Radikal Di Fikrah, Kejam Di Harokah - HWMI.or.id

Thursday 11 February 2021

Radikal Di Fikrah, Kejam Di Harokah

 Radikal di Fikrah, Kejam di Harokah 



Fenomena Khusus 

Belakangan radikalisme menjadi fenomena dalam bingkai kebangsaan kita. Fenomena yang menggeliat seiring agama menjadi alat untuk mewujudkan target kekuasaan atas nama Tuhan. Sebab agama diyakini dengan perasaan, bukan lagi dianalisa dengan logika. Hingga paham agama lebih kepada teks ayat suci yang sebenarnya multi arti dan maksud. 


Pengertian 


Radikalisme menurut bahasa adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Ini dalam wilayah umum dengan cakupanya geopolitik dan sosio-relegius. Artinya agama termasuk di dalamnya. 


Menurut Kartodirdjo (1985), radikalisme adalah gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa.


Menurut Rubaidi (2007), radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan. 


Menurut Hasani dan Naipospos (2010), radikalisme adalah pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya. 


Menurut Partanto dan Al Barry (1994), radikalisme adalah paham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.


Pemikiran Dasar ( Fikrah )


Berangkat dari definisi di atas, radikalisme itu nyata ada sebagai sikap pengingkaran atas kesepakatan dan peraturan yang dibuat bersama. Sebab klaim paling benar secara teologis dan secara ontologis sehingga mengantarkan pemikiran paling benar sendiri dan kecenderungan menyalahkan dan mengkafirkan orang justeru lebih nampak. 


Dasar timbulnya radikal itu tentu dari cara berfikir ( Fikrah ), dari sini kemudian berlanjut pada sikap dan tindakan. Lalu apa dasar itu? Ini hipotesa sementara. 


Pertama, dasarnya adalah jargon kembali ke al-Quran dan Hadits, hukum harus hukum Allah, undang-undang ( konstitusi ) buatan manusia adalah thogut. Kenapa kelompok ini punya jargon begitu? sekilas memang benar sebab itu hadits Rosulullah Saw. Tapi cara paham akan hadits itu perlu dipertanyakan dalam kaitan apa ? pada kondisi apa ?. 


Kedua, dasar tersebut adalah paham dangkal bahwa tidak ada hukum kecuali hukum Allah SWT. Ini pun betul, tapi memahami teksnya yang keliru. Sehingga dengan dasar inilah orang selalu disalahkan karena tidak menghukumi sesuatu dengan hukum Allah. 


Ketiga, dasarnya itu nafsu kekuasaan atas nama agama, dan ayat suci menjadi tak terhindarkan sebagai alat untuk menyatukan emosi-emosi keagamaan yang terwujud dalam konsentrasi massal yang awam atas agama. 


Keempat, benturan ideologis antara demokratisme dan Islamisme  dalam konsep berbangsa dan bernegara, antara nasionalisme dan Arabisme dalam hal sikap kebangsaan. 


Kelima, kesenjangan ekonomi, atau deferensiasi ekonomi antara satu sama lainnya memicu untuk bersikap radikal, karena pembelaan atas nama kebutuhan mendesak, biologis dan kebutuhan primer. 


Tindakan Radikal 


Kenapa antar Ormas ( organisasi kemasyarakatan ) berbeda-beda dasar dan nilai perjuangannya. Jika digolongkan ada diantaranya didasarkan pada nilai kebangsaan dan keislaman yang menyatu. Keduanya tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi. 


Ada pula Ormas yang didasari oleh Islamisme, dan tidak mengenal nilai kebangsaan sedikitpun. Hukum Tuhan untuk semua umat, dan wajib tunduk, yang tidak patuh tergolong kafir dan munafik, begitu kira-kira kredo mereka yang kuat di jalur tersebut.  


Pilihan sikap radikal tanpa kompromi, menjadi suluh diterapkannya hukum Allah yang tak ada kata tawar. Siapa yang tak mengikuti adalah bagian dari musuh, terpaksa dicap sesat dan halal darahnya.  


Hukum Allah, yang kemudian hendak diterapkan dengan cara paksa jelas akan memprinsipi pada perilaku dan tindakan. Sekali dalam fikiran ada keyakinan atas itu bahwa tidak ada hukum kecuali hukum Allah, maka tindakan itu berwujud pada membentuk organisasi atau bersikap secara parsial yang kemudian identik kita sebut teroris atau radikalis. Fakta terorisme begitu banyaknya, tak perlu diragukan lagi. 


Radikal dalam tindakan akan selalu bersama organnya jika tidak sendirian dalam upaya tersebut ( perebutan kekuasaan atas nama kekuasaan Islam ), kaum Wahabi jihadis dan Wahabi Takfiri adalah sekte wahabisme yang punya fikrah yang radikal hingga selalu diwujudkan dalam tindakan kejam yang tak berperikemanusiaan. Membom tempat ibadah agama non Islam tampak menjalar di awal - awal dekade abad 21 yang dilakukan baik oleh sempalan Jamaah Islamiyah, Anshorutauhid, Mujahidin Indonesia atau berasal dari sel -sel tidur DI/TII. 


Kenapa Wahabisme dituding sebagai yang termasuk radikal, karena kesaksian dan pengakuan bahwa ajaran pemurnian Islam dan tegaknya negara Islam yang didasari al-Quran dan Hadits itu menjadi seolah ini adalah hakikat tujuan hidup, padahal tujuan tersebut keliru besar. 


Tidak ada ketentuan yang qothi' seperti perintah mendirikan negara Islam. Ini wilayah tafsir, sebab ayatnya meski tsubuty tetapi tidak berarti bermaksud atas itu ( kewajiban mendirikan negara Islam ) dan bisa jadi menjauhi maksud atas ayat itu. Maka setiap ayat itu harus dihubungkan terlebih dahulu dengan ucapan, tindakan, dan taqrir Nabi Saw, sebab penjelasan atas ayat itu yang benar adalah hadits Rosulullah Saw itu sendiri. yang sesuai dengan petunjuk hadis Rosulullah Saw. 


Ada, salah satu tafsir yang konsisten penafsiran atas setiap ayat demi ayat dalam al-Quran berasal dari hadits Rosulullah Saw yaitu tafsir Ibnu Jarir al-Thobary, namun tafsir lain bukan berarti lemah, melainkan tafsir -tafsir tersebut menjadi petunjuk untuk paham atas ayat perayatnya al-Quran. 


Kalimat Penutup


Negeri kita yang heterogen ini tidaklah dibentuk berdasarkan prinsip satu agama, itu karena adat dan budaya yang bermacam -macam itu sedikitpun tidak menyinggung dan menyudutkan keyakinan agama tertentu. Apalagi perbedaan keyakinan yang tumbuh dari sanubari bangsa negeri ini ( NKRI ) adalah keindahan dan harmoni. Soal agama adalah pilihan pribadi, tapi soal negara dan bangsa adalah soal tanggung jawab kita bersama. Satu tanah air Indonesia, satu bahasa Indonesia, satu Nusa Indonesia. Itulah hakikatnya rahmatan lil alamin. 

Oleh: Hamdan Suhaemi

Ciujung 3-2-21

Wakil Ketua PW GP Ansor Banten 

Ketua PW Rijalul Ansor Banten

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda