kifayah dan memahami kewajiban peengakan khilafah itu tidak seperti gambaran orang-orang Hizbut Tahrir. Menegakkan kewajiban itu ada fikihnya. Salah satu fikihnya adalah adanya kondisi di mana kewajiban bisa gugur karena tidak adanya qudrah.


Berdasarkan penjelasan ini bisa disimpulkan, kewajiban menegakkan khilafah pada zaman ini bisa dikatakan telah gugur. Alasannya, kaum muslimin tidak punya qudrah sebagaimana di masa Al-Nawawī, bahkan lebih parah daripada masa Al-Nawawī. Lebih dari itu, membesarkan isu khilafah pada zaman sekarang potensi pertumpahan darahnya sangat besar. Banyak kasus dalam syariat di mana pelaksanaan hukum harus ditunda atau bahkan dibatalkan demi menjaga nyawa seorang mukmin. Sebab, hancurnya Kakbah di sisi Allah lebih ringan daripada terbunuhnya seorang mukmin. Rasulullah ﷺ menunda pelaksanaan rajam karena wanita yang hendak dirajam masih hamil demi menjaga nyawa janinnya. Rasulullah ﷺ memarahi Sahabat yang berfatwa agar orang junub yang terluka kepalanya tetap mandi sampai membuatnya meninggal. Rasulullah ﷺ marah besar kepada Usamah yang membunuh musuh yang teah bersyahadat. Semua ini menunjukkan nyawa itu sangat berharga dan bisa membuat pelaksanaan hukum ditunda atau bahkan dibatalkan sama sekali.


Kaum muslimin seharusnya belajar dari kasus ISIS. Begitu kelompok ini mengumumkan khilafah sudah berapa ribu nyawa yang tertumpah. Pengumuman oleh ISIS khalifah memberi pelajaran kepada kita bahwa deklarasi khilafah itu maknanya perang! Potensi pertumpahan darah ini seharusnya juga menjadi pertimbangan besar untuk menghentikan pembesaran isu khilafah di zaman sekarang.


Tentu saja pernyataan saya ini bukan untuk mengingkari syariat jihad dalam Islam. Jihad itu haqq, tapi pelaksanaannya juga perlu fikih. Negeri ini juga merdeka berkat jihad nenek moyang kita. Jadi, sebagaimana khilafah, pelaksanaan jihad harus benar-benar mengikuti arahan ulama saleh yang mendalam ilmunya, agar tidak salah praktek.



WAJIBKAH MEWUJUDKAN QUDRAH?


Tinggal masalah terakhir sekarang.


Jika kewajiban menegakkan khilafah telah gugur di zaman ini, apakah tidak menjadi wajib mewujudkan qudrah itu?


Jawaban pertanyaan ini adalah: Tidak.


Mewajibkan kaum muslimin untuk mewujudkan qudrah adalah bentuk takalluf, memaksa-makasa diri, ghuluw, tidak berdasar, bentuk kejahilan,  tidak ditopang dalil apapun dalil yang menunjukkan hal itu, bahkan mudah-mudahan tidak salah jika kita sebut sebagai bid‘ah.

Allah mewajibkan kita naik haji jika punya qudrah melakukannya. Allah tidak mewajibkan kita mewujudkan qudrah agar bisa naik haji. Tidak ada perintah mengusahakan kaya agar bisa naik haji.

Allah mewajibkan kita membayar zakat jika kita kaya dan harta mencapai niṣāb. Jika kita miskin, Allah tidak memerintahkan kita mengusahakan kaya agar bisa membayar zakat.

Allah mewajibkan kita berpuasa Ramadan jika kita sudah balig. Jika masih anak-anak, tidak perlu berfikir mengusahakan agar cepat balig supaya bisa mengerjakan kewajiban puasa itu.

Seperti itulah kondisi semua kewajiban itu. Kita melaksanakan jika ada qudrah dan jika tidak punya qudrah, maka tidak ada kewajiban untuk mewujudkan qudrah itu. Ini sebenarnya sudah menjadi kaidah ijmak para ulama sejak dulu kala berdasarkan kaidah mā lā yatimmu al-wujūbu illā bihī falaisa biwājib (Sesuatu yang mana kewajiban tertentu tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu tidak wajib ). Ibnu Mufliḥ berkata,

ما لا يتم الوجوب إِلا به ليس بواجب إِجماعًا (أصول الفقه لابن مفلح (1/ 211)

Artinya,

“Sesuatu yang mana kewajiban tertentu tidak sempurna kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu tidak wajib berdasarkan ijmak” (Uṣūl Al-Fiqh, juz 1 hlm 211)

Anda mungkin terbersit pertanyaan,

“Lho bukankah kaidahnya berbunyi ‘Sesuatu yang wajib  yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib’? Ini yang biasa kami dengar. Mengapa sekarang malah tidak menjadi wajib?!”

Ini dia masalahnya. 

Jika Anda hanya belajar kepada orang-orang Hizbut Tahrir saja pengetahuannya memang tidak beranjak dari situ. Seumur hidup hanya menjadi seperti katak dalam tempurung. Hanya kenal satu kaidah fikih, yang diulang-ulang terus tanpa mengerti sepenuhnya bagaimana makna dan penerapannya.

Perhatikan,

Kaidah yang saya kutip dari Ibnu Mufliḥ di atas berbunyi,

mā lā yatimmu al-wujūbu illā bihī falaisa biwājib

bukan berbunyi,

mā lā yatimmu al-wājibu illā bihī fahuwa wājib

Artinya, dua kaidah ini berbeda.

Dua-duanya kaidah yang benar, tapi makna dan penerapannya berbeda. Jika Anda belum bisa membedakan antara mā lā yatimmu al-wujūbu (ما لا يتم الوجوب) dan mā lā yatimmu al-wājibu (ما لا يتم الواجب),  yakni bedanya wujūb (الوجوب) dengan wājib (الواجب), maka saatnya Anda belajar lagi. Tidak usah sok-sokan berdakwah dulu, karena dakwah awam yang jahil itu lebih banyak kerusakannya daripada kebaikannya.

Seperti orang-orang yang tahu satu dua obat parasetamol, lalu berani buka klinik dan buka praktek seolah-olah dokter profesional! Bukan mengobati masyarakat dia, tapi malah membunuhi masyarakat. Jadi beban umat saja.

هدانا الله وإياكم أجمعين

www.hwmi.or.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda