Menguatnya Civil Society Dalam Pencabutan Perpres 10/2021 Tentang Investasi Miras - HWMI.or.id

Wednesday 3 March 2021

Menguatnya Civil Society Dalam Pencabutan Perpres 10/2021 Tentang Investasi Miras

 

Menguatnya Civil Society dalam Pencabutan Perpres 10/2021 tentang Investasi Miras

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A(pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon

Kegaduhan publik akibat persoalan investasi minuman keras (miras) dalam Perpres No. 10 tahun 2021 telah berakhir. Presiden Jokowi mencabut Perpres tersebut dengan alasan dirinya telah menerima masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh agama lainnya. Hal ini menjadi simbol bahwa kekuatan masyarakat sipil masih hidup di negeri ini.


Sebenarnya, kegaduhan publik akibat Perpres 10/2021 tentang Badan Usaha Penanaman Modal, yang ditetapkan sejak 2 Februari 2021, adalah jebakan. Sebab, bila ditelusuri lebih jauh, ternyata memiliki akar historis yang panjang.


Salah satunya berupa Perpres Nomor 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. 


Jika Perpres 10/2021 tidak dicabut maka ia akan berperan sebagai penopang Perpres 74/2013.


Dua Perpres bagaikan gayung bersambut, sekalipun lahir dari dua generasi berbeda, namun mengusung satu spirit yang sama. Pencabutan atas Perpres 10/2021 menunjukkan bahwa Jokowi berhasil keluar dari karakteristik politik era sebelumnya.


Spirit Perpres 74/2013 secara umum melegalkan bisnis minuman beralkohol (minol). Salah satunya Pasal 4 ayat 1, 2, 3 dan 4 yang melegalkan produksi minol dalam negeri, dari hasil impor, usaha pengedaran dan bisnis perdagangannya.


Perpres 2013 ini adalah fondasi dasar bagi kepentingan kapitalisme dari hulu ke hilir, dari produksi ke distribusi, dan soal impor. Anehnya, tidak terkandung di sana Pasal dan Ayat tentang ekspor, sehingga Indonesia memang tampak dijadikan objek pasif bukan subjek aktif.


Seandainya tidak dibatalkan, maka Perpres 10/2021 secara umum akan membuka peluang investasi (penanaman modal asing), yang akan turut meningkatkan produksi minol/miras dalam negeri. Perpres ini memberikan kekuatan baru bagi produksi miras yang telah didukung oleh Perpres 74/2013. Jokowi dapat diseret ke dalam pusaran arus politik yang lebih dalam.


Jokowi terselamatkan dari jebakan politik tersebut, berkat respon positif terhadap masukan yang datang dari berbagai penjuru, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, bahkan partai politik seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejarahtera, Partai Amanat Nasional.


Berbagai pertimbangan diajukan oleh ormas-ormas dan parpol-parpol yang peduli kepada bangsa dan negara. Argumentasi para ormas dan parpol sangat beragam, mulai dari aspek kultural, kearifan lokal, dampak negatif bagi kehidupan sosial, dan lainnya. Semua ini sejatinya satu spirit; ketulusan cinta pada negeri dan ingin meluruskan arah politik kebangsaan kita.


Misalnya, miras dan minol dianggap dapat merusak kehidupan sosial. Sekalipun sebagian kultur lokal masyarakat tertentu mentradisikan minol, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan.


Kerusakan sosial akibat miras/minol lumrahnya lahir karena penggunaannya yang di luar batas-batas yang dapat ditoleransi, baik oleh kultur lokal maupun sudut pandang medis. 


Hari ini Jokowi berhasil selamat.


Di masa-masa yang akan datang, peristiwa ini dapat dijadikan pelajaran bahwa hukum adalah pion dalam papan catur politik. Jika tidak berhati-hati maka akan terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Perpres 10/2021 dan Perpres 74/2013 memang lebih tampak sebagai pion-pion dalam sebuah permainan di atas papan catur politik, lebih-lebih mendekati Pilpres 2024 nanti.


Dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasila, terlebih Sila Pertama, arah politik kebangsaan kita pasti selamat. Ada sebuah nasehat dan dawuh penting dari seorang mursyid tarekat Syadziliyah, Syeikh Prof. Dr. Ibrahim al-Battawy asy-Syadzili.


Beliau mengatakan, andaikan Islam membolehkan perzinahan dan minuman keras (khamr) maka orang-orang Barat akan berbondong-bondong masuk Islam. Dalam konteks inilah, andai tidak dibatalkan maka Perpres 10/2021 akan menjadi proyek “de-Pancasilaisasi,” penghancuran nilai Pancasila.


Begitu jelas pola permainan hukum sebagai bidak-bidak politik di atas papan catur persaingan kekuasaan. Perpres 10/2021 memang sebatas bicara investasi. Namun, bila investasi semacam itu dipijakkan pada Perpres 74/2013 maka hasilnya berupa investasi minuman keras.


Rumus matematis bagi permainan catur politik ini X + Y = Z. Kegaduhan masyarakat lahir karena membayangkan hasil akhir dari akumulasi dari dua Perpres tersebut. Puji syukur karena Jokowi telah mampu meredakan masalah.


Para elite agamawan, baik di ormas maupun parpol, telah berkomitmen kuat pada Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Presiden Jokowi membuka telinga untuk mendengarnya, lalu menggunakan tangan kekuasaannya untuk mencabut Perpres bermasalah.


Kita tahu bahwa bukan hanya agama Islam, semua agama memang tidak menganjurkan minuman keras-beralkohol ini. Alkitab misalnya menyebutkan, “anggur adalah pencemooh, minuman keras adalah peribut, tidaklah bijak orang yang terhuyung-huyung karenanya,” (Amsal, 20:1).


Agama Buddha mengajarkan lima disiplin moral, antara lain “aku bertekad melatih diri menghindari minuman keras dan obat-obat terlarang yang menyebabkan mabuk dan melemahkan (surameraya majjapamadatthana veramar sikkapadam samadiyami).”


Begitu juga agama paling tua, Hindu, mengajarkan larangan minum minuman beralkohol dan memabukkan, seperti dalam kitab Manu Smriti Bab 11 ayat 151, Bab 7 ayat 47-50, bab 9 ayat 225, Rigved Book 8 Hymn 2 ayat 12 (Republika, 1/3/2021).


Negeri kita adalah negeri Pancasila dengan seluruh nilai luhurnya. Kegaduhan publik yang sempat mencuat karena Perpres 10/2021 terlalu vulgar untuk menantang keyakinan semua umat beragama, dengan menampilkan wajah garang kepentingan kapitalisme global.


Keputusan presiden untuk mendengarkan nasehat dari para tokoh agamawan lintas keyakinan, baik yang aktif partai politik dan ormas, adalah kebijakan yang tepat. Tidak saja itu, tetapi juga menjadi simbol bahwa suara umat agama masih didengar.


Kekuatan sipil di Indonesia masih hidup dan berpengaruh besar, yang akan menjadi modal bagi Indonesia sebagai teladan kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat di dunia. Wallahu a’lam bis shawab.


Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.


Tribunnews.com

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda