"Pilkada Khilafah": Sesat Pikir Ala Aktivis HTI Di Indonesia - HWMI.or.id

Tuesday 22 September 2020

"Pilkada Khilafah": Sesat Pikir Ala Aktivis HTI Di Indonesia

 ‘Pilkada Khilafah’: Sesat Pikir ala Aktivis HTI di Indonesia


by HASIN ABDULLAH

Pertama-tama, harus kita akui realitas, pada 9 Desember 2020 Indonesia dihadapkan dengan hajatan elektoral serentak di mana terdiri dari 270 daerah. Dalam momentum ini, bertarung secara demokratis, konstitusional dan kompetitif adalah modal utama dibanding Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tak kunjung absen melanggengkan wacana ‘Pilkada Khilafah’.

MMC adalah Muslimah Media Center sebuah channel Youtube baru milik komunitas muslimah HTI, dalam setiap ulasanya seputar khilafah terus, dan khilafah lagi. Para akhwat ini saya akui sangat pandai memproduksi propaganda khilafah di tengah wabah menjelang pesta demokrasi, narasi yang dibangun untuk menghilangkan trust kepada pemerintah. 

Tak heran, melalui channel tersebut mengupas tema “Pilkada Khilafah, Syar’i, Murah, Gratis” (18/09/2020), dalam narasinya menjelek-jelekkan sistem demokrasi separah mungkin, hampir dari pembahasan awal sampai akhir mengganggap demokrasi tidak adil, dzalim, dan sesat. Bahkan, pemimpin yang dipilih melalui Pilkada yang menggunakan sistem demokrasi dipandang abai terhadap politik kesehatan dan keselamatan rakyat.

Baru kali ini, saya temukan pemutar balikan fakta yang menunjukkan inkonsistensi sikap HTI dalam berjuang demi nilai-nilai Islam, sebagai kelompok Islam radikal-ekstrem mereka tak pernah percaya mosi virus corona sedikit pun. Kini pasca pemerintah tegas akan menggelar Pilkada, kemudian mereka anggap pemerintah yang tak peduli kesehatan.

Kenyataan ini, menjadi senjata radikal bagi HTI untuk memusnahkan demokrasi dalam pemilihan kepala daerah, alasannya karena pemerintah tak menjamin keamanan rakyat dari terpaparnya wabah. Fakta sebaliknya, sejauh ini pemerintah berikhtiar mengatasi Pandemi Covid-19, namun malah semakin cepat memakan banyak korban diakibatkan jamaah HTI yang selama ini masif menjadi pelanggar aturan PSBB.

Dalam sejumlah demontrasi siapa lagi kalau bukan simpatisan khilafah HTI, dari sini Pilkada yang berdasarkan sistem demokrasi Pancasila, dan terbuka. Kian dibuat narasi fiktif alias fitnah yang membuat rakyat memberontak, sehingga secara sempurna HTI mengusung ‘Pilkada Khilafah’ adalah solusi untuk mengusir wabah, pro kesehatan rakyat, bersifat syar’i, dan murah meriah mendorong hematnya pemakaian anggaran. Mosi ‘Pilkada Khilafah’ dipoles sedemikian rupa demi wajah HTI yang indah.

Potret ‘Pilkada Khilafah’ (HTI)

Persepsi ‘Pilkada Khilafah’, HTI berupaya keras mengemas sebuah narasi ajakan kepada umat Islam untuk mengubah paradigma politik demokrasi yang tak manusiawi, khilafah sebagai sistem politik Islam ditafsirkan sebagai terealisasinya sistem dalam institusi khilafah Islam. Artinya, menurut HTI, sistem khilafah yang selalu melahirkan beragam keniscayaan dianggap syar’i karena langsung dipilih majelis yaitu ahlul halli wal aqdi.

Tampaknya, secara interpretatif-substantif HTI salah memahami dan mendefinisikan teori AHWA (ahlul halli wal aqdi) dalam sejarah politik Islam. Perlu dicatat, sepanjang sejarah Islam tak ada istilah ‘Pilkada Khilafah’. Yang muncul lembaga  atau perwakilan khalifah (MPR/DPR) yang dipercaya untuk menunjuk siapa pemimpin yang akan dipilih. Dan hal itu juga didasarkan kepada prinsip musyawarah mufakat/demokrasi (majelis syura). Dan sistem itu, terealisasi di masa kepemimpinan politik khulafaur rasyidin.

Selain itu, QS. Ali-Imran [3]: 159 menegaskan “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” Substansi Islam dan demokrasi memperjelas dasar hukumnya (al-Qur’an) bagaimana sistem ini relevan dengan era saat ini, sehingga ‘Pilkada Khilafah’ sebuah produk tafsir pembodohan yang sebenarnya HTI ingin merusak sistem dalam benergara.

Mengingat masa-masa di mana kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1998) dipilih langsung secara terbuka melalui mekanisme voting. Kala itu, lembaga perwakilan MPR masih di bawah kendali pimpinan Amin Rais. Hanya saja, pemilihan tersebut masih mempraktikkan sistem parlementer, sedangkan sekarang dikenal sistem presidensial atau istilah politiknya adalah Trias politika.

Dalam konteks ini, ‘Pilkada Khilafah’ merupakan ide yang diusung HTI, sehingga menjadi langkah strategis memecah belah persatuan dan persaudaraan umat Islam dari dalam. Perilaku, karakter atau pun wataknya (HTI) tak jauh beda dengan perilaku politik Sengkuni yang keberadaanya memperbesar masalah, dan mencari-cari kesalahan pemerintah dengan cara adu domba.

Substansi Islam dan Demokrasi

Islam adalah agama yang mengajarkan umat Islam bagaimana berpolitik secara demokratis, damai, dan berkeadilan. Dan dalam situasi politik apa pun prinsip kebebasan, keterbukaan, dan kemanusiaan adalah sistem yang sangat esensial dibanding ‘Pilkada Khilafah’ itu sendiri. Oleh karenanya, Islam mendidik umatnya agar berdemokrasi secara sopan-santun, dan toleran.

Tafsir soal ‘Pilkada Khilafah’ sebagai ide yang menolak pendapat intelektual muslim, mulai dari Fazlur Rahman, Hamid Enayat, Muhammad Asad, dan Javid Iqbal. Menurut mereka dalam buku kiai Masykuri Abdillah (Islam dan Demokrasi; 2015), bahwa demokrasi dengan modifikasi atau penyesuaian tertentu sesuai dengan ajaran Islam, dalam arti, demokrasi yang bernafaskan Islam tidaklah harus mendiskreditkan hak-hak politik kaum minoritas yang juga berperan penting dalam menata demokrasi.

Pada hemat saya, HTI dengan ide ‘Pilkada Khilafah’ mampu menjadi sumber mala petaka kehidupan bernegara dan kemajuan peradaban umat. Maka, Indonesia yang telah menganut sistem demokrasi Pancasila mampu menorehkan mimpi sejati lahirnya Pilkada yang tak hanya memperkuat sendi-sendiri bernegara. Melainkan juga agen toleransi demokrasi.

Demokrasi selamanya dianggap thagut dan dihukumi haram oleh HTI, ‘Pilkada Khilafah’ yang belum menjamin kepastian hukum dan keamanan bukan lah solusi dalam mengatasi pelbagai masalah kerakyatan. ‘Pilkada Khilafah’ adalah sistem yang secara nalar sehat menambah masalah baru di sektor kehidupan, justru ide demikian bukan menjadi penyelesai masalah. Yang ada akan melipat-gandakan masalah yang berujung perang saudara.

Singkat kata, Islam dan demokrasi ibarat kita ingin melaksanakan shalat tanpa harus berwudhu terlebih dahulu, sehingga ibadahnya tidaklah absah. Paling tidak, nilai-nilai Islam menjadi pendorong kemajuan sistem demokrasi di Pilkada 2020. Terutama, wacana ini menjadi langkah preventif untuk mencegah narasi-narasi manipulatif HTI tentang ‘Pilkada Khilafah’.

Jika HTI berpendapat politik (democracy) adalah lahan bisnis yang harus menghasilkan uang untuk kepentingan pribadi/kelompok, dan beranggapan bobroknya Pilkada merupakan sistem yang lahir dari rahim demokrasi. Tentu sebaliknya, Pilkada (politik) haruslah kembali kepada khittahnya yaitu demokrasi di mana kedaulatan ada di tangan rakyat dan untuk rakyat.

Untuk itu, misi politik adalah perjuangan untuk menegakkan kemaslahatan orang banyak. Sebagaimana Gus Dur pernah berkata, politik adalah pekerjaan yang sangat mulia karena ia memperjuangkan nasib orang yang banyak. Sedangkan ucapan Gus Dur ini sesuai dengan kaidah fikih siyasah, تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة, artinya, segala kebijakan seorang pemimpin/politik adalah terkait dengan kemaslahatan/kepetingan rakyat. Nah hal ini juga dikenal dalam sistem politik klasik Yunani, Aristoteles mengatakan, politik adalah usaha untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Akhirnya, penegakan demokrasi dalam Pilkada adalah ruang bagi pemimpin untuk menegakkan cita-cita luhur yang mulia yaitu demi kemaslahatan umat, sedangkan ‘Pilkada Khilafah’ hanyalah ujung tombak kemafsadatan yang membuat negeri ini dilanda perpecahan. Soal perpecahan itu seperti apa menarik untuk diulas di artikel berikutnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

(Harakatuna)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda